Welcome to My Sanctuary

If you are a dreamer, come in.
If you are a dreamer, a wisher, a liar,
A hope-er, a pray-er, a magic bean buyer...
If you're a pretender, come sit by my fire.
For we have some flax-golden tales to spin.
Come in!
Come in!


(INVITATION - Shel Silverstein)

Saturday, August 11, 2012

(Cerita Anak SMA): Kenangan dengan Guru Istimewa

Membicarakan cerita seputar kenangan saat masih sekolah, berarti membicarakan juga mengenai guru-guru. Guru pertama yang saya kenal begitu masuk sekolah namanya ibu Susi. Beliau adalah guru BP dan yang mengurusi perihal pakaian seragam. Bu guru ini jarang sekali tersenyum. Meski beliau tidak kelihatan angker, tapi tetap saja membuat murid-murid segan padanya. Segan kalau sampai dipanggil ke ruang BP untuk diceramahi tentunya. Bu Susi ini terkenal dengan operasi "gunting rok". Murid-murid yang baru masuk, beberapa diantaranya adalah cewek-cewek yang suka memakai rok di atas lutut. Sedangkan aturan memakai rok di SMANDEL panjangnya harus sekitar 5cm di bawah lutut dan tidak ketat penampakkannya. Pembuatan seragamnya pun terpusat dari tukang jahit langganan sekolah. Bagi pelanggar ketentuan panjang rok ini, bu Susi ditemani guru wanita lain akan menghentikan murid perempuan yang bersangkutan, menyuruhnya berdiri di tempat, mengukur panjang rok dari bagian paling bawah dan meggunting hem atau jahitan bawah roknya supaya kelihatan lebih panjang. Ada murid yang sampai menangis karena operasi "gunting rok" ini. Akibat banyaknya razia rok ini dilakukan, murid-murid yang merasa roknya tidak sesuai aturan, akan saling memberi tahu dan bersiap-siap (alias bersembunyi atau segera membuka jahitan rok saat itu juga). Saya sendiri tidak pernah kena razia ini.

Menyinggung soal razia, bagi murid laki-laki yang rambutnya dianggap kepanjangan, pak Ugi, guru olah raga yang badannya terlihat fit untuk ukuran bapak-bapak, beserta pak guru lainnya akan mendekati murid laki-laki bersangkutan dan snip, snip, dengan gunting yang dibawa beliau untuk razia itu, pak Ugi memotong rambut si murid. Ketentuan gondrongnya yaitu rambutnya sudah mencapai kerah baju seragam.Tentunya potongan rambutnya ala kadarnya yang membuat muridnya harus ke salon atau tukang cukur supaya besoknya potongan rambutnya rapi. Kalau razia rambut ini terjadi, bisa seru sekali. Sebab bisa jadi ada acara kejar-kejaran di murid yang berusaha menghindar dari pak guru, semacam versi "Kejarlah daku, kau kutangkap". Kadang, pak Udi, guru seni rupa yang juga guru paling humoris di sekolah, suka mengadakan acara pencukuran rambut mendadak buat murid laki-laki terpilih. Jadi kalau tiba-tiba di sudut sekolah terlihat pak Udi sedang memotong rambut seorang murid, itu bukan karena beliau sedang menjalankan hobbynya. Itu berarti ada razia rambut gondrong dan satu murid beruntung mendapatkan kesempatan untuk dipotong rambutnya di sekolah.


Kalau membicarakan guru-guru di sekolah, berarti ada dua ketentuan yang muncul: guru favorit dan guru yang menyebalkan. Saat kelas 1 SMA, mulanya saya tidak punya guru favorit ataupun yang menyebalkan. Tapi guru Biologi kelas 1, pak Agus, yang masih muda itu jadi guru yang memuakkan buat saya. Pak Agus ini orangnya pintar dalam membahas pelajaran Biologi, satu dari sederet pelajaran favorit saya di sekolah. Sewaktu kami mempelajari soal Amoeba, saya merasa tidak punya kesulitan untuk mendapatkan nilai tinggi dalam ulangannya. Begitu ulangan berlalu, saya kaget karena hanya mendapatkan nilai 8, padahal semua jawaban saya benar bahkan soal menggambar bagian-bagian tubuh Amoeba-nya. Beberapa teman lain pun yang merasa memberikan jawaban yang betul semua, protes kenapa tidak sampai mendapatkan nilai 10. Jawaban pak Agus cukup mencengangkan dan lebih berisi ego beliau. Menurutnya, yang berhak mendapatkan nilai 10 hanya guru karena guru lebih pintar dari murid-muridnya. Apa tidak mangkel kami mendengarnya, sesuatu hal yang kurang masuk akal. Lalu yang lebih memperburuk cerita, pak guru ini lupa memasukkan nilai-nilai ulangan kami ke buku laporan beliau, padahal ulangan sudah dibagikan kembali ke murid-murid. Kami disuruh membawa kembali kertas ulangan kami minggu depannya. Kenyataannya, saya dan beberapa teman lupa membawa kertas ulangan dan dengan seenaknya pak Agus bilang,"Yang tidak bawa kertas ulangan balik mendapat nilai 6 semuanya". Dari situlah saya tidak pernah menghormati beliau sebagai guru dan bersyukur sekali cuma saat kelas 1 SMA saja mendapatkan beliau.

Guru lain yang tidak akan bisa saya lupakan dari masa bersekolah di SMA adalah bu Bultriasih, guru Fisika kelas 1. Beliau saya ingat bukan karena peran beliau mengajarkan saya Fisika. Tapi karena suatu hari naas yang membuat saya merasa sungkan setiap kali saya bertemu beliau di sekolah bahkan sampai saat saya sudah kelas 3. Hari yang paling tidak mengenakkan itu berawal dari bu Asih yang sedang hamil besar, tiba-tiba memberikan tes mendadak. Beliau menuliskan sekumpulan formula dan memberikan instruksi untuk menyelesaikannya. Lalu dengan lantang beliau memanggil nama saya. Gulp, saya menelan ludah dan jantung saya mulai berdebar kencang. Saya tidak pernah suka Fisika dan sekarang saya harus menyelesaikan formula yang ada di depan saya. Saya berusaha berpikir keras rumus apa yang bisa saya pakai. Tapi sepertinya semua jalur di otak saya buntu, yang muncul justru keringat dingin. Entah berapa lama saya berdiri mematung di depan papan tulis itu, rasanya lama sekali, sementara saya dengar suara bu Asih dari arah belakang kelas mengingatkan teman-teman saya untuk berusaha memecahkan persoalan tersebut. Sesudah itu mungkin karena merasa kasihan, bu Asih menyuruh saya kembali ke tempat duduk. Saya tidak sadar beliau sudah kembali duduk di kursi guru, secara reflek saya mengembalikan kapur ke meja guru dengan melemparnya. Ya ampun, kapur itu melayang di depan wajah bu Asih dan saya langsung tambah pucat. Tentunya sesudah itu yang ada saya berdiri di depan beliau diceramahi soal menghormati guru secara panjang-lebar. Malu sekali saya rasanya. Sesudah itu seorang teman dipanggil ke depan dan dengan mudahnya dia menyelesaikan soal yang sama (tentu saja, dia ini juara Olimpiade Matematika duta Smandel). Sesudah kejadian itu, tiap kali saya berpapasan dengan bu guru Fisika ini, saya sekedar mesem sederhana, menganggukan kepala dan lekas-lekas menghindari beliau. Hal yang terakhir yang saya ingat tentang bu Asih yang buat saya cukup merasa termaafkan, adalah sewaktu beliau menyinggung kebisaan saya menyanyi. Rasanya lega sekali karena sepertinya beliau tidak mengingat kejadian kapur itu, meski buat saya itu terpatri dalam.


Cerita akan bersambung lagi...


D. Yustisia


 (Photo-photo saat perpisahan dengan guru kami, Pak Made, di kelas 3 SMA)


No comments:

Post a Comment