Welcome to My Sanctuary

If you are a dreamer, come in.
If you are a dreamer, a wisher, a liar,
A hope-er, a pray-er, a magic bean buyer...
If you're a pretender, come sit by my fire.
For we have some flax-golden tales to spin.
Come in!
Come in!


(INVITATION - Shel Silverstein)
Showing posts with label cerita anak SMA. Show all posts
Showing posts with label cerita anak SMA. Show all posts

Wednesday, April 3, 2013

Dilema Memilih SMA

Minggu lalu hari Rabu, saya putuskan untuk mendatangi kantor program New Haven Magnet School di Meadow Street. Sudah tanggal 27 Maret dan surat keputusan apakah putri sulung kami diterima atau tidak di sekolah yang kami lamar, belum datang juga. Di kota tempat kami tinggal hanya ada satu SMA dan bukan yang bagus mutunya. Sehingga kami harus mencari SMA lain di kota tetangga dengan cara mengajukan lamaran untuk program magnet school. Sebenarnya ketiga anak kami sudah masuk dan mengikuti program ini semenjak mereka masuk sekolah dasar di luar district. Program magnet school ini diadakan untuk menampung minat murid-murid dari berbagai kota di luar district sekolah-sekolah yang biasanya berada di kota terbesar. Karena itulah dijuluki "magnet school" yang bertujuan menarik berbagai murid dari beragam lingkungan, latar belakang budaya dan ras, yang berusaha memperoleh pendidikan maksimal dengan program dasar tertentu. Kami mengenal program magnet school ini saat si sulung masih berada di preschool. Social worker sekolah yang menganjurkan kami mendaftarkan Emily untuk bersekolah di sekolah di luar district. Karena menurutnya, dengan kemampuan Emily, cocoknya bersekolah di sekolah di kota tetangga yang lebih banyak menawarkan banyak kesempatan berkembang. Begitu putri kami selesai masa preschool-nya, kami mendaftarkan dia ke program magnet school. Sayangnya, dia tidak mendapatkan tempat, jadi untuk bersekolah TK, putri kami pergi ke sekolah di daerah kami, yang tepat di seberang apartemen. Tahun kedua kami mendaftarkan Emily ke program magnet school di kota New Haven, dia mendapatkan tempat untuk kelas 1 di Davis Street Elementary School, sekolah pilihan kedua kami.

Kembali lagi ke cerita saya yang menuju kantor magnet school untuk mendapatkan berita mengenai diterima atau tidaknya putri sulung kami di SMA yang kami lamar. Saya sendiri ikut was-was karena program magnet school ini adalah bersistem lotere yang hasilnya belum tentu sesuai dengan harapan. Kami harus memilih 3 sekolah dimana hirarkinya sesuai dengan pilihan yaitu sangat diharapkan, diharapkan dan kurang diharapkan. Strategi meletakkan pilihannya ini yang tadinya menjadi dilema. Sebab masing-masing SMA memiliki latar belakang dan penekanan program pendidikan yang berbeda. Akibat sistem lotere inilah, putri kami stress, juga kami,  karena kalau sampai dia mendapatkan pilihan kedua atau ketiga, berarti dia tidak akan mendapatkan pelajaran musik atau seni lainnya. Sekolah pertama yang kami pilih mempunyai penekanan pada pelajaran berbagai seni, dan Emily sebagai pemain biola, sangatlah berharap dia bisa temasuk dalam string program-nya. Pilihan SMA ini harus sesuai dengan keinginan si anak untuk mempelajari pendidikan tertentu dan berhubungan erat dengan jenis kuliah yang nanti akan dilanjutkan begitu lulus. Pilihan sekolah kedua menekankan pada IPA dan sekolah ketiga pada pendidikan IPS, seperti ekonomi dan hukum. Ketiga sekolah termasuk yang baik mutunya di kota New Haven dengan berbagai program penunjang yang kaya, serta organisasi pendukung yang kuat.

Saat saya akhirnya berhadapan dengan petugas di kantor magnet school, dia memberitahu kalau putri kami diterima penuh di pilihan sekolah pertamanya, yang program dasar sekolahnya adalah seni. Diterima penuh berarti, putri kami dipastikan masuk di SMA ini. Karena ada juga kemungkinan diterima tapi masuk dalam daftar tunggu. Daftar tunggu ini bisa jadi panjang dan kemungkinan besar hanya yang mendapatkan nomor 1-5 saja yang bisa mendapatkan kesempatan masuk. Itu pun kalau ada anak yang diterima lalu mengundurkan diri dan keputusan daftar tunggu itu bisa baru muncul saat liburan summer habis. Itulah sebabnya kami dan putri kami was-was dan sempat takut kalau hasil loterenya tidak sesuai harapan. Meskipun SMA yang menjadi favorit kami dan jadi pilihan pertama program terkuatnya adalah seni, tapi bukan berarti bidang akademik lainnya tidak dihiraukan. Masing-masing SMA memiliki program persiapan masuk perguruan tinggi dan standarnya berbeda. SMA putri kami nanti termasuk yang banyak jenis program persiapannya dan kalau dilihat dari segi ranking hasil lulusannya yang masuk perguruan tinggi, nomor 2, dibawah SMA yang menjadi pilihan kedua kami. Hasil lotere yang akhirnya saya dapatkan lewat petugas magnet school itu segera saya sampaikan ke putri kami, yang langsung berteriak kegirangan, lalu menangis haru di pundak saya, ditonton oleh dua gurunya dan teman-temannya yang saat itu sedang bubar sekolah. Lega sekali rasanya beban pikiran kami yang bermula dari awal Januari saat kami menyampaikan lamaran untuk ikutan lotere magnet school dan akhirnya mendapatkan jawabannya di akhir Maret. Harapan kami, semoga SMA pilihan kami ini bisa menjadi tempat terbaik bagi putri kami menimba ilmu dan meningkatkan prestasinya.

Friday, December 21, 2012

(Cerita Anak SMA): Kisah Kasih di Sekolah

Judulnya seakan sebuah film yang dibintangi Rano Karno dan Yessie Gusman atau Paramitha Rusadi di masa tahun 70-an dan 80-an. Tapi kisah kasih di sekolah, apalagi di SMA, bukanlah suatu hal yang cuma ada di sebuah film. Dari sebuah perkenalan dengan sesama murid baru bisa tumbuh rasa suka. Dari sebuah hubungan mentor antara kakak dan adik kelas, bisa muncul sebuah cerita. Masa-masa SMA bisa jadi sarat dengan menyukai seseorang, jatuh cinta, bertepuk sebelah tangan, dan patah hati, beriringan dengan ulangan, segudang PR dan kegiatan extrakurikuler. Hampir semua orang yang pernah bersekolah SMA pasti mempunyai kenangan yang berurusan dengan hati. Ada cerita yang manis, ada yang penuh gejolak jiwa. Ada cerita yang bersambung hingga ke pelaminan, ada yang putus di tengah jalan. Di balik seragam putih dan abu-abu, ada sebentuk cinta buat seseorang. Itulah indahnya masa SMA.

Kalau saya ditanya apa yang saya ingat tentang kisah kasih di sekolah, yang pertama saya lakukan adalah tersenyum. Banyak sekali kisah kasih di sekolah yang saya saksikan dari dekat atau jauh, dan yang saya alami sendiri. Wujudnya beragam dan beberapa ada yang membuat geleng-geleng kepala. Karena di tiap sekolah, di tiap angkatan, pasti ada pasangan yang paling mencolok diantara lainnya. Pasangan ini yang biasanya terlihat di beberapa penjuru sekolah asyik berduaan, seakan teman-teman lainnya cuma obyek penyerta (atau mungkin penderita). Ada yang duduk berdua sekedar saling bertukar senyum. Ada yang saling merapat mengerjakan tugas. Ada yang terlihat berdua saja berbincang dalam kelas, sementara murid-murid lain istirahat di luar. Kadang ada saatnya dimana kisah kasih di sekolah menjadi sebuah perbincangan banyak orang. Seperti saat diketahui seorang gadis remaja hamil, keprihatinan melanda kumpulan teman-temannya dan tentu juga pihak guru-guru. Tapi saya termasuk kagum saat sebuah kejadian seperti yang saya sebutkan terjadi, tidak ada yang namanya fitnah atau gunjingan yang tersebar-luas di sekolah. Masing-masing pihak yang tahu, sepertinya tahu diri.

Mau dibilang apapun, masa-masa SMA itu adalah masa penjajakan. Kalau yang ternyata di masa-masa itu ada dua sejoli yang ternyata berpaut dan berjodoh, alangkah indahnya. Seperti beberapa kawan saya tentunya, yang saya yakin menyimpan banyak kenangan saat mereka sedang pendekatan. Sayangnya, karena masih anak sekolah, isi kantong pun layaknya anak sekolah. Pergi ke bioskop nonton bareng menjadi barang mewah. Jajan di kantin harus bayar sendiri-sendiri. Itu kalau pasangan yang pas-pasan uang jajannya. Bagi pasangan yang salah satunya bermodal kuat, maka apapun namanya bisa terjadi. Saat Valentine makan bersama ditemani nyala lilin, bisa. Pergi nonton setiap akhir pekan, bisa juga. Hadiah indah saat ultah. Hadiah berkesan saat merayakan hari "jadian". Kalau yang begini tentu saja jadi sisi indah kisah kasih di sekolah. Meski untuk beberapa orang bisa jadi cuma merasa suka sepihak, sementara orang yang dituju tidak punya perasaan apa-apa. Bisa jadi seseorang malu untuk mengungkapkan dan cuma diam, tapi menjadi pengagum dari jauh akan apapun yang si pencuri hati kerjakan.

Kalau saya ditanya apa yang saya ingat dari kisah kasih di sekolah, saya akan jawab,"Been there, done that". Maka kenangan saya akan melayang-layang mencari sosok seseorang yang menyambut saya pertama kali menjadi murid SMA. Saya simpan sebentuk senyumnya dalam hati. Tapi apa daya, hati tak bisa bertaut, rasa cuma saya yang punya. Biar begitu, cerita tentang seseorang yang istimewa itu jadi tema diary saya tiap hari. Seakan-akan gaya jalannya adalah sesuatu yang sungguh istimewa, atau pertemuan dengannya yang tiba-tiba di sebuah bis kota adalah penjelmaan sebuah mimpi yang indah. Cerita lainnya pun saya bisa haturkan, dalam bentuk cinta yang tulus dan patah hati yang menyakitkan. Teringat saya meneteskan air mata di rangkulan seorang teman, sesudah mencurahkan segala emosi. Bukankah ini bagian dari kisah kasih di SMA itu? Teman yang bersedia meminjamkan bahunya untuk kita tangisi dan sepasang telinga yang tak bosan kita cekoki cerita tentang si A atau B. Kisah kasih di sekolah pun ternyata bisa menimbulkan perseteruan diantara pihak-pihak yang bersangkutan. Apalagi kalau bukan karena cemburu. Bagaimana pun wujud dari sebuah kisah kasih di sekolah, mengingatnya saja bisa membuat diri ini tersenyum sendiri.


(Keterangan photo: kelas 3 saya di SMA)

Saturday, August 11, 2012

(Cerita Anak SMA): Kenangan dengan Guru Istimewa

Membicarakan cerita seputar kenangan saat masih sekolah, berarti membicarakan juga mengenai guru-guru. Guru pertama yang saya kenal begitu masuk sekolah namanya ibu Susi. Beliau adalah guru BP dan yang mengurusi perihal pakaian seragam. Bu guru ini jarang sekali tersenyum. Meski beliau tidak kelihatan angker, tapi tetap saja membuat murid-murid segan padanya. Segan kalau sampai dipanggil ke ruang BP untuk diceramahi tentunya. Bu Susi ini terkenal dengan operasi "gunting rok". Murid-murid yang baru masuk, beberapa diantaranya adalah cewek-cewek yang suka memakai rok di atas lutut. Sedangkan aturan memakai rok di SMANDEL panjangnya harus sekitar 5cm di bawah lutut dan tidak ketat penampakkannya. Pembuatan seragamnya pun terpusat dari tukang jahit langganan sekolah. Bagi pelanggar ketentuan panjang rok ini, bu Susi ditemani guru wanita lain akan menghentikan murid perempuan yang bersangkutan, menyuruhnya berdiri di tempat, mengukur panjang rok dari bagian paling bawah dan meggunting hem atau jahitan bawah roknya supaya kelihatan lebih panjang. Ada murid yang sampai menangis karena operasi "gunting rok" ini. Akibat banyaknya razia rok ini dilakukan, murid-murid yang merasa roknya tidak sesuai aturan, akan saling memberi tahu dan bersiap-siap (alias bersembunyi atau segera membuka jahitan rok saat itu juga). Saya sendiri tidak pernah kena razia ini.

Menyinggung soal razia, bagi murid laki-laki yang rambutnya dianggap kepanjangan, pak Ugi, guru olah raga yang badannya terlihat fit untuk ukuran bapak-bapak, beserta pak guru lainnya akan mendekati murid laki-laki bersangkutan dan snip, snip, dengan gunting yang dibawa beliau untuk razia itu, pak Ugi memotong rambut si murid. Ketentuan gondrongnya yaitu rambutnya sudah mencapai kerah baju seragam.Tentunya potongan rambutnya ala kadarnya yang membuat muridnya harus ke salon atau tukang cukur supaya besoknya potongan rambutnya rapi. Kalau razia rambut ini terjadi, bisa seru sekali. Sebab bisa jadi ada acara kejar-kejaran di murid yang berusaha menghindar dari pak guru, semacam versi "Kejarlah daku, kau kutangkap". Kadang, pak Udi, guru seni rupa yang juga guru paling humoris di sekolah, suka mengadakan acara pencukuran rambut mendadak buat murid laki-laki terpilih. Jadi kalau tiba-tiba di sudut sekolah terlihat pak Udi sedang memotong rambut seorang murid, itu bukan karena beliau sedang menjalankan hobbynya. Itu berarti ada razia rambut gondrong dan satu murid beruntung mendapatkan kesempatan untuk dipotong rambutnya di sekolah.


Kalau membicarakan guru-guru di sekolah, berarti ada dua ketentuan yang muncul: guru favorit dan guru yang menyebalkan. Saat kelas 1 SMA, mulanya saya tidak punya guru favorit ataupun yang menyebalkan. Tapi guru Biologi kelas 1, pak Agus, yang masih muda itu jadi guru yang memuakkan buat saya. Pak Agus ini orangnya pintar dalam membahas pelajaran Biologi, satu dari sederet pelajaran favorit saya di sekolah. Sewaktu kami mempelajari soal Amoeba, saya merasa tidak punya kesulitan untuk mendapatkan nilai tinggi dalam ulangannya. Begitu ulangan berlalu, saya kaget karena hanya mendapatkan nilai 8, padahal semua jawaban saya benar bahkan soal menggambar bagian-bagian tubuh Amoeba-nya. Beberapa teman lain pun yang merasa memberikan jawaban yang betul semua, protes kenapa tidak sampai mendapatkan nilai 10. Jawaban pak Agus cukup mencengangkan dan lebih berisi ego beliau. Menurutnya, yang berhak mendapatkan nilai 10 hanya guru karena guru lebih pintar dari murid-muridnya. Apa tidak mangkel kami mendengarnya, sesuatu hal yang kurang masuk akal. Lalu yang lebih memperburuk cerita, pak guru ini lupa memasukkan nilai-nilai ulangan kami ke buku laporan beliau, padahal ulangan sudah dibagikan kembali ke murid-murid. Kami disuruh membawa kembali kertas ulangan kami minggu depannya. Kenyataannya, saya dan beberapa teman lupa membawa kertas ulangan dan dengan seenaknya pak Agus bilang,"Yang tidak bawa kertas ulangan balik mendapat nilai 6 semuanya". Dari situlah saya tidak pernah menghormati beliau sebagai guru dan bersyukur sekali cuma saat kelas 1 SMA saja mendapatkan beliau.

Guru lain yang tidak akan bisa saya lupakan dari masa bersekolah di SMA adalah bu Bultriasih, guru Fisika kelas 1. Beliau saya ingat bukan karena peran beliau mengajarkan saya Fisika. Tapi karena suatu hari naas yang membuat saya merasa sungkan setiap kali saya bertemu beliau di sekolah bahkan sampai saat saya sudah kelas 3. Hari yang paling tidak mengenakkan itu berawal dari bu Asih yang sedang hamil besar, tiba-tiba memberikan tes mendadak. Beliau menuliskan sekumpulan formula dan memberikan instruksi untuk menyelesaikannya. Lalu dengan lantang beliau memanggil nama saya. Gulp, saya menelan ludah dan jantung saya mulai berdebar kencang. Saya tidak pernah suka Fisika dan sekarang saya harus menyelesaikan formula yang ada di depan saya. Saya berusaha berpikir keras rumus apa yang bisa saya pakai. Tapi sepertinya semua jalur di otak saya buntu, yang muncul justru keringat dingin. Entah berapa lama saya berdiri mematung di depan papan tulis itu, rasanya lama sekali, sementara saya dengar suara bu Asih dari arah belakang kelas mengingatkan teman-teman saya untuk berusaha memecahkan persoalan tersebut. Sesudah itu mungkin karena merasa kasihan, bu Asih menyuruh saya kembali ke tempat duduk. Saya tidak sadar beliau sudah kembali duduk di kursi guru, secara reflek saya mengembalikan kapur ke meja guru dengan melemparnya. Ya ampun, kapur itu melayang di depan wajah bu Asih dan saya langsung tambah pucat. Tentunya sesudah itu yang ada saya berdiri di depan beliau diceramahi soal menghormati guru secara panjang-lebar. Malu sekali saya rasanya. Sesudah itu seorang teman dipanggil ke depan dan dengan mudahnya dia menyelesaikan soal yang sama (tentu saja, dia ini juara Olimpiade Matematika duta Smandel). Sesudah kejadian itu, tiap kali saya berpapasan dengan bu guru Fisika ini, saya sekedar mesem sederhana, menganggukan kepala dan lekas-lekas menghindari beliau. Hal yang terakhir yang saya ingat tentang bu Asih yang buat saya cukup merasa termaafkan, adalah sewaktu beliau menyinggung kebisaan saya menyanyi. Rasanya lega sekali karena sepertinya beliau tidak mengingat kejadian kapur itu, meski buat saya itu terpatri dalam.


Cerita akan bersambung lagi...


D. Yustisia


 (Photo-photo saat perpisahan dengan guru kami, Pak Made, di kelas 3 SMA)


Thursday, August 9, 2012

(Cerita Anak SMA): Kena Damprat Ibu Teman

Seumur-umur baru sekali dan moga-moga hanya sekali itu saja, saya kena tuduhan memakai uang orang lain. Sebelnya bukan main! Apalagi tuduhan itu berupa dampratan dari seorang ibu yang saya tidak kenal sama sekali. Kenangan ini tahu-tahu muncul begitu saya lihat di inbox FB saya ada ajakan berteman dari teman lama saat SMP dan SMA. Begitu melihat namanya, saya langsung terkenang peristiwa saat saya kelas 2 SMA itu.Ceritanya, saya adalah bendahara kelas. Seperti biasanya, begitu tanggal 10 tiap bulannya, saya mengumpukan semua iuran sekolah dari teman-teman dan menyetornya ke pihak TU (tata Usaha). Tapi kali ini ada teman yang sudah sampai tiga bulan belum membayar iurannya juga. Karena itu orang tuannya dipanggil menghadap wali kelas. Nah, si ibu datang ke sekolah rupanya sambil membawa pedang yang sudah diasah tajam mencari pihak yang mau disalahkan. Tujuannya langsung ke kelas dan menemui bendahara, yaitu saya.

Ibu berkacamata dan bergelung cepol ini begitu menemukan saya (sesudah bertanya ke teman sekelas), langsung tanpa basa-basi menuduh saya menggelapkan uang sekolah yang beliau selalu berikan ke anaknya. Si ibu ngomel panjang-lebar sampai muncrat ke saya. Saya tentu saja mengelak dan tidak mau seenaknya saja dituding mengambil uang iuran sekolah. Tapi sepertinya alasan apapun yang saya berikan, atau bantuan suara dari ketua kelas kepada si ibu tidak digubris. Saya tetap dituduh mengambil uang sekolah anaknya yang tiga kali Rp 10 ribu itu. Yang paling menyebalkan, selama si ibu ngomel-ngomel itu, anaknya, yang teman sekelas saya dan juga teman naik bis karena tempat kami tinggal sama daerahnya, diam-diam saja di dekat beliau.

Pada akhirnya ketua kelas memanggil bapak wali kelas yang langsung membela saya habis-habisan. Menurut si ibu, saya memilih korban. Aduh, beneran saja! Apa masuk akal saya cuma memilih uang dari seorang saja untuk saya ambil? Kami sempat ke pihak TU membahas masalah tunggakan iuran sekolah tersebut dan ibu TU juga membela saya yang termasuk bendahara kelas yang paling rapi dan jelas pembukuannya. Bapak wali kelas tentu saja kemudian mencecar teman saya yang kok diam seribu bahasa saja meski melihat ibunya sudah sewot nggak karuan. Ketahuan akhirnya, teman saya itu sudah menjajankan uang sekolahnya yang tiga bulan. Si ibu cuma melongo. Begitu mendengar pengakuan anaknya, beliau menangis layaknya pemain sandiwara dan meminta maaf ke saya. Buat saya pribadi, tuduhan kalau tidak benar, saya akan bantah habis-habisan. Tapi yang membuat saya sakit hati adalah teman saya yang tega dan diam saja saat melihat ibunya marah-marah dan menuduh saya. Meski dia minta maaf juga, saya tidak pernah lagi menggubris dia, bahkan sampai detik saya melihat ajakannya berteman di FB saya. Buat apa berteman dengan pengecut?



D. Yustisia

(Photo saat kelas 3 SMA - 3SOS3)

(Cerita Anak SMA): Study Tour ke Jogja

Kenapa saya perlu menceritakan perihal study tour kami saat SMA? Karena study tour ini sangat mengesankan buat saya dan juga kawan-kawan. Seperti yang saya ceritakan di jurnal sebelumnya, saya berusaha menepati janji ke bapak supaya saya diperbolekan untuk mengikuti study tour ke Jogja. Sesudah segala macam persiapan materi baik dari pihak sekolah maupun dari keluarga, saya diantar bapak ke stasiun Gambir untuk berangkat. Untuk study tour ini, sekolah kami menggunakan khusus satu gerbong untuk seluruh murid dan guru serta pendamping yang pergi ke Jogja. Pukul 4 sore kereta diperbolehkan berangkat dan saya merasa terharu melihat bapak melambai-lambaikan tangan disertai wajah yang sedikit kuatir, secara spontan menitikkan air mata. Itu perjalanan pertama saya sendirian ke tempat yang jauh tanpa orang tua atau anggota keluarga lainnya. Sementara itu di satu gerbong yang kami naiki, hampir semua anak riuh-rendah karena gembira.

 
Di atas kereta api yang membawa kami ke Jogja, perjalanan terasa lancar. Saya duduk dengan sahabat saya dan kawan-kawannya dari kelas BIO. Seperti biasa kami ngerumpi asyik, bercerita tentang berbagai macam. Dalam perjalanan beberapa anak saya perhatikan asyik bermain kartu, ramai sekali. Sebagian ada yang bercanda dan menciptakan guyonan yang bisa membuat seisi gerbong tertawa, apalagi pak guru yang ikut turut serta guyonan mereka. Begitu kami tiba di sebuah stasiun kadang ada penjual makanan yang berusaha masuk ke gerbong kami. Seorang kawan yang badannya tinggi-besar dipilih para guru untuk menjaga pintu masuk ke gerbong kami. Dia ini yang bertugas menghalangi para pedagang asongan masuk ke gerbong. Perjalanan masih lancar hingga kira-kira pukul 3 pagi saat tiba-tiba saya dan beberapa kawan terbangun karena sebuah lonjakan keras. Kemudian kami merasakan gerbong kami miring dan kereta mengerem sekuatnya. Barang-barang yang ada di rak atas tempat duduk berjatuhan menimpa beberapa orang yang asyik terlelap.  

Gerbong kereta dimana kami berada masih miring sementara keadaan di luar masih gelap-gulita. Pak guru kami yang turut serta study tour keluar gerbong kereta dan berusaha mencari tahu sebab dari berhentinya kereta secara tiba-tiba dan keadaan yang masih tanda-tanya. Di dalam gerbong, beberapa kawan yang laki-laki berbagi tugas untuk menjaga dua pintu masuk gerbong dan memeriksa keadaan kawan-kawan lainnya. Syukurnya tidak ada korban yang sampai terluka parah, meski begitu ada segelintir teman yang cidera akibat ketiban barang-barang dari rak. Rasanya lama sekali kami berada di gerbong kereta itu sementara di luar masih gelap. Pak guru kembali ke gerbong kami membawa berita, kalau kereta yang kami naiki keluar dari relnya. Beberapa jam kemudian mulai muncul fajar dan sedikit demi sedikit keadaan di luar mulai terlihat. Begitu fajar sudah penuh sinarnya, saya beserta beberapa teman ke luar gerbong ingin meluruskan kaki dan mencari tahu. Pemandangan di depan mata sangatlah mengejutkan sekaligus mengerikan. Gerbong kami miring ke kanan mungkin 40 derajat, sedangkan ada gerbong lain yang keluar dari rel. Keterkejutan kami agak terobati dengan pemandangan di sekeliling kami yang sejuk dan asri berupa beberapa sawah dan hutan.

 

Kami masih menunggu pihak kereta api memperbaiki kerusakan. Sekian jam kemudian kereta berangkat lagi menuju Jogja. Saat peristiwa kereta anjlok itu sepertinya kami ada di daerah Jawa Tengah. Rasanya tidak lama kemudian kereta kami tiba di stasiun kereta Jogja. Kami lega sekali. Sesudah itu kami naik bis besar menuju sebuah penginapan di pingiran Jogja untuk istirahat, membersihkan badan dan menyantap makan siang. Makan siang kami sangat istimewa, karena menunya yang beragam asli ala Jogja. Gudeg, Bacem, tempe goreng tentu saja ada. Tadinya kami pikir kami akan menginap di situ, ternyata kami naik lagi bis menuju tempat penginapan lain di dalam kota Jogja bernama Hotel Bhakti. Hotel ini lebih terlihat seperti losmen dan suasananya sangat kekeluargaan. Study tour kami berlangsung 3 hari dan beberapa tujuan amat menarik buat saya. Setiap kali kami berkunjung ke tempat-tempat yang akan kami pelajari kami harus bersegaram sekolah. Ini bagian yang tidak asyiknya.

 
Tempat tujuan kami salah satunya adalah pabrik batik. Di sana kami diberi pengarahan mengenai produk batik pabrik itu (saya lupa namanya) yang kebanyakkan berupa batik cap. Kami diberitahu bahan-bahan untuk membatiknya, juga bagaimana caranya mengecap motif batiknya ke atas kain. Selain itu kami ditawarkan juga harga discount produk batik dari pabrik tersebut. Yang saya ingat, saya meminta seorang pekerja pabrik untuk mengecap buku tulis saya dengan motif batik capnya, sekedar untuk souvenir. Selain itu kami juga berkunjung ke sebuah pabrik pengecoran timah yang membuat alat-alat pertanian. Kami melewati desa-desa di luar kota Jogja dan menikmati pemandangan di sana-sini. Selain belajar, kami juga berkesempatan untuk melancong ke beberapa tempat wisata sambil tetap belajar. Kami berkunjung ke Keraton Jogja dan pantai Baron. Pantai Baron ini letaknya di pelosok sekali, melewati hutan, bukit dan jalanan yang berliku-liku selama sekian jam. Pantainya cantik dan bersih dengan pantai yang agak kasar karena bebatuan kecil-kecilnya.  
Di hari berikutnya kami berkesempatan mengunjungi Borobudur dan itu pertama kalinya buat saya. Beberapa dari kami berusaha menaiki candi besar ini sampai ke puncaknya. Saya sangat menikmati setiap ilustrasi dari tubuh candi yang berisi berbagai cerita. Di beberapa stupa saya dan sahabat saya berusaha memasukkan lengan kami untuk memegang patung Budha di dalamnya. Ada yang bilang kalau sampai bisa menyentuh patung itu, keinginan kita bisa tercapai. Tapi kami melakukan itu bukan karena kepercayaan tersebut, melainkan akibat penasaran. Herannya, dari sekian patung yang berusaha saya pegang, saya hanya berhasil menyentuh satu saja. Sementara yang lainnya, seakan-akan patungnya berada lebih jauh dari raihan tangan saya. 

Hari terakhir study tour kami, kami diberikan kesempatan jalan-jalan bebas menjelajahi kota Jogja. Tentu saja tujuan kami adalah Malioboro yang pada akhirnya beberapa kali kami datangi. Saya, sahabat saya dan beberapa kawan mencoba makan malam Lesehan di Malioboro, mencicipi masakan khas kota bersejarah ini. Lalu kami juga berkesempatan naik andong keliling kota dan tujuan kami adalah bioskop 21 di sana. Beberapa kawan yang laki-laki mengajak nonton dan memilih Robocop, bukan film yang saya maui tentunya. Harga tiket biokop 21 di Jogja jauh lebih murah dari yang di Jakarta dan kami merasa girang sekali. Lumayan masih ada uang tersisa untuk membeli oleh-oleh di Malioboro. Saat berjalan-jalan berkeliling di Malioboro, saya meminta tolong seorang teman yang fasih bahasa Jawa halus untuk menemani saya dan teman lainnya selama berbelanja souvenir. Alasannya, supaya kawan saya itu bisa membantu menawar barang. Saya membawa pulang beberapa obyek menarik hasil karya tangan seniman Malioboro. Sore tanggal 31 Desember 1990, kami pulang menuju Jakarta dengan kereta. Perjalanan kami lebih lancar dari saat berangkat dan ketika pukul 12:00 dini hari tanggal 1 Januari, kami masih di dalam kereta. Beberapa teman tiba-tiba membangunkan kami semua dengan tiupan terompet tahun baru. Di gerbong kami suasananya jadi ramai saling memberi ucapan selamat tahun baru. Saya menyempatkan menulis diary baru di atas kereta, berharap tahun depan saya bisa terus berprestasi dengan baik. Sejenak kemudian saya ikut lelap bersama teman-teman lain dalam mimpi yang beraneka.


Cerita akan bersambung lagi...


D. Yustisia


(Photo-photo koleksi pribadi)




Tuesday, August 7, 2012

(Cerita Anak SMA): Menemukan Jatidiri

Mendekati kenaikkan kelas dari kelas 1 ke kelas 2 di SMANDEL lain lagi ceritanya. Karena untuk kelas 2 berarti ada penjurusan, berarti pula nilai-nilai dan bakat menentukan penjurusan itu. Saat di kelas 1 itu juga kami mengikuti tes psikologi yang katanya bisa menelaah penjurusan kami di kelas 2. Hasil dari tes saya, saya cocok bekerja di laboratorium. Hm, saya terbayang untuk menjadi seorang Biologist atau ahli Botani. Begitu ulangan demi ulang berlangsung, hasil nilai-nilai saya berada di perbatasan antara penjurusan A2 yaitu penekanan ilmu Biologi dan A3 penekanan ilmu Sosial. Sementara keinginan bapak saya masuk jurusan IPA, yang dengan berat hati tidak mungkin. Karena nilai-nilai saya dalam beberapa mata pelajaran utama A1 (Matematika & Fisika) kurang bagus. Di sinilah saya bernegosisasi dengan bapak, sambil sedikit memberikan gambaran kalau sama masuk A2 saya bakal jadi apa. Saya bilang ke bapak, saya mau jadi insinyur kehutanan dan bapak tentu saja keberatan melepas saya ke hutan belantara. Pilihan saya sendiri lebih berat untuk masuk jurusan A3, karena saya bisa mempelajari bahasa asing lain selain Inggris dan mempelajari Akutansi. Nilai Matematika saya bisa jadi jarang bagusnya, tapi nilai Akutansi saya selalu tinggi. Akhirnya bapak menyerah dan memperbolehkan saya masuk A3 dengan syarat nilai-nilai saya harus bagus, betul-betul bagus.

Sewaktu angkatan 92 si SMANDEL ini ada era baru, begitu ungkapan para guru kami, dimana jumlah kelas jurusan Sosial sama banyaknya dengan jurusan IPA. Dalam kebiasaan di SMANDEL ini berarti dianggap penurunan kualitas dan kami waktu itu sebagai anak-anak Sosial bercita-cita untuk menunjukkan kemampuan kami yang bisa membanggakan. Tidak enak rasanya dijadikan "anak bawang" dan hanya dilihat sebelah mata. Menurut para guru, dalam sejarahnya, kelas jurusan Sosial itu paling banyak 2, sedangkan saat angkatan 92, ada 5 kelas. beda satu kelas dengan jurusan IPA, dan melebihi satu kelas dari jurusan Biologi. Saya sendiri, lebih nyaman di jurusan Sosial, serasa berkecimpung di dunia yang mengasyikkan. Betul saja, pelajaran-pelajaran yang saya cintai seperti Sejarah, Bahasa Inggris, Bahasa Jerman, Akuntansi, menjadi keutamaan saya. Hal lainnya yang membuat kejutan, saya berhasil memperbaiki nilai-nilai saya begitu naik kelas 2.

Saat di kelas 2 ini juga merupakan masa jaya saya dalam bidang suara. Saya memilih untuk masuk menjadi anggota Seksi Kesenian dan menjadi anggota istimewa Sub-seksi Paduan Suara. Awalnya anak-anak kelas 1 diberikan pengarahan dan pengetahuan mengenai organisasi dan kegiatan di sekolah. Masing-masing anak bisa memilih untuk menjadi anggota utama sebuah seksi kegiatan dan bisa menjadi "penggembira" seksi lainnya. Waktu itu saya langsung kepincut dengan Seksi Kesenian dan Media Siswa. Karena kami hanya diperbolehkan memilih satu seksi yang uatama, saya pilih Seksi Kesenian. Untuk menjadi anggota dari sub-seksi Paduan Suara saya harus melalui sebuah audisi. Seorang kakak Senior bernama mbak Ade yang memimpin audisinya beserta dua kakak senior lain. Mulanya saya diminta mengikuti nada-nada dari sebuah keyboard. Lalu saya disuruh memilih sebuah lagu untuk dinyanyikan. Saya masih ingat reaksi mbak Ade dan dua senior lainnya. Mereka saling melirik dan berpandangan, mengangguk dan sedikit menyungging senyum. Sesudah saya menyanyi, mbak Ade memberitahu kalau saya resmi diterima di Paduan Suara SMANDEL dan menjadi salah seorang Soprano. 


Sejalan dengan resminya saya menjadi anggota sub-seksi Paduan Suara, tiap akhir pekan saya harus datang mengikuti latihan yang lebih sering menjemukan. Tapi saya punya kawan-kawan sesama penyanyi di sini, sehingga saya menikmati saja latihan demi latihannya. Tiba saatnya kami diajak untuk memperlihatkan kemampuan Paduan Suara SMANDEL di acara aubade di beberapa perhelatan penting. Karena SMA kami termasuk SMA ternama dan disegani, kami hampir selalu diundang untuk menyanyi di acara-acara penting bertema kenegaraan. Seperti misalnya acara peringatan Sumpah Pemuda, Kebangkitan Nasional, dll. Kesempatan berjalan-jalan ke luar saat jam sekolah juga jadi hal yang menarik. Sebab tiap kali saya dan teman-teman lain dibutuhkan untuk latihan atau tampil, kami akan selalu mendapatkan ijin khusus untuk tidak hadir di kelas. Menurut salah seorang guru yang melepas kami suatu waktu untuk tampil di acara di Stadion Senayan, kami adalah duta dari SMANDEL dan membawa misi penting. Tentunya kami bangga mendengar ini, apalagi saat kami bisa melihat langsung Presiden Soeharto yang melambaikan tangan saat melewati bagian tempat duduk kami.

Selain tampil di aubade, saya berkesempatan tampil di acara di sekolah lain mewakili SMANDEL. Sementara itu meski SMA kami terkenal karena prestasi akademiknya, kegiatan seni kami juga mumpuni. Ada acara Malam Kesenian, acara terbesar yang pernah saya ikuti di SMA. Bintang tamunya grup musik Karimata. Saya dan beberapa teman berkesempatan bertemu muka dengan Chandra Darusman, Erwin Gutawa dan berphoto bersama. Pucuk dicinta ulam tiba, untuk para fan berat mereka. Sebelum tampil di tiap acara inilah yang menarik buat saya, karena saya harus meminta dana khusus dari orang tua untuk membeli pakaian tertentu (seragam paduan suara) atau sepatu. Orang tua saya sempat keberatan dengan kesibukkan saya di paduan suara, tapi saya tetap bisa mengikuti pelajaran dengan baik, jadi tidak ada masalah.


Hal lain yang sangat berkesan untuk saya saat kelas 2 adalah pertama kalinya saya mengikuti STUDY TOUR ke luar propinsi. Ada tiga pilihan kota untuk study tour yang berbeda pula biayanya: Jakarta, Bandung dan Jogjakarta. Paling jauh tempatnya, berarti paling besar biayanya, sebesar Rp 150 ribu. Bapak saya ngotot saya disuruh memilih di Jakarta saja dan saya protes berat. Saya ingin ke Jogja. Dorongan ini ditambah karena sahabat saya bertujuan pergi ke Jogja juga. Saya dan bapak kembali bernegosiasi, syaratnya saya harus masuk tiga besar di kelas. Saya sangsi dan sudah membayangkan pergi study tour di Jakarta. Ternyata bapak dapat kejutan, begitu juga saya saat bapak sendiri yang mengambil rapor. Saya menunggu dengan perasaan campur-aduk di rumah, tidak sabar untuk melihat hasil rapor. Bapak pulang dan bilang saya boleh ke Jogja. Betapa senangnya! Saya buktikan ke bapak, saya bisa meraih ranking 2 di kelas. Perjalanan jauh saya pertama kali tanpa keluarga itu berawal dari stasiun kereta Gambir. Cerita study tour ke Jogja ini sendiri bisa saya buat menjadi sub-story khusus karena banyak sekali yang bisa saya ceritakan. Intinya, saat kelas 2 di SMA, saya menemukan jati diri saya lewat bakat saya di bidang suara dan kepandaian dalam bidang ilmu-ilmu sosial. Saya bisa menunjukkan terutama ke orang tua, saya bukanlah ABG biasa.


Cerita akan bersambung lagi...


D. Yustisia
Photo-photo koleksi pribadi saat saya kelas 2 SMA





(Cerita Anak SMA): Sebuah Permulaan Menjadi Anak SMA

Saya lulus tahun 1989 dari sebuah SMP yang cukup terkenal di daerah Jakarta Selatan, SMP Negeri 3 Manggarai. Saya masuk ke SMP itu beserta dua orang kawan lain dari SD yang sama. Terus terang saya agak kaget bercampur-baur dengan berbagai macam murid dari SD lain yang beragam latar belakangnya. Kebanyakkan dari mereka adalah anak-anak pintar yang lebih pintar dari saya, padahal saat SD saya termasuk yang dianggap pintar. Kekagetan saya membuat penyesuaian diri saat SMP berpengaruh ke nilai-nilai saya. Saat SMP inilah saya mendapat angka merah. Saya patah hati dan kecewa berpikir kenapa bisa begitu. Saat kelas 3 SMP nilai-nilai saya menempatkan saya dalam rangking di  antara 10 dan 20. Makanya begitu saya tahu kalau SMA tujuan yang bisa dipilih berdasarkan rayon salah satunya adalah SMA 8, saya merasa lemas bukan kepalang.

Saya memutuskan untuk memilih SMA 3 dan SMA 37, yang menurut saya sesuai dengan ukuran saya. Saya benar-benar merendahkan kemampuan saya dalam hal akademik. Saya berpikir tidak akan bisa beradaptasi di sekolah seperti SMA 8. Tapi bapak berpikir lain, saya harus memilih SMA 8 untuk pilihan pertama. Saya menangis membayangkan saya tidak akan diterima, apalagi NEM saya biasa saja. Di hari pengumuman, saya dan dua sahabat saya berkumpul di depan halaman sekolah memandangi beberapa lembar kertas yang ditempel di dinding. Ah! Nama saya ada dan SMA 8 menjadi SMA tujuan saya.

Sesudah urusan pendaftaran ini-itu, administrasi, dll, mulailah saya menjalani era bersekolah di SMA 8. Hal pertama yang saya harus ketahui, perihal transportasi. Karena saat itu saya masih tinggal di Pengadegan, Jaksel, saya harus berjalan kaki yang lumayan jauhnya menuju daerah Tebet nun jauh di sana. Saya harus melewati Cikoko, menyeberangi jembatan penyeberangan di M.T. Haryono menuju kawasan Tebet Timur untuk menunggu bis S-60. Bis ini rutenya Manggarai-Kampung Melayu, melewati persis di depan SMA 8 yang terletak di Bukit Duri. Di atas bis inilah saya bisa bertemu dengan kawan-kawan dari SMP yang sama atau berkenalan dengan teman baru dengan cara melihat badge nama SMA yang ada di kemeja seragam kami. Anak-anak SMA lain yang melihat atau mengetahui kami sebagai anak SMANDEL, biasanya agak sungkan. Sepertinya menyeramkan begitu gambaran anak-anak SMANDEL yang katanya bisa sampai  bersekolah 7 hari dalam seminggu.

Seperti halnya saat masuk sekolah baru, tentu saja ada kegiatan perploncoan. Buat saya sendiri, bukan suatu hal yang menakutkan. Kalau sekedar mendengar bentakan demi bentakan dari senior, saya suka pura-pura tidak dengar. Tugas-tugas dari mereka pun kebanyakkan yang masuk akal, karena ditujukan untuk kami mengetahui pelajaran baru, misalnya mengenai tabel unsur-unsur Kimia. Kimia ini yang menjadi pelajaran baru yang jadi favorit saya. Selain itu saya bisa unjuk gigi kebisaan saya, yaitu menyanyi yang menjadikan saya cukup dikenal saat SMA. Saat perploncoan pun tidak ada hal yang menggangu jiwa, justru sebaliknya menyenangkan buat saya. Kenapa? Karena ada seorang kakak pembimbing yang mencuri perhatian saya sepenuhnya. Mabuk kepayang lah saya di kelas 1-4 di lantai 2 SMANDEL. Hari-hari saya di kelas 1 berisi dengan penyesuaian demi penyesuaian. Tiba-tiba saja ada campuran hormonal di semua cerita di diary saya saat SMA kelas 1. Anak SMA biasanya dipandang sebagai anak-anak remaja yang lebih matang dari anak SMP, dan secara fisik pun perubahan yang terjadi bisa turut serta meramaikan upaya penyesuain diri.

Saat kelas 1 inilah pertama kalinya ada teman seangkatan yang menyatakan isi hatinya dan saya yang bersikukuh hanya menyukai kakak senior, ogah dan wegah menerima perhatian cowok itu. Kemudian tiba-tiba cerita di sekolah pun jadinya berisi dengan,"Si A naksir si B, loh", atau "Gue sebel sama si C, karena dia naksir cowok yang gue taksir", dan lain-lain cerita seputar hati dan suatu hari, ada sebuah kata yang tertulis di diary... CINTA. Padahal untuk bertahan di sekolah seperti SMANDEL yang hampir 80% anak muridnya berotak cerdas, merupakan anak berbakat dan punya kelebihan tersendiri, sudah jadi tantangan besar buat saya. Di saat ini pula saya belajar tentang murid-murid yang jadi populer karena otaknya, fisiknya, kebisaannya dalam suatu hal, yang berbeda dengan saat SMP, yang cenderung mengetengahkan fisik semata. Itulah inti dari kelas 1 SMA yang berupa sebuah permulaan tentang penyesuaian, penjajakan, penilaian, pemantapan kata hati dan hormonal remaja.


Cerita akan bersambung...



D. Yustisia


Photo-photo koleksi pribadi saat saya di kelas 1 SMA Negeri 8