Welcome to My Sanctuary

If you are a dreamer, come in.
If you are a dreamer, a wisher, a liar,
A hope-er, a pray-er, a magic bean buyer...
If you're a pretender, come sit by my fire.
For we have some flax-golden tales to spin.
Come in!
Come in!


(INVITATION - Shel Silverstein)

Tuesday, August 21, 2012

Indahnya Sebuah Idul Fitri

Malam terakhir bulan Ramadhan, kami memutuskan untuk menikmati sesantai mungkin. Sabtu pagi kami bermalas-malasan. Anak-anak kami biarkan tidur lama sementara suami asyik main game. Begitu menjelang tengah hari, saya baru bergerak dan pergi ke laundromat, supaya tidak punya hutang cucian kotor saat Lebaran. Sore itu kami nikmati sekeluarga untuk berbelanja kebutuhan untuk memasak santapan Idul Fitri dan mencari jajanan untuk buka. Di jalan menuju kembali ke rumah, kami melewati jalanan yang jarang ada penerangannya dan yang berupa hutan kecil. Langit malam di akhir Ramadhan ditaburi bintang-bintang yang jadi perhatian kami. Dari mobil yang melaju, anak-anak ribut mencari dan menyebutkan nama-nama rasi bintang atau bintang yang mereka tahu. Sementara saya menikmati pemandangan langit malam sambil terharu. Itulah malam takbiran kami. Allahu Akbar Wa lillahil hamd (Allah Maha Besar. Segala puja dan terima kasih pada-Nya).

Sesampainya di rumah sudah malam dan saya mengantuk sekali. Tapi saya belum menyiapkan makanan buat Idul Fitri keesokannya. Saya berusaha bertahan memasak ketupat dan sambel goreng rempah yang baru saya mulai pukul 10:30 malam. Selain itu saya juga menyiapkan hadiah buat beberapa teman yang mau saya berikan esok harinya. Saya baru tidur pukul 3:30 pagi hari Minggu atau hari Lebarannya. Pukul 6 pagi saya dibangunkan suami dan langsung bergegas bersiap-siap untuk sholat Eid. Sholat Eid tahun ini dilaksanakan di sebuah gymnasium SMA yang di tahun-tahun sebelumnya juga pernah dipakai. Tapi sayangnya, hampir setiap pagi saat bersiap-siap untuk sholat Eid ini, pasti keadaan agak kacau dan buru-buru. Anak-anak yang masih mengantuk, ada yang mengeluh belum sarapan, belum lagi yang harus bergantian memakai kamar mandi dan lain-lain. Rasanya sesudah sebulan berusaha menahan amarah, pagi itulah kesempatan untuk mengomel dan marah-marah tiba-tiba saja terbuka. 

Jalanan di Minggu pagi kemarin masih sepi saat kami menuju gedung SMA bernama Career High itu. Sholat Eid dimulai pukul 7:30 dan rupanya kami datang di babak pertama sholatnya. Sholat keduanya akan dilakukan pada pukul 9 pagi. Orang-orang yang mengikuti sholat babak pertama tidak banyak. Ada dua ibu Indonesia lain yang sholat bersama saya dan dua putri saya. Sholat Eid kami berjalan lancar. Satu hal yang menarik saat sholat berlangsung adalah sewaktu sang Imam berhenti saat membaca Surat Quran karena lupa. Langsung seketika itu juga selang sekian detik beberapa jamaah pria menyambungkan ayat berikutnya. Kejadian yang menandakan bahwa seorang pemimpin itu bukanlah manusia yang sempurna. Dia bisa melakukan kesalahan dan harus mau dikoreksi dan dibantu oleh anak buahnya. Di lain pihak menjadi anak buah bukan berarti cuma bisa mengikuti pemimpinnya secara buta atau lepas tangan saat harus bertanggung jawab juga. Sebuah contoh yang sangat bagus bagaimana umat Muslim yang beraneka bangsa, latar belakangnya dan majemuk budayanya bisa menyatu saling membantu untuk kelangsungan beribadah.

Sesudah sholat Eid dua rakaat, kami mendengarkan khutbah dari sang Imam. Khutbahnya kali ini enurut saya menarik sekali. Hal pertama yang saya perhatikan, sang Imam membahas mengenai bermaaf-maafan. Dia menyinggung mengenai hakikat Fitrah supaya kita belajar untuk memaafkan dan melupakan. Anjurannya, begitu sholat Eid selesai untuk mendatangi keluarga, saudara dan teman-teman dan saling memaafkan. Hal ini yang sudah jadi tradisi di Indonesia saat Lebaran, bukan hal yang umum dilakukan umat Muslim bangsa lain seperti dari Afrika atau Timur Tengah dan Amerika. Hal kedua yang lebih menarik lagi adalah himbauan sang Imam untuk umat Muslim supaya meniadakan rasialisme. Kaget akan kenyataan ini? Padahal memang benar adanya, terutama menyangkut sebuah masjid. Di Amerika, masjid lebih dikenal lewat kebangsaan atau asal negara umat yang mendatanginya. Ada masjid orangTurki, masjid orang Arab, masjid orang Indonesia, masjid orang Pakistan, masjid orang Black Muslim. Sang Imam meprotes perbedaan yang mendasarkan pada kebangsaan dan asal negara ini. Katanya, kalau mau mendatangi masjid, datanglah karena masjid itu masjidnya Allah, bukan masjidnya bangsa A atau bangsa B. Himbauannya untuk meniadakan rasialisme ini benar-benar mengena dan bertujuan untuk menyatukan umat Muslim keseluruhan terutama di Amerika Serikat yang kaum Muslimnya minoritas.

Senja di malam terakhir Ramadhan menjelang Syawal.



Mendengarkan khutbah Imam sesudah sholat Eid.


Masakan untuk Idul Fitri, sambal goreng rempah daging giling.



Monday, August 20, 2012

Ramadhan di Musim Panas 2012

Begitu awal Juli mendekat saya tuliskan "RAMADHAN" di kalender di dapur, tempat paling sering dilalui orang-orang rumah. Begitu ada tulisan menandakan Ramadhan akan datang, kami segera mendiskusikannya, terutama saya dan anak-anak. Sebabnya diskusi mengenai puasa Ramadhan ini menjadi lebih menarik, karena tahun ini jatuh saat musim panas sedang berlangsung. Musim panas berarti siangnya lebih panjang, lebih dari 12 jam. Belum lagi saat musim panas suhu udara bisa tinggi mencapai 100F atau hampir 38C, dan itu masih bisa ditambah kelembaban udara yang membuat badan lekat dengan keringat dan mudahnya badan menjadi lemas. Saat Ramadhan berlangsung kebetulan anak-anak sedang menjalani libur sekolah. Jadi saya tidak perlu mengatur apa-apa. Tapi putri sulung kami selama sebulan lamanya mengikuti summer music camp yang termasuk full time dengan segala macam kegiatan baik latihan dan konser. Saya sempat was-was apakah kami akan bisa menjalani puasa tahun ini. Pikiran saya seperti ini karena saya kalau terkena matahari atau panas agak lama bisa sakit kepala yang bisa bertahan lama kalau tidak makan obat.

Musim panas tahun ini suhu dan cuaca benar-benar berbeda dengan musim panas sebelumnya. Beberapa hari suhu berkisar 90F sampai 100F. Beberapa kali badai berupa hujan lebat dan petir yang sampai ratusan kali menyambar terjadi. Tanggal 20 Juli hari pertama puasa Ramadhan serentak berlangsung di Amerika Serikat. Minggu pertama badan ini serasa mendapatkan kejutan, karena dalam sehari kami berpuasa selama 16 jam lebih. Seandainya kami tidak sahur, bisa dibayangkan keadaan badan kami tanpa masukan cairan seharian. Di awal puasa Subuh jatuh pukul 4 pagi dan Maghrib jatuh pukul 8:20 malam. Semakin menuju ke pertengahan dan akhir Ramadhan, waktu Subuh dan Maghribnya berubah. Selama sebulan berpuasa, kami hanya terlewat sehari saja tanpa sahur. Tapi saat tidak sahur itu saya mengalami sakit kepala yang bertahan lama. Bayangkan saja kepala ini terasa cenut-cenut setiap kali saya bergerak, sementara saya tidak bisa makan obat. Untuk meredakan sakit kepalanya saya mencari upaya lain lewat tempelan koyok dan pijatan di bahu kiri yang memang sedang tegang sambil berdoa. Alhamdulillah saya bisa bertahan sampai Maghrib dan sakit kepala saya bisa berkurang sedikit demi sedikit.Meski begitu godaan itu kebanyakkan berupa godaan emosi, karena kami tinggal di negara yang Muslimnya minoritas, orang lain tidak ada yang paham mengenai puasa kami. Jadi tidak ada yang namanya toleran pada umat Muslim yang berpuasa, yang makan tetap makan, yang mengesalkan tetap ada dan karena musim panas, yang berpakaian terbuka dan berbahaya ada di mana-mana.

Kegiatan saya sendiri selama bulan puasa penuh dengan kegiatan fisik. Di hari keempat Ramadhan, putri sulung kami mulai summer music camp-nya. Setiap pagi dari Senin sampai Jumat saya mengantar dan menjemputnya memakai bis kota. Sesudah saya antar dia di sekolah musiknya, saya kembali ke rumah. Beberapa kali saya harus mampir dulu ke supermarket untuk berbelanja, baru kembali ke rumah. Di hari lainnya saya mengurus cucian kotor ke laundromat, sebelum menjemput si sulung. Tiap hari Selasa dan Kamis putri kami dan kawan-kawannya tampil di konser dari sekolah dan berarti waktu berakhirnya sekita rpukul 6. Sesudah konser saya dan anak-anak harus bergegas kembali ke rumah supaya bisa istirahat sebentar sebelum buka puasa. Selain itu saya juga mesti mengatur waktu untuk memasak makanan untuk berbuka dan sahur yang biasanya saya kerjakan 2 jam sebelum waktu buka puasa tiba. Yang menambah berat selain pekerjaan fisik dan mondar-mandirnya itu adalah cuacanya. Suhu yang panas membuat badan cepat lemas dan capek, ditambah dengan kurang tidur. Di minggu akhir Ramadhan, saya sudah seperti zombie, melakukan segala hal sambil setengah sadar, sementara setengahnya serasa di awang-awang terkantuk-kantuk. Alhamdulillah, puasa Ramadhan kami lewati dengan lancar. Putri sulung kami bisa melaksanakan puasa penuh seharinya, meski beberapa hari dia harus membatalkan puasanya karena sakit kepala dan muntah. Sepertinya dia masuk angin dan kecapekan. Dua anak kami yang lain berpuasa hampir penuh juga, dengan potongan berbuka saat Zuhur dan meneruskan berpuasa sampai Maghrib.


Kami sekeluarga mengucapkan,

"Selamat Hari Raya Idul Fitri. Maafkan lahir dan batin. Minal aidin wal faidzin.

Semoga Allah mengampuni segala dosa dan kesalahan kita, serta meluaskan ladang rezeki kita dan melindungi kita dari hal-hal yang buruk dan merugikan."



Di & keluarga


Saturday, August 11, 2012

Serba-serbi Mencuci Pakaian di Amerika

Pelajaran pertama saya sewaktu baru-baru saja memulai hidup di Amerika adalah bagaimana caranya mencuci pakaian. Mencuci pakaian adalah satu dari sederet pekerjaan rumah tangga yang mesti seseorang lakukan. Mau dia berstatus menikah atau bujangan, pekerjaan mencuci pakaian itu mau tidak mau harus dikerjakan. Fasilitas untuk mencuci pakaian itu beragam. Yang saya bahas di sini adalah fasilitas yang ada di sebuah gedung apartemen atau fasilitas umum dan bukan sarana mencuci di rumah pribadi. Jam menunjukkan pukul 1 pagi. Saya lihat dua putri saya tertidur pulas di atas kursi panjang di laundromat. Sementara itu suami sedang menonton TV sambil memangku si bungsu. Saat itu saya sedang melipat pakaian yang baru saat keluar dari mesin pengering. Pemandangan itu bagi beberapa keluarga adalah bukan hal yang asing lagi. Karena orang dewasanya mesti bekerja di pagi hari sampai malam, beberapa ada yang bekerja sampai 6 hari seminggu, pekerjaan mencuci pakaian harus dikerjakan dini hari saat libur kerja. Bahkan saat kami datang ke laundromat pukul 10 malam pun, di hari-hari tertentu, laundromat itu ramainya bukan main. Beberapa laundromat terbuka 24 jam supaya orang-orang yang kerjanya dalam shifts bisa tetap mencuci pakaian mereka.

Fasilitas umum untuk mencuci pakaian di sini disebutnya LAUNDROMAT. Masing-masing laundromat punya nama-nama unik, seperti "Spic and Span", "Sack of Suds", "Tumble O'Clean" dll. Masing-masing laundromat punya ciri khas tersendiri dan cara menarik perhatian pelanggan. Saya dan keluarga sudah beberapa kali berganti laundromat. Ada laundromat yang menyediakan minuman hangat seperti kopi atau teh dan kue-kue kering. Ada pula yang memberikan kesempatan mencuci gratis untuk setiap 10 kali mencuci. Jadi masing-masing pelanggan diberikan semacam kartu yang nantinya dicap atau dilubangi oleh penjaga laundromat. Sesudah kartu itu penuh 10 kali, pelanggan bisa mencuci gratis terserah apapun ukuran mesin cucinya. Pembayaran untuk pemakaian mesin-mesin di laundromat beragam. Pembayaran yang umum dalah memakai koin berupa uang logam 0.25 cents. Pelanggan bisa mendapatkan tukaran uang receh di mesin khusus yang menerima uang kertas $1, $5, $10 dan $20. Laundromat lain ada yang menggunakan kartu khusus yang mereka keluarkan. Kartu ini bisa diisi ulang oleh pelanggan. Untuk pembelian kartunya, pelanggan harus membayar $2, baru kemudian bisa mengisi sesuai keperluan. Di kartu tersebut terdapat computer chip yang gunanya untuk membaca akses kartu di tiap mesin.

Di laundromat ada beberapa ukuran mesin cuci: kecil, medium dan big loads. Mesin cuci atau washer ukuran kecil ini biasanya membutuhkan $2.50 sampai $3 untuk menjalankannya. Sedangkan untuk mesin cuci medium membutuhkan $3.50 sampai $4.50. Mesin cuci big loads betul-betul ukurannya besar, sampai-sampai anak kecil pun bisa masuk ke dalamnya. Mesin ini membutuhkan $5 sampai $6 untuk menjalankannya. Sedangkan untuk pemakaian mesin pengering atau dryer membutuhkan 0.25 cents per 8 menit atau kalau hitungannya sama rata untuk beberapa menit di beberapa laundromat, membutuhkan $1.50 per putaran pertamanya. Kalau cuciannya belum kering dan mau menambah waktu, tinggal memasukkan uang lagi. Ukuran mesin pengering biasanya sama. Tapi di beberapa laundromat disediakan mesin pengering jumbo yang daya pengeringnya untuk standar industri. Untuk memulai menjalankan mesin besar ini membutuhkan 0.50 cents.

Pengalaman unik saya selama mencuci pakaian di laundromat umum maupun di apertemen beragam. Suatu waktu seorang pelanggan lain berusaha menuang bleach (pemutih) ke dalam mesin cuci big loads. Karena mesinnya tinggi, dia harus memakai tangga lipat. Sedangkan saat itu saya sedang di mesin sebelahnya sedang memasukkan pakaian. Bleach yang dia tuang muncrat ke saya dengan hebohnya, membuat saya marah-marah ke orang itu. Karena bukan hanya bleach itu membahayakan buat saya, itu juga bisa membuat pakaian saya belang-belang menjadi putih. Lain waktu ketika saya membuka untuk memakai mesin pengering yang kosong tapi masih berputar, tiba-tiba sebuah benda melayang ke arah saya. Saya kaget dan lebih terpana lagi karena benda itu ternyata sebundel uang kertas berjumlah $15. Namanya rezeki, lumayan bisa untuk mencuci lagi. Pengalaman lain sewaktu saya masih memakai ruang laundry di apartemen lama, suatu pagi saya menemukan 2 mesin pengering ditidurkan dan bagian tempat penampungan uangnya terbuka. Rupanya ada yang berusaha mendongkel kotak uangnya untuk mencurinya. Cerita lain sewaktu beberapa bulan lalu, pak walikota datang meninjau laundromat saat saya sedang mencuci di situ. Pak walikota datang sebagai tamu turut merayakan ultah ke-5 laundromat favorit saya itu dan merupakan upaya walikota serta pemerintah kota untuk memajukan usaha lokal. Kemudian kami disuguhi makan siang yang nikmat oleh si pemilik laundromat.

KETERANGAN PHOTO:

Photo pertama adalah sederetan mesin-mesin pengering ukuran biasa.
Photo kedua adalah sederetan mesin-mesin cuci ukuran kecil.

Sayur Lodeh di Amerika Juga Ada!

Suatu hari saya ngobrol lewat Facebook dengan adik ipar saya di Jogja. Saya cerita kalau hari itu saya sedang masak sayur lodeh. ,"Loh, mbak, dapat dari mana sayur lodehnya?" begitu tanggapannya. Saya cuma tersenyum sendiri. Tapi memang sulit membayangkan di negeri Barat seperti Amerika Serikat, masakan tradisional Indonesia itu bisa didapat. Lalu adik ipar saya jadi penasaran ingin tahu darimana saya mendapatkan bahan-bakan masakannya. "Ada nangka di sana, mbak?" Kemudian mulailah saya bercerita panjang-lebar layaknya seorang bu guru mendongeng pada muridnya. Saya berharap pengalaman saya ini bisa berguna dan membuka wawasan semuanya.

Di negara bagian yang saya dan keluarga tinggali, saya tidak sulit untuk menemukan toko atau supermarket Asia. Untuk keperluan bahan-bahan makanan yang dibutuhkan oleh kebanyakkan orang Indonesia, toko Asia ini tentulah suatu yang utama untuk didatangi. Awalnya tentu saja saya berusaha mencari tahu nama-nama bahan-bahan makanan yang saya sudah kenal dari dapur ibu saya. Tapi tentu saja tidak mudah, karena saya mesti mencarinya dalam istilah Inggris (ala Amerika tentunya). Mulailah saya memperhatikan hampir seisi toko atau supermarket untuk mencari tahu nama benda-benda tertentu yang saya cari. Nama-nama benda-benda penting dapur ini sayangnya tidak bisa kita temukan di kamus Indonesia-Inggris.

Beberapa bahan makanan penting yang saya harus pahami di awal memasak sendiri dan suami, adalah berbagai macam rempah, bawang, nama sayur-sayuran, santan, sampai ke nama alat yang saya pakai untuk memasak. Kalau soal istilah alat masak seperti panci itu mudah. Tapi kalau yang wujudnya penggorengan cekung seperti punya ibunda di rumah apa namanya? Ternyata dipanggilnya "wok", mengikuti orang-orang China yang mengenalkannya. Lain lagi dengan nama-nama bawang. Saya pikir kalau yang maksudnya bawang merah seperti yang biasa dipakai di Indonesia diinggriskan menjadi "red onion". Nyatanya, di pasaran, yang namanya "red onion" itu bawang sebesar bawang bombay yang warnanya tentu saja merah. Awalnya saya memakai "red onion" ini untuk memasak, karena saya pikir ini bawang merah itu, meski wujudnya beberapa kali lipat lebih besar. Kemudian saya tahu lewat channel memasak di TV, kalau bawang merah yang biasa dipakai ibunda saya memasak itu disebutnya "shallot". Ternyata hasil masakan saya berbeda kalau saya menggunakan "red onion" dengan "shallot" ini. Dengan "shallot", masakan saya lebih lezat.

Nama-nama lain lalu jadi tambahan pengetahuan selanjutnya, misalnya yang berhubungan dengan sayur-sayuran sampai jenis ketela. Sewaktu saya berniat membuat sop, saya mencari buncis dan mesti tahu namanya. Saat saya ingin membuat oseng-oseng, saya butuh kacang panjang, saya perlu juga tahu namanya. Sedangkan waktu saya mau membuat kolak kacang ijo, apa lagi namanya di pasaran? Buncis disebutnya "green beans", sedangkan kacang panjang disebut "long beans" dan kacang ijo disebutnya "mung beans". Ada tambahan lagi soal perkacangan, yaitu sebutan  kacang merah untuk sop, "red kidney beans". Menyoal nama-nama sayur-sayuran, kalau cuma "carrots" dan "cabbages" saja untuk wortel dan kubis/kol, termasuk mudah. tapi begitu masuk kategori sayur-sayuran eksotis terutama yang berasal dari Asia atau Amerika Selatan, tiba-tiba saja saya seerti tersesat. Ini hasil penyelidikan saya: labu siam itu disebutnya "chayote", kangkung itu dipanggilnya "water spinach" dan bayam disebutnya "spinach". Ada 3 jenis sayur dengan kategori bayam ini: yang daunnya merah menghasilkan kuah berwarna merah nantinya, yang daunnya kecil dan lebih mirip dengan bayam di Indonesia disebutnya "baby spinach" dan yang daunnya besar-besar disebut "spinach" saja.

Hal lain yang mesti saya pelajari adalah nama-nama rempah-rempah. Ini yang lebih sulit dibanding nama-nama jenis sayur atau bawang. Sebab beberapa nama kalau di Amerika didasarkan ada bagaimana orang-orang yang mengenalkan rempah itu menyebutnya. Misalnya: temu kunci yang disebut "kachi" oleh orang Thailand, begitu pula disebutnya di pasaran. Kecuali temu kunci dalam bentuk frozen dari Vietnam yang disebutnya "rhizome" di kemasannya. Rempah lain lengkuas yang disebutnya "galangga". Daun salam disebutnya "bay leaf". Tapi daun salam alias "bay leaf" yang ada di pasaran Amerika berbeda sekali dengan daun salam dari Indonesia. Daun salam di Amerika umumnya disebut "Indian bay leaf", yang sewaktu saya coba pakai memasak sayur asam jadi aneh aromanya. Untungnya ada supermarket yang menjual macam-macam bahan makanan dari Indonesia, jadi daun salam untuk berbagai masakan Indonesia pun terjamin.

Lalu apa saja bahan-bahan makanan atau masakan dari Indonesia yang bisa saya temui di Amerika, sehingga saya bisa membuat sepanci sayur lodeh? Beberapa bahan makanan ini wujudnya ada yang berupa kalengan seperti nangka dan santan. Perlu diketahui, santan itu disebutnya "coconut milk", sedangkan air kelapa disebutnya "coconut juice". Jadi jangan sampai terbalik saat menyebutkan namanya, karena nanti bisa berubah hasil masakannya. Untuk memanggil sereh yang membuat wangi itu di sini disebutnya "lemon grass". Sedangkan untuk terasi (yang ada di sini yang berasal dari Malaysia), disebutnya "fish paste". Soal wangi dan rasanya, kebetulan merk yg saya pakai ini serupa dengan yang di Indonesia. Jadi kalau saya sedang memasang oseng-oseng pakai terasi, ketiga anak saya protes karena baunya yang aduhai. Selain itu di sini juga saya bisa menemukan kemiri atau "candle nuts". Nangka bentuknya kalengan dan kalau nangkanya masih muda atau hijau disebutnya "young jack fruit", kebalikkannya dengan nangka kuning untuk membuat es campur, "jack fruit". Di sini ketumbar itu disebutnya "corriander", sedangkan untuk jinten putih disebutnya "cumin" dan jinten hitam (yang suka saya bubuhkan untuk lodeh saya, disebutnya "caraway". Sekarang, ada yang mau semangkuk sayur lodeh buatan Amerika?


D. Yustisia

Jagalah Aib Anakmu, Jangan Over Sharenting

Jaman sekarang rasanya tidak aneh bagi sebagian orang tua untuk menampilkan photo-photo anak-anaknya atau bercerita tentang kebisaan, kekurangan dan kelebihan mereka. Sejalan dengan berkembangnya dunia networking melalui Facebook, Twitter, blog dan lain-lain, yang namanya "sharenting" alias shared-parenting sudah sangat dimaklumi. Tapi sayangnya, segelintir orang tua suka lupa atau mengabaikan kenyataan bahwa anak-anak juga butuh yang namanya privacy. Meski mereka masih muda, bayi atau balita, misalnya, bukan berarti hal-hal dari mereka bisa dibuka di depan umum begitu bebasnya. Contohnya, memajang photo-photo bayi atau balita tanpa sehelai pakaian pun.

Bayi atau balita memang lucu sekali. Tubuh mereka yang bentuknya kadang membuat gemas bukan main bisa membuat orang tua lupa diri. Apalagi kamera mudah sekali didapat makin memudahkan para orang tua untuk unjuk gigi keunikan anaknya masing-masing. Hal yang suka dilupakan adalah kelucuan dan keluguan anak-anak bukan selalu hal yang mesti disebarluaskan. Tidak perlu bersungut-sungut membahas adanya orang-orang gila yang berbahaya terhadap anak-anak, itu tentunya harus dinomorsatukan untuk selalu waspada. Hal yang suka diabaikan dan dilupakan para orang tua adalah anak-anak juga bisa merasakan malu dan tidak nyaman.

Beberapa kali saya menjumpai photo-photo anak dalam keadaan yang membuat saya kurang nyaman karena "full frontal nudity" atau photo bugil tampak depan dari seorang anak. Bisa jadi si anak masih bayi yang belum tahu apa-apa. Tapi apakah sebegitu perlunya untuk mengambil photonya dalam keadaan bugil yang lalu diberitahukan ke banyak orang tentangnya? Meski si anak sedang berenang atau mandi dan mau tidak mau mesti telanjang. Saya juga punya photo anak-anak dalam keadaan yang menggiurkan saat mereka bayi dan balita, tapi itu cuma untuk mata kami saja. Keluarga dan saudara lainnya pun tidak kami bagi photo-photonya. Sebelum kita memasang sebuah photo di jalur network tertentu, pikirkan baik-baik adakah gunanya.

Mungkin orang tua lain akan bilang itu hak mereka untuk berbagi cerita lewat gambar-gambar anak mereka. Tapi hak seorang anak juga untuk dihormati kehormatannya dan keberadaannya. Kalau memang harus memperlihatkan photo anak yang banyak terlihat bagian tubuhnya, usahakan bagian kemaluannya selalu ditutup. Kelak anak akan tumbuh besar dan mengerti photo-photo itu. Jangan sampai dia merasa malu dan jadi minder mengetahui photo dirinya dalam keadaan bugil disebarluaskan orang tuanya. Hal yang lain, jangan pula menyebarluaskan keburukan anak di dunia network. Sebagai orang tua kita harus maklum, anak itu kadang berubah sikap dan sifatnya sesuai usia mereka. Jangan menggossipkan mereka di dunia maya. Anak-anak juga punya perasaan kan?
Kalau kita tidak mau digossipkan orang, anak tentu juga merasa demikian.



D. Yustisia

(Terbit di dianadji.multiply.com  4 Juni 2012)

(Cerita Anak SMA): Kenangan dengan Guru Istimewa

Membicarakan cerita seputar kenangan saat masih sekolah, berarti membicarakan juga mengenai guru-guru. Guru pertama yang saya kenal begitu masuk sekolah namanya ibu Susi. Beliau adalah guru BP dan yang mengurusi perihal pakaian seragam. Bu guru ini jarang sekali tersenyum. Meski beliau tidak kelihatan angker, tapi tetap saja membuat murid-murid segan padanya. Segan kalau sampai dipanggil ke ruang BP untuk diceramahi tentunya. Bu Susi ini terkenal dengan operasi "gunting rok". Murid-murid yang baru masuk, beberapa diantaranya adalah cewek-cewek yang suka memakai rok di atas lutut. Sedangkan aturan memakai rok di SMANDEL panjangnya harus sekitar 5cm di bawah lutut dan tidak ketat penampakkannya. Pembuatan seragamnya pun terpusat dari tukang jahit langganan sekolah. Bagi pelanggar ketentuan panjang rok ini, bu Susi ditemani guru wanita lain akan menghentikan murid perempuan yang bersangkutan, menyuruhnya berdiri di tempat, mengukur panjang rok dari bagian paling bawah dan meggunting hem atau jahitan bawah roknya supaya kelihatan lebih panjang. Ada murid yang sampai menangis karena operasi "gunting rok" ini. Akibat banyaknya razia rok ini dilakukan, murid-murid yang merasa roknya tidak sesuai aturan, akan saling memberi tahu dan bersiap-siap (alias bersembunyi atau segera membuka jahitan rok saat itu juga). Saya sendiri tidak pernah kena razia ini.

Menyinggung soal razia, bagi murid laki-laki yang rambutnya dianggap kepanjangan, pak Ugi, guru olah raga yang badannya terlihat fit untuk ukuran bapak-bapak, beserta pak guru lainnya akan mendekati murid laki-laki bersangkutan dan snip, snip, dengan gunting yang dibawa beliau untuk razia itu, pak Ugi memotong rambut si murid. Ketentuan gondrongnya yaitu rambutnya sudah mencapai kerah baju seragam.Tentunya potongan rambutnya ala kadarnya yang membuat muridnya harus ke salon atau tukang cukur supaya besoknya potongan rambutnya rapi. Kalau razia rambut ini terjadi, bisa seru sekali. Sebab bisa jadi ada acara kejar-kejaran di murid yang berusaha menghindar dari pak guru, semacam versi "Kejarlah daku, kau kutangkap". Kadang, pak Udi, guru seni rupa yang juga guru paling humoris di sekolah, suka mengadakan acara pencukuran rambut mendadak buat murid laki-laki terpilih. Jadi kalau tiba-tiba di sudut sekolah terlihat pak Udi sedang memotong rambut seorang murid, itu bukan karena beliau sedang menjalankan hobbynya. Itu berarti ada razia rambut gondrong dan satu murid beruntung mendapatkan kesempatan untuk dipotong rambutnya di sekolah.


Kalau membicarakan guru-guru di sekolah, berarti ada dua ketentuan yang muncul: guru favorit dan guru yang menyebalkan. Saat kelas 1 SMA, mulanya saya tidak punya guru favorit ataupun yang menyebalkan. Tapi guru Biologi kelas 1, pak Agus, yang masih muda itu jadi guru yang memuakkan buat saya. Pak Agus ini orangnya pintar dalam membahas pelajaran Biologi, satu dari sederet pelajaran favorit saya di sekolah. Sewaktu kami mempelajari soal Amoeba, saya merasa tidak punya kesulitan untuk mendapatkan nilai tinggi dalam ulangannya. Begitu ulangan berlalu, saya kaget karena hanya mendapatkan nilai 8, padahal semua jawaban saya benar bahkan soal menggambar bagian-bagian tubuh Amoeba-nya. Beberapa teman lain pun yang merasa memberikan jawaban yang betul semua, protes kenapa tidak sampai mendapatkan nilai 10. Jawaban pak Agus cukup mencengangkan dan lebih berisi ego beliau. Menurutnya, yang berhak mendapatkan nilai 10 hanya guru karena guru lebih pintar dari murid-muridnya. Apa tidak mangkel kami mendengarnya, sesuatu hal yang kurang masuk akal. Lalu yang lebih memperburuk cerita, pak guru ini lupa memasukkan nilai-nilai ulangan kami ke buku laporan beliau, padahal ulangan sudah dibagikan kembali ke murid-murid. Kami disuruh membawa kembali kertas ulangan kami minggu depannya. Kenyataannya, saya dan beberapa teman lupa membawa kertas ulangan dan dengan seenaknya pak Agus bilang,"Yang tidak bawa kertas ulangan balik mendapat nilai 6 semuanya". Dari situlah saya tidak pernah menghormati beliau sebagai guru dan bersyukur sekali cuma saat kelas 1 SMA saja mendapatkan beliau.

Guru lain yang tidak akan bisa saya lupakan dari masa bersekolah di SMA adalah bu Bultriasih, guru Fisika kelas 1. Beliau saya ingat bukan karena peran beliau mengajarkan saya Fisika. Tapi karena suatu hari naas yang membuat saya merasa sungkan setiap kali saya bertemu beliau di sekolah bahkan sampai saat saya sudah kelas 3. Hari yang paling tidak mengenakkan itu berawal dari bu Asih yang sedang hamil besar, tiba-tiba memberikan tes mendadak. Beliau menuliskan sekumpulan formula dan memberikan instruksi untuk menyelesaikannya. Lalu dengan lantang beliau memanggil nama saya. Gulp, saya menelan ludah dan jantung saya mulai berdebar kencang. Saya tidak pernah suka Fisika dan sekarang saya harus menyelesaikan formula yang ada di depan saya. Saya berusaha berpikir keras rumus apa yang bisa saya pakai. Tapi sepertinya semua jalur di otak saya buntu, yang muncul justru keringat dingin. Entah berapa lama saya berdiri mematung di depan papan tulis itu, rasanya lama sekali, sementara saya dengar suara bu Asih dari arah belakang kelas mengingatkan teman-teman saya untuk berusaha memecahkan persoalan tersebut. Sesudah itu mungkin karena merasa kasihan, bu Asih menyuruh saya kembali ke tempat duduk. Saya tidak sadar beliau sudah kembali duduk di kursi guru, secara reflek saya mengembalikan kapur ke meja guru dengan melemparnya. Ya ampun, kapur itu melayang di depan wajah bu Asih dan saya langsung tambah pucat. Tentunya sesudah itu yang ada saya berdiri di depan beliau diceramahi soal menghormati guru secara panjang-lebar. Malu sekali saya rasanya. Sesudah itu seorang teman dipanggil ke depan dan dengan mudahnya dia menyelesaikan soal yang sama (tentu saja, dia ini juara Olimpiade Matematika duta Smandel). Sesudah kejadian itu, tiap kali saya berpapasan dengan bu guru Fisika ini, saya sekedar mesem sederhana, menganggukan kepala dan lekas-lekas menghindari beliau. Hal yang terakhir yang saya ingat tentang bu Asih yang buat saya cukup merasa termaafkan, adalah sewaktu beliau menyinggung kebisaan saya menyanyi. Rasanya lega sekali karena sepertinya beliau tidak mengingat kejadian kapur itu, meski buat saya itu terpatri dalam.


Cerita akan bersambung lagi...


D. Yustisia


 (Photo-photo saat perpisahan dengan guru kami, Pak Made, di kelas 3 SMA)


PENGALAMAN: Berpuasa Ramadhan di Negeri Paman Sam

"Are you gonna die?", itu pertanyaan kawan kerja saya ditambah reaksinya yang terlihat sangat menguatirkan saya. Saya cuma tersenyum lebar,"Of course, not." "But, you have to eat, right?" wajah kawan saya masih kurang percaya ada orang yang rela tidak makan dan minum seharian. Dan lebih terbelalak lagi matanya sewaktu saya bilang kalau saya (dan kaum Muslim lain) berpuasa sebulan lamanya. Itu adalah sedikit pengalaman saya saat menjalankan puasa di negeri sekuler yang kebanyakkan penduduknya Non Muslim ini. Sebagai Muslim yang orang Indonesia, saya dan keluarga termasuk minoritas dibandingkan dengan sekian millyar penduduk Amerika Serikat dan lebih minoritas lagi dibanding kaum Muslim dari negara lain.

Berpuasa Ramadhan di Amerika berarti harus menerangkan seluk-beluk menjadi Muslim pada orang lain supaya mereka mengerti. Reaksi pertama tentu saja mereka tidak percaya, terutama dari kalangan orang-orang Amerika yang kurang paham tentang Islam. Di sekolah anak-anak, keberadaan perayaan Ramadhan cukup diketahui banyak pihak. Sehingga untuk menjelaskan kenapa ada anak-anak yang tidak ikut makan pagi dan makan siang bisa dimengerti. Dan untuk saya yang pernah berpuasa sewaktu bekerja, ada waktunya dimana saya harus menerangkan hal-hal tentang Islam pada beberapa orang supaya mereka lebih mengerti. Menekankan bahwa berpuasa Ramadhan bukanlah upaya menyiksa diri, itu yang selalu saya tegaskan. Sebab konotasi dari berpuasa adalah sebuah penderitaan. Siapa sih yang mau selama 12 jam (atau lebih) memilih untuk tidak menyantap makanan atau minuman, begitu pikir mereka.

Di tempat kerja saya dulu, saya dan beberapa kawan Muslim (dari Malaysia & Afrika) sangat beruntung. Karena boss kami, seorang kulit putih Amerika, sangat mengerti perbedaan kepercayaan dan agama. Pada jam-jam tertentu saya dan kawan saya bisa bergantian sholat di kantor si boss tanpa diganggu. Bahkan boss saya itu mau menunggu di luar kantornya atau menggantikan kerja saya sementara saat saya (atau kawan saya) sedang sholat. Kawan-kawan saya yang Non Muslim juga adalah orang-orang yang toleran terhadap agama orang lain. Meski sepertinya gaya hidup mereka termasuk yang bebas, mereka memperhatikan kami yang di mata beberapa orang mungkin aneh. Kawan kerja saya, Paul, dia termasuk yang perhatian kalau saya bilang saya sedang berpuasa. Saat bekerja dengan dia, dialah yang sibuk mencari jam waktu matahari terbenam di koran. Lalu saat saya sedang melayani para pelanggan, dia akan menyuruh saya buka puasa dan dia menggantikan saya. Dan saat waktunya sholat pun, dia tidak keberatan bekerja sendirian untuk beberapa saat. Kawan kerja lainnya, kalau misalkan mereka makan atau minum di depan saya, mereka bilang,"Sorry, Di", dan kadang memilih menyantap hidangan mereka di kantor boss supaya tidak menganggu saya.

Orang-orang Amerika biasanya digambarkan sebagai orang-orang yang kurang perduli sekelilingnya. Berbagai kepercayaan terutama di negara-negara Muslim tentang ketidakperdulian pemerintah Amerika dan para Non Muslim yang ada di Amerika, saya dan banyak kaum Muslim lainnya buktikan ketidakbenarannya. Pengalaman saya sewaktu saya sedang hamil atau menyusui dan berkeinginan untuk berpuasa pun diperhatikan oleh Physical Physician saya waktu itu. Dia ingin tahu hukumnya secara rinci mengenai wanita hamil atau menyusui dan berpuasa Ramadhan. Maka jangan heran kalau dia tahu dalil mengenai pembayaran Fidyah segala. Memiliki beberapa pasien yang Muslim menjadikan dia lebih berpengalaman dan tahu banyak hal dari mereka. Dan itu tentu saja membantu menjembatani perbedaan budaya dan kepercayaan yang ada. Sewaktu Idul Fitri datang, orang-orang seperti boss saya (dan istrinya), Physician saya dan guru-guru di sekolah anak-anak termasuk orang-orang Amerika yang memberikan selamat merayakannya. Menjadi Muslim di Amerika tidaklah selalu sulit dalam menjalankan ibadah seperti yang ditakutkan beberapa pihak di negara-negara Muslim. Justru dengan adanya perbedaan dan perayaan-perayaan tertentu, misalkan Ramadhan, bisa membantu menggambarkan hal yang baik dan positif tentang kaum Muslim yang sering dihubungkan dengan hal-hal yang tidak menyenangkan di dunia.


D. Yustisia





(Ditulis dan dipasang di blog dianadji.multiply.com 28 Agustus 2009 - photo dari kunjungan ke MET Museum)


(Saya dan keluarga mengucapkan,"Selamat menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Semoga Allah menambahkan rahmat dan hidayah-Nya di bulan suci ini. Semoga dosa-dosa kita lebur lewat ibadah yang kita jalankan. Amin")

Friday, August 10, 2012

PRESTASI EMILY DI YALE/NEW HAVEN YOUNG ARTIST SOLO COMPETITION

(Catatan kecil tentang si sulung - dianadji.multiply.com 06/12/12)



Pada tanggal 29 Mei yang baru saja lalu, putri sulung kami, Emily, mengikuti kompetisi solo musisi muda untuk murid-murid sekolah negeri di New Haven. Tahun ini dia berlaga untuk kategori kelas 7-8. Kompetisi ini bukan yang pertama kalinya Emily ikuti, tapi ke-4. Tiga tahun lalu saat pertama kalinya dia ikut, tidak ada kategori sama sekali. Dia berlaga melawan anak-anak SMP dan SMA, sedangkan dia saat itu masih kelas 4 SD. Emily berhasil meraih juara 6 (juara harapan 3). Tahun berikutnya dia mengikuti lagi kompetisi yang sama dan masih belum dibagi dalam kategori, dan Emily mendapatkan juara 7.

Seiring bertambah mahirnya permainan biola Emily, dia ingin meraih kesempatan yang lebih tinggi lagi. Tahun lalu dia menjadi wakil sekolahnya untuk bertanding di kompetisi solo, meski tidak mendapatkan juara, dia merasa mendapatkan tambahan "jam terbang" dalam hal berlomba dengan musisi-musisi muda lainnya. Untuk tahun ini Emily agak ragu untuk mengikuti kompetisi sekali lagi. Tapi pihak sekolah hanya punya seorang wakil, yaitu dia. Persiapan Emily sangat baik menjelang kompetisi, apalagi diselingi dengan keikutsertaannya dalam Concerto Competition di sekolah musiknya untuk mendapatkan tempat sebagai pemain solo bersama Concert Orchestra. Emily mendapatkan acungan jempol dan masukan berharga, tapi anak lain yang terpilih menjadi soloist.

Upaya Emily untuk menyiapkan dirinya mengikuti kompetisis kemarin termasuk santai. Dalam kurun waktu setahun saya, Emily dan guru biolanya mencari gubahan yang paling layak untuk kompetisi lalu mengasah ketrampilannya lebih tinggi lagi lewat teknik permainan yang makin sulit dan canggih. Saya sebagai ibunya, berusaha mengatur semua keperluan Emily selama les musiknya, mengimbangi dengan tugas-tugas sekolahnya dan mendampinginya di rumah saat latihan. Saat hari H tiba, Emily terlihat sangat santai dan "take it easy" menghadapi 21 anak yang turut berlomba juga. Ketiga juri yang menilai kompetisinya merupakan orang-orang yang sudah banyak pengalamannya soal musik, seorang pengajar di Yale University School of Music, direstor of Bands juga dari Yale University dan education director dari New Haven Symphony Orchestra. Wajah sumringah Emily terlihat saat salah satu juri, Wendy Sharp, mengumumkan dia mendapat JUARA  KEDUA. Kami sangat bersyukur jerih-payahnya selama ini membuahkan hasil. Selamat Emily!


Berikut adalah photo-photo dari panitya penyelenggara, Yale School of Music.





Thursday, August 9, 2012

(Cerita Anak SMA): Kena Damprat Ibu Teman

Seumur-umur baru sekali dan moga-moga hanya sekali itu saja, saya kena tuduhan memakai uang orang lain. Sebelnya bukan main! Apalagi tuduhan itu berupa dampratan dari seorang ibu yang saya tidak kenal sama sekali. Kenangan ini tahu-tahu muncul begitu saya lihat di inbox FB saya ada ajakan berteman dari teman lama saat SMP dan SMA. Begitu melihat namanya, saya langsung terkenang peristiwa saat saya kelas 2 SMA itu.Ceritanya, saya adalah bendahara kelas. Seperti biasanya, begitu tanggal 10 tiap bulannya, saya mengumpukan semua iuran sekolah dari teman-teman dan menyetornya ke pihak TU (tata Usaha). Tapi kali ini ada teman yang sudah sampai tiga bulan belum membayar iurannya juga. Karena itu orang tuannya dipanggil menghadap wali kelas. Nah, si ibu datang ke sekolah rupanya sambil membawa pedang yang sudah diasah tajam mencari pihak yang mau disalahkan. Tujuannya langsung ke kelas dan menemui bendahara, yaitu saya.

Ibu berkacamata dan bergelung cepol ini begitu menemukan saya (sesudah bertanya ke teman sekelas), langsung tanpa basa-basi menuduh saya menggelapkan uang sekolah yang beliau selalu berikan ke anaknya. Si ibu ngomel panjang-lebar sampai muncrat ke saya. Saya tentu saja mengelak dan tidak mau seenaknya saja dituding mengambil uang iuran sekolah. Tapi sepertinya alasan apapun yang saya berikan, atau bantuan suara dari ketua kelas kepada si ibu tidak digubris. Saya tetap dituduh mengambil uang sekolah anaknya yang tiga kali Rp 10 ribu itu. Yang paling menyebalkan, selama si ibu ngomel-ngomel itu, anaknya, yang teman sekelas saya dan juga teman naik bis karena tempat kami tinggal sama daerahnya, diam-diam saja di dekat beliau.

Pada akhirnya ketua kelas memanggil bapak wali kelas yang langsung membela saya habis-habisan. Menurut si ibu, saya memilih korban. Aduh, beneran saja! Apa masuk akal saya cuma memilih uang dari seorang saja untuk saya ambil? Kami sempat ke pihak TU membahas masalah tunggakan iuran sekolah tersebut dan ibu TU juga membela saya yang termasuk bendahara kelas yang paling rapi dan jelas pembukuannya. Bapak wali kelas tentu saja kemudian mencecar teman saya yang kok diam seribu bahasa saja meski melihat ibunya sudah sewot nggak karuan. Ketahuan akhirnya, teman saya itu sudah menjajankan uang sekolahnya yang tiga bulan. Si ibu cuma melongo. Begitu mendengar pengakuan anaknya, beliau menangis layaknya pemain sandiwara dan meminta maaf ke saya. Buat saya pribadi, tuduhan kalau tidak benar, saya akan bantah habis-habisan. Tapi yang membuat saya sakit hati adalah teman saya yang tega dan diam saja saat melihat ibunya marah-marah dan menuduh saya. Meski dia minta maaf juga, saya tidak pernah lagi menggubris dia, bahkan sampai detik saya melihat ajakannya berteman di FB saya. Buat apa berteman dengan pengecut?



D. Yustisia

(Photo saat kelas 3 SMA - 3SOS3)

God Bless Your Laundry dan Cerita Unik Lain dari Laundromat

Sabtu yang baru saja lewat, saya pergi ke laundromat. Saya datang pagi saat laundromat masih agak sepi. Saat sedang menunggu putaran cucian selesai, tiba-tiba datang tiga wanita paruh baya ke laundromat. Mereka mengenakan kaos merah dan salah satu diantaranya dengan lantang menyapa, "Good morning. We're here to bless your laundry". Saya dan beberapa pelanggan lain dan juga pemilik laundromat terkesima. Ada apa ini, "laundry blessing" segala? Lalu si ibu berkulit hitam dan berkacamata itu meneruskan lagi,"We're going to pay for all your laundry needs." Wah, menarik sekali ini!. Rupanya ketiga ibu itu berasal dari sebuah gereja di kota kami dan sedang berusaha memperluas jaringan. Tapi mereka tidak terlalu menekankan pada hal-hal yang misionaris. Saat si ibu mendekati saya dan menawarkan untuk membayar semua mesin pengering cucian yang saya pakai, beliau bilang,"God bless you for doing laundry." Waduh, saya hampir terbahak-bahak mendengarnya.Lalu si ibu memasukkan satu demi satu uang receh 25cents ke dalam 4 mesin pengering yang saya pakai. Kebetulan sekali cucian kotor saya sedang banyak, lumayan saya mengirit $5 untuk mengeringkan pakaian. Beberapa pelanggan lainnya yang baru saja datang masing-masing diberikan 1 bungkus kumpulan receh bernilai $10 untuk memakai mesin cuci. Benar-benar Sabtu yang menguntungkan.

Di lain waktu, laundromat selain menjadi tempat membersihkan pakaian, juga menjadi tempat menyaksikan suatu peristiwa. Seperti waktu ada pernikahan yang berlangsung di gereja seberang laundromat. Saya, pemilik laundromat bernama Patricia dan kawannya yang sudah sepuh asyik membincangkan kerabat dari mempelai yang sedang menunggu di luar gereja. Orangnya tampan dengan rambutnya yang keriting dan gaya yang sangat "boyish", padahal usianya sudah 30-an. Pada kesempatan lain kami membincangkan upacara penguburan yang berlangsung, yang diiringi dengan alunan bagpipes. Kadang di tengah-tengah kebosanan menunggu, ada saja peristiwa aneh tapi nyata yang terjadi. 

Seperti saat Patricia bercerita tentang seorang ibu yang saya juga tahu datang bersama bayinya ke laundromat. Ibu ini suka sekali berpakaian seronok, entah itu memakai baju kutangan, tanpa lengan atau berupa kemben dan celana pendek yang sangat pendek. Suatu hari si ibu sedang menunggu cuciannya dan hendak menyusui bayinya. Menurut Patricia yang ada di situ bersama putranya yang berusia 40-an tahun, si ibu membuka baju kembennya sebelah kiri dan memperlihatkan payudaranya. Lalu menarik bagian sebelah kanan dan memperlihatkan payudara sebelahnya untuk kemudian menyusui bayinya. Tentu saja Patricia dan putranya terbelalak kaget memperhatikan ini. Si ibu sepertinay merasa nyaman saja memperlihatkan satu payudaranya di laundromat tanpa berusaha menutupinya sama sekali.

Peristiwa menarik dan unik lainnya saya alami sewaktu pagi hari saya sedang membereskan pakaian kotor. Seorang bapak mendatangi putra si pemilik laundromat di luar. Mereka saya lihat sedang terlibat pembicaraan serius. Lalu Jim, si pemilik laundromat masuk ke dalam dan memanggil saya. Dia bertanya apakah saya bisa mengikatkan dasi. Saya sempat heran tapi langsung menjawab,"Yes, I can." Kemudian si Jim meminta saya menolong si bapak tadi yang rupanya membawa sebuah dasi berwarna biru ke laundromat. Jim bilang dia tidak bisa mengikatkan dasi, sebab selama ini ibunya yang memakaikannya. Si bapak memberikan dasinya ke saya dan saya ikatkan dengan rapi ke dia. Dengan suara yang pelan si bapak bilang "thank you" dan bergegas keluar dari laundromat dengan wajah yang serius. Sepertinya dia nervous. Mungkin dia akan menghadapi wawancara kerja. 

Beragam cerita yang terjadi di laundromat ada juga yang memilukan. Seperti waktu seorang pekerja laundromat datang bekerja dengan wajah yang biru-lebam. Dia bercerita tentang penganiayaan yang terjadi terhadapnya oleh 2 tetangganya. Cerita lain saat sepasang suami-istri yang sama-sama sudah nenek dan kakek datang ke laundromat dan bertengkar hebat. Pekerja laundromat sampai mengancam akan memanggil polisi karena pertengkaran mereka sudah menuju ke hal fisik. Kejutan pun pernah terjadi sewaktu bapak walikota bersama rombongannya berkunjung ke laundromat untuk menyapa para pemilik, mencicipi panganan yang disajikan dan beramah-tamah. Rasanya aneh juga mencuci sambil disaksikan walikota. Itulah kenapa buat saya mencuci pakaian di laundromat itu kadang bukan hal yang menjemukan. Sebab entah cerita apa lagi yang bakal berlangsung di depan mata, kita tunggu saja tanggal mainnya.


D. Yustisia

(Ditulis dan dipasang di dianadji.multiply.com 14-6-12)




Keterangan photo:

Photo A: type mesin cuci ukuran sedang(40 pounds) dan besar (60 pounds)
Photo B: mesin-mesin cuci dan pengering serta meja untuk melipat baju




Photo C: beberapa mesin pengering cucian

 

(Cerita Anak SMA): Study Tour ke Jogja

Kenapa saya perlu menceritakan perihal study tour kami saat SMA? Karena study tour ini sangat mengesankan buat saya dan juga kawan-kawan. Seperti yang saya ceritakan di jurnal sebelumnya, saya berusaha menepati janji ke bapak supaya saya diperbolekan untuk mengikuti study tour ke Jogja. Sesudah segala macam persiapan materi baik dari pihak sekolah maupun dari keluarga, saya diantar bapak ke stasiun Gambir untuk berangkat. Untuk study tour ini, sekolah kami menggunakan khusus satu gerbong untuk seluruh murid dan guru serta pendamping yang pergi ke Jogja. Pukul 4 sore kereta diperbolehkan berangkat dan saya merasa terharu melihat bapak melambai-lambaikan tangan disertai wajah yang sedikit kuatir, secara spontan menitikkan air mata. Itu perjalanan pertama saya sendirian ke tempat yang jauh tanpa orang tua atau anggota keluarga lainnya. Sementara itu di satu gerbong yang kami naiki, hampir semua anak riuh-rendah karena gembira.

 
Di atas kereta api yang membawa kami ke Jogja, perjalanan terasa lancar. Saya duduk dengan sahabat saya dan kawan-kawannya dari kelas BIO. Seperti biasa kami ngerumpi asyik, bercerita tentang berbagai macam. Dalam perjalanan beberapa anak saya perhatikan asyik bermain kartu, ramai sekali. Sebagian ada yang bercanda dan menciptakan guyonan yang bisa membuat seisi gerbong tertawa, apalagi pak guru yang ikut turut serta guyonan mereka. Begitu kami tiba di sebuah stasiun kadang ada penjual makanan yang berusaha masuk ke gerbong kami. Seorang kawan yang badannya tinggi-besar dipilih para guru untuk menjaga pintu masuk ke gerbong kami. Dia ini yang bertugas menghalangi para pedagang asongan masuk ke gerbong. Perjalanan masih lancar hingga kira-kira pukul 3 pagi saat tiba-tiba saya dan beberapa kawan terbangun karena sebuah lonjakan keras. Kemudian kami merasakan gerbong kami miring dan kereta mengerem sekuatnya. Barang-barang yang ada di rak atas tempat duduk berjatuhan menimpa beberapa orang yang asyik terlelap.  

Gerbong kereta dimana kami berada masih miring sementara keadaan di luar masih gelap-gulita. Pak guru kami yang turut serta study tour keluar gerbong kereta dan berusaha mencari tahu sebab dari berhentinya kereta secara tiba-tiba dan keadaan yang masih tanda-tanya. Di dalam gerbong, beberapa kawan yang laki-laki berbagi tugas untuk menjaga dua pintu masuk gerbong dan memeriksa keadaan kawan-kawan lainnya. Syukurnya tidak ada korban yang sampai terluka parah, meski begitu ada segelintir teman yang cidera akibat ketiban barang-barang dari rak. Rasanya lama sekali kami berada di gerbong kereta itu sementara di luar masih gelap. Pak guru kembali ke gerbong kami membawa berita, kalau kereta yang kami naiki keluar dari relnya. Beberapa jam kemudian mulai muncul fajar dan sedikit demi sedikit keadaan di luar mulai terlihat. Begitu fajar sudah penuh sinarnya, saya beserta beberapa teman ke luar gerbong ingin meluruskan kaki dan mencari tahu. Pemandangan di depan mata sangatlah mengejutkan sekaligus mengerikan. Gerbong kami miring ke kanan mungkin 40 derajat, sedangkan ada gerbong lain yang keluar dari rel. Keterkejutan kami agak terobati dengan pemandangan di sekeliling kami yang sejuk dan asri berupa beberapa sawah dan hutan.

 

Kami masih menunggu pihak kereta api memperbaiki kerusakan. Sekian jam kemudian kereta berangkat lagi menuju Jogja. Saat peristiwa kereta anjlok itu sepertinya kami ada di daerah Jawa Tengah. Rasanya tidak lama kemudian kereta kami tiba di stasiun kereta Jogja. Kami lega sekali. Sesudah itu kami naik bis besar menuju sebuah penginapan di pingiran Jogja untuk istirahat, membersihkan badan dan menyantap makan siang. Makan siang kami sangat istimewa, karena menunya yang beragam asli ala Jogja. Gudeg, Bacem, tempe goreng tentu saja ada. Tadinya kami pikir kami akan menginap di situ, ternyata kami naik lagi bis menuju tempat penginapan lain di dalam kota Jogja bernama Hotel Bhakti. Hotel ini lebih terlihat seperti losmen dan suasananya sangat kekeluargaan. Study tour kami berlangsung 3 hari dan beberapa tujuan amat menarik buat saya. Setiap kali kami berkunjung ke tempat-tempat yang akan kami pelajari kami harus bersegaram sekolah. Ini bagian yang tidak asyiknya.

 
Tempat tujuan kami salah satunya adalah pabrik batik. Di sana kami diberi pengarahan mengenai produk batik pabrik itu (saya lupa namanya) yang kebanyakkan berupa batik cap. Kami diberitahu bahan-bahan untuk membatiknya, juga bagaimana caranya mengecap motif batiknya ke atas kain. Selain itu kami ditawarkan juga harga discount produk batik dari pabrik tersebut. Yang saya ingat, saya meminta seorang pekerja pabrik untuk mengecap buku tulis saya dengan motif batik capnya, sekedar untuk souvenir. Selain itu kami juga berkunjung ke sebuah pabrik pengecoran timah yang membuat alat-alat pertanian. Kami melewati desa-desa di luar kota Jogja dan menikmati pemandangan di sana-sini. Selain belajar, kami juga berkesempatan untuk melancong ke beberapa tempat wisata sambil tetap belajar. Kami berkunjung ke Keraton Jogja dan pantai Baron. Pantai Baron ini letaknya di pelosok sekali, melewati hutan, bukit dan jalanan yang berliku-liku selama sekian jam. Pantainya cantik dan bersih dengan pantai yang agak kasar karena bebatuan kecil-kecilnya.  
Di hari berikutnya kami berkesempatan mengunjungi Borobudur dan itu pertama kalinya buat saya. Beberapa dari kami berusaha menaiki candi besar ini sampai ke puncaknya. Saya sangat menikmati setiap ilustrasi dari tubuh candi yang berisi berbagai cerita. Di beberapa stupa saya dan sahabat saya berusaha memasukkan lengan kami untuk memegang patung Budha di dalamnya. Ada yang bilang kalau sampai bisa menyentuh patung itu, keinginan kita bisa tercapai. Tapi kami melakukan itu bukan karena kepercayaan tersebut, melainkan akibat penasaran. Herannya, dari sekian patung yang berusaha saya pegang, saya hanya berhasil menyentuh satu saja. Sementara yang lainnya, seakan-akan patungnya berada lebih jauh dari raihan tangan saya. 

Hari terakhir study tour kami, kami diberikan kesempatan jalan-jalan bebas menjelajahi kota Jogja. Tentu saja tujuan kami adalah Malioboro yang pada akhirnya beberapa kali kami datangi. Saya, sahabat saya dan beberapa kawan mencoba makan malam Lesehan di Malioboro, mencicipi masakan khas kota bersejarah ini. Lalu kami juga berkesempatan naik andong keliling kota dan tujuan kami adalah bioskop 21 di sana. Beberapa kawan yang laki-laki mengajak nonton dan memilih Robocop, bukan film yang saya maui tentunya. Harga tiket biokop 21 di Jogja jauh lebih murah dari yang di Jakarta dan kami merasa girang sekali. Lumayan masih ada uang tersisa untuk membeli oleh-oleh di Malioboro. Saat berjalan-jalan berkeliling di Malioboro, saya meminta tolong seorang teman yang fasih bahasa Jawa halus untuk menemani saya dan teman lainnya selama berbelanja souvenir. Alasannya, supaya kawan saya itu bisa membantu menawar barang. Saya membawa pulang beberapa obyek menarik hasil karya tangan seniman Malioboro. Sore tanggal 31 Desember 1990, kami pulang menuju Jakarta dengan kereta. Perjalanan kami lebih lancar dari saat berangkat dan ketika pukul 12:00 dini hari tanggal 1 Januari, kami masih di dalam kereta. Beberapa teman tiba-tiba membangunkan kami semua dengan tiupan terompet tahun baru. Di gerbong kami suasananya jadi ramai saling memberi ucapan selamat tahun baru. Saya menyempatkan menulis diary baru di atas kereta, berharap tahun depan saya bisa terus berprestasi dengan baik. Sejenak kemudian saya ikut lelap bersama teman-teman lain dalam mimpi yang beraneka.


Cerita akan bersambung lagi...


D. Yustisia


(Photo-photo koleksi pribadi)




Tuesday, August 7, 2012

(Cerita Anak SMA): Menemukan Jatidiri

Mendekati kenaikkan kelas dari kelas 1 ke kelas 2 di SMANDEL lain lagi ceritanya. Karena untuk kelas 2 berarti ada penjurusan, berarti pula nilai-nilai dan bakat menentukan penjurusan itu. Saat di kelas 1 itu juga kami mengikuti tes psikologi yang katanya bisa menelaah penjurusan kami di kelas 2. Hasil dari tes saya, saya cocok bekerja di laboratorium. Hm, saya terbayang untuk menjadi seorang Biologist atau ahli Botani. Begitu ulangan demi ulang berlangsung, hasil nilai-nilai saya berada di perbatasan antara penjurusan A2 yaitu penekanan ilmu Biologi dan A3 penekanan ilmu Sosial. Sementara keinginan bapak saya masuk jurusan IPA, yang dengan berat hati tidak mungkin. Karena nilai-nilai saya dalam beberapa mata pelajaran utama A1 (Matematika & Fisika) kurang bagus. Di sinilah saya bernegosisasi dengan bapak, sambil sedikit memberikan gambaran kalau sama masuk A2 saya bakal jadi apa. Saya bilang ke bapak, saya mau jadi insinyur kehutanan dan bapak tentu saja keberatan melepas saya ke hutan belantara. Pilihan saya sendiri lebih berat untuk masuk jurusan A3, karena saya bisa mempelajari bahasa asing lain selain Inggris dan mempelajari Akutansi. Nilai Matematika saya bisa jadi jarang bagusnya, tapi nilai Akutansi saya selalu tinggi. Akhirnya bapak menyerah dan memperbolehkan saya masuk A3 dengan syarat nilai-nilai saya harus bagus, betul-betul bagus.

Sewaktu angkatan 92 si SMANDEL ini ada era baru, begitu ungkapan para guru kami, dimana jumlah kelas jurusan Sosial sama banyaknya dengan jurusan IPA. Dalam kebiasaan di SMANDEL ini berarti dianggap penurunan kualitas dan kami waktu itu sebagai anak-anak Sosial bercita-cita untuk menunjukkan kemampuan kami yang bisa membanggakan. Tidak enak rasanya dijadikan "anak bawang" dan hanya dilihat sebelah mata. Menurut para guru, dalam sejarahnya, kelas jurusan Sosial itu paling banyak 2, sedangkan saat angkatan 92, ada 5 kelas. beda satu kelas dengan jurusan IPA, dan melebihi satu kelas dari jurusan Biologi. Saya sendiri, lebih nyaman di jurusan Sosial, serasa berkecimpung di dunia yang mengasyikkan. Betul saja, pelajaran-pelajaran yang saya cintai seperti Sejarah, Bahasa Inggris, Bahasa Jerman, Akuntansi, menjadi keutamaan saya. Hal lainnya yang membuat kejutan, saya berhasil memperbaiki nilai-nilai saya begitu naik kelas 2.

Saat di kelas 2 ini juga merupakan masa jaya saya dalam bidang suara. Saya memilih untuk masuk menjadi anggota Seksi Kesenian dan menjadi anggota istimewa Sub-seksi Paduan Suara. Awalnya anak-anak kelas 1 diberikan pengarahan dan pengetahuan mengenai organisasi dan kegiatan di sekolah. Masing-masing anak bisa memilih untuk menjadi anggota utama sebuah seksi kegiatan dan bisa menjadi "penggembira" seksi lainnya. Waktu itu saya langsung kepincut dengan Seksi Kesenian dan Media Siswa. Karena kami hanya diperbolehkan memilih satu seksi yang uatama, saya pilih Seksi Kesenian. Untuk menjadi anggota dari sub-seksi Paduan Suara saya harus melalui sebuah audisi. Seorang kakak Senior bernama mbak Ade yang memimpin audisinya beserta dua kakak senior lain. Mulanya saya diminta mengikuti nada-nada dari sebuah keyboard. Lalu saya disuruh memilih sebuah lagu untuk dinyanyikan. Saya masih ingat reaksi mbak Ade dan dua senior lainnya. Mereka saling melirik dan berpandangan, mengangguk dan sedikit menyungging senyum. Sesudah saya menyanyi, mbak Ade memberitahu kalau saya resmi diterima di Paduan Suara SMANDEL dan menjadi salah seorang Soprano. 


Sejalan dengan resminya saya menjadi anggota sub-seksi Paduan Suara, tiap akhir pekan saya harus datang mengikuti latihan yang lebih sering menjemukan. Tapi saya punya kawan-kawan sesama penyanyi di sini, sehingga saya menikmati saja latihan demi latihannya. Tiba saatnya kami diajak untuk memperlihatkan kemampuan Paduan Suara SMANDEL di acara aubade di beberapa perhelatan penting. Karena SMA kami termasuk SMA ternama dan disegani, kami hampir selalu diundang untuk menyanyi di acara-acara penting bertema kenegaraan. Seperti misalnya acara peringatan Sumpah Pemuda, Kebangkitan Nasional, dll. Kesempatan berjalan-jalan ke luar saat jam sekolah juga jadi hal yang menarik. Sebab tiap kali saya dan teman-teman lain dibutuhkan untuk latihan atau tampil, kami akan selalu mendapatkan ijin khusus untuk tidak hadir di kelas. Menurut salah seorang guru yang melepas kami suatu waktu untuk tampil di acara di Stadion Senayan, kami adalah duta dari SMANDEL dan membawa misi penting. Tentunya kami bangga mendengar ini, apalagi saat kami bisa melihat langsung Presiden Soeharto yang melambaikan tangan saat melewati bagian tempat duduk kami.

Selain tampil di aubade, saya berkesempatan tampil di acara di sekolah lain mewakili SMANDEL. Sementara itu meski SMA kami terkenal karena prestasi akademiknya, kegiatan seni kami juga mumpuni. Ada acara Malam Kesenian, acara terbesar yang pernah saya ikuti di SMA. Bintang tamunya grup musik Karimata. Saya dan beberapa teman berkesempatan bertemu muka dengan Chandra Darusman, Erwin Gutawa dan berphoto bersama. Pucuk dicinta ulam tiba, untuk para fan berat mereka. Sebelum tampil di tiap acara inilah yang menarik buat saya, karena saya harus meminta dana khusus dari orang tua untuk membeli pakaian tertentu (seragam paduan suara) atau sepatu. Orang tua saya sempat keberatan dengan kesibukkan saya di paduan suara, tapi saya tetap bisa mengikuti pelajaran dengan baik, jadi tidak ada masalah.


Hal lain yang sangat berkesan untuk saya saat kelas 2 adalah pertama kalinya saya mengikuti STUDY TOUR ke luar propinsi. Ada tiga pilihan kota untuk study tour yang berbeda pula biayanya: Jakarta, Bandung dan Jogjakarta. Paling jauh tempatnya, berarti paling besar biayanya, sebesar Rp 150 ribu. Bapak saya ngotot saya disuruh memilih di Jakarta saja dan saya protes berat. Saya ingin ke Jogja. Dorongan ini ditambah karena sahabat saya bertujuan pergi ke Jogja juga. Saya dan bapak kembali bernegosiasi, syaratnya saya harus masuk tiga besar di kelas. Saya sangsi dan sudah membayangkan pergi study tour di Jakarta. Ternyata bapak dapat kejutan, begitu juga saya saat bapak sendiri yang mengambil rapor. Saya menunggu dengan perasaan campur-aduk di rumah, tidak sabar untuk melihat hasil rapor. Bapak pulang dan bilang saya boleh ke Jogja. Betapa senangnya! Saya buktikan ke bapak, saya bisa meraih ranking 2 di kelas. Perjalanan jauh saya pertama kali tanpa keluarga itu berawal dari stasiun kereta Gambir. Cerita study tour ke Jogja ini sendiri bisa saya buat menjadi sub-story khusus karena banyak sekali yang bisa saya ceritakan. Intinya, saat kelas 2 di SMA, saya menemukan jati diri saya lewat bakat saya di bidang suara dan kepandaian dalam bidang ilmu-ilmu sosial. Saya bisa menunjukkan terutama ke orang tua, saya bukanlah ABG biasa.


Cerita akan bersambung lagi...


D. Yustisia
Photo-photo koleksi pribadi saat saya kelas 2 SMA





(Cerita Anak SMA): Sebuah Permulaan Menjadi Anak SMA

Saya lulus tahun 1989 dari sebuah SMP yang cukup terkenal di daerah Jakarta Selatan, SMP Negeri 3 Manggarai. Saya masuk ke SMP itu beserta dua orang kawan lain dari SD yang sama. Terus terang saya agak kaget bercampur-baur dengan berbagai macam murid dari SD lain yang beragam latar belakangnya. Kebanyakkan dari mereka adalah anak-anak pintar yang lebih pintar dari saya, padahal saat SD saya termasuk yang dianggap pintar. Kekagetan saya membuat penyesuaian diri saat SMP berpengaruh ke nilai-nilai saya. Saat SMP inilah saya mendapat angka merah. Saya patah hati dan kecewa berpikir kenapa bisa begitu. Saat kelas 3 SMP nilai-nilai saya menempatkan saya dalam rangking di  antara 10 dan 20. Makanya begitu saya tahu kalau SMA tujuan yang bisa dipilih berdasarkan rayon salah satunya adalah SMA 8, saya merasa lemas bukan kepalang.

Saya memutuskan untuk memilih SMA 3 dan SMA 37, yang menurut saya sesuai dengan ukuran saya. Saya benar-benar merendahkan kemampuan saya dalam hal akademik. Saya berpikir tidak akan bisa beradaptasi di sekolah seperti SMA 8. Tapi bapak berpikir lain, saya harus memilih SMA 8 untuk pilihan pertama. Saya menangis membayangkan saya tidak akan diterima, apalagi NEM saya biasa saja. Di hari pengumuman, saya dan dua sahabat saya berkumpul di depan halaman sekolah memandangi beberapa lembar kertas yang ditempel di dinding. Ah! Nama saya ada dan SMA 8 menjadi SMA tujuan saya.

Sesudah urusan pendaftaran ini-itu, administrasi, dll, mulailah saya menjalani era bersekolah di SMA 8. Hal pertama yang saya harus ketahui, perihal transportasi. Karena saat itu saya masih tinggal di Pengadegan, Jaksel, saya harus berjalan kaki yang lumayan jauhnya menuju daerah Tebet nun jauh di sana. Saya harus melewati Cikoko, menyeberangi jembatan penyeberangan di M.T. Haryono menuju kawasan Tebet Timur untuk menunggu bis S-60. Bis ini rutenya Manggarai-Kampung Melayu, melewati persis di depan SMA 8 yang terletak di Bukit Duri. Di atas bis inilah saya bisa bertemu dengan kawan-kawan dari SMP yang sama atau berkenalan dengan teman baru dengan cara melihat badge nama SMA yang ada di kemeja seragam kami. Anak-anak SMA lain yang melihat atau mengetahui kami sebagai anak SMANDEL, biasanya agak sungkan. Sepertinya menyeramkan begitu gambaran anak-anak SMANDEL yang katanya bisa sampai  bersekolah 7 hari dalam seminggu.

Seperti halnya saat masuk sekolah baru, tentu saja ada kegiatan perploncoan. Buat saya sendiri, bukan suatu hal yang menakutkan. Kalau sekedar mendengar bentakan demi bentakan dari senior, saya suka pura-pura tidak dengar. Tugas-tugas dari mereka pun kebanyakkan yang masuk akal, karena ditujukan untuk kami mengetahui pelajaran baru, misalnya mengenai tabel unsur-unsur Kimia. Kimia ini yang menjadi pelajaran baru yang jadi favorit saya. Selain itu saya bisa unjuk gigi kebisaan saya, yaitu menyanyi yang menjadikan saya cukup dikenal saat SMA. Saat perploncoan pun tidak ada hal yang menggangu jiwa, justru sebaliknya menyenangkan buat saya. Kenapa? Karena ada seorang kakak pembimbing yang mencuri perhatian saya sepenuhnya. Mabuk kepayang lah saya di kelas 1-4 di lantai 2 SMANDEL. Hari-hari saya di kelas 1 berisi dengan penyesuaian demi penyesuaian. Tiba-tiba saja ada campuran hormonal di semua cerita di diary saya saat SMA kelas 1. Anak SMA biasanya dipandang sebagai anak-anak remaja yang lebih matang dari anak SMP, dan secara fisik pun perubahan yang terjadi bisa turut serta meramaikan upaya penyesuain diri.

Saat kelas 1 inilah pertama kalinya ada teman seangkatan yang menyatakan isi hatinya dan saya yang bersikukuh hanya menyukai kakak senior, ogah dan wegah menerima perhatian cowok itu. Kemudian tiba-tiba cerita di sekolah pun jadinya berisi dengan,"Si A naksir si B, loh", atau "Gue sebel sama si C, karena dia naksir cowok yang gue taksir", dan lain-lain cerita seputar hati dan suatu hari, ada sebuah kata yang tertulis di diary... CINTA. Padahal untuk bertahan di sekolah seperti SMANDEL yang hampir 80% anak muridnya berotak cerdas, merupakan anak berbakat dan punya kelebihan tersendiri, sudah jadi tantangan besar buat saya. Di saat ini pula saya belajar tentang murid-murid yang jadi populer karena otaknya, fisiknya, kebisaannya dalam suatu hal, yang berbeda dengan saat SMP, yang cenderung mengetengahkan fisik semata. Itulah inti dari kelas 1 SMA yang berupa sebuah permulaan tentang penyesuaian, penjajakan, penilaian, pemantapan kata hati dan hormonal remaja.


Cerita akan bersambung...



D. Yustisia


Photo-photo koleksi pribadi saat saya di kelas 1 SMA Negeri 8



Tinggal di Amerika & Kebiasaan Memberikan Tips

Salah satu pelajaran pertama bagi siapa saja yang baru saja tinggal di Amerika adalah untuk membiasakan diri memberikan tips. Tips atau dalam sebutan lain "gratuity" bukanlah hal baru dalam etiket sosial di negara Barat. Tips bukan uang rokok seperti di Indonesia. Tips bukan juga uang pelicin. Tips adalah bentuk dari penghargaan seseorang karena orang yang membantunya sudah mengerjakan hal yang layak atau baik menurutnya. Meski demikian, memberikan tips bukanlah sebuah paksaan atau keharusn, kecuali memang sudah ada aturannya. Misalkan, kalau kita datang ke sebuah restoran beserta banyak orang, maka memberikan tips pada pelayan yang melayani kita adalah sangat dianjurkan. Besarnya tips pun beragam dan biasanya sudah ada ketentuannya sekian persen dari negara bagian bersangkutan. Contohnya, tips sebesar 15% kalau di sebuah restoran itu adalah sesuatu yang lazim. Tapi restorannya pun biasanya yang skalanya menengaj ke atas, bukan restoran fast food atau yang berbentuk kedai biasa. Kalau di kedai biasa seperti diner atau restoran kecil, tips sebesar 10% sudah cukup.

Pemberian tips ada dua macam, berupa uang tunai yang kita tinggalkan di meja tempat kita makan, misalnya, atau yang langsung kita berikan pada si pemberi jasa, bisa juga digabungkan dalam kartu kredit saat kita membayar harga makanan. Tips tidak hanya berlaku di restoran. Kalau kita memotong rambut ke sebuah salon atau barbershop, tips kita berikan pada si pemberi jasa dalam bentuk uang tunai. Kebiasaan saya, tips untuk pemotong rambut adalah minimal $5. Tips juga bisa diberikan pada orang yang sudah membantu melayani kita dan jumlahnya bisa jadi kecil. Seperti misalnya meninggalkan kembalian receh di kedai donut atau tempat pengisian BBM. Di beberapa hotel besar atau apartemen mewah, tips diberikan pada orang yang membawakan koper kita atau membukan pintu. Supir taksi pun biasanya mendapatkan tips dari para penumpangnya, demikian juga pengantar makanan take-out.
Uang tunai yang ditinggalkan di atas meja di restoran pun tidak akan ada yang mengambilnya. Sebab orang sudah tahu, tips itu biasanya memang ditinggalkan di meja

Di Amerika ada aturan dari lembaga pajak bahwa para pekerja yang mendasarkan pendapatannya dari gaji dan tips, harus memberikan rincian jumlah tipsnya saat kewajiban mengisi formulir pajak tiap tahunnya tiba. Bagi yang tidak melaporkan pendapatannya dalam bentuk tips, bisa dikenai denda atau ancaman hukuman pidana. Tapi laporan ini tidak berlaku bagi orang yang tidak selalu mendapatkan tips seperti supir taksi, pembuka pintu apartemen, pengantar makanan atau pekerja di pomba bensin. Keharusan melaporkan penerimaan tips itu biasanya dilakukan oleh para pekerja di salon atau pelayan restoran. Karena pemberian tips ini lebih banyak tergantung pada pribadi yang bersangkutan yang memberi, jumlahnya bisa beragam. Sayangnya, oleh segelintir pengusaha restoran, terutama yang pemiliknya orang China, saya mengetahui dari beberapa pelayan yang bekerja di situ kalau tips mereka dikumpulkan dan diberikan ke mereka sebagai gaji mereka dan bukan sebagai tips. Jadi bisa dibilang pengusaha ini berbuat curang dengan menggunakan uang tips sebagai gaji dari pekerjanya.

Saat saya masih bekerja menjadi kasir toko, saya suka ditinggali recehan dari para pelanggan. Kalau dikumpulkan selama 8 jam bekerja, lumayan juga dapatnya. Lain hari saat saya membantu memilihkan seorang ibu membeli sebuah permainan lottere, ternyata dia menang besar. Si ibu memberikan saya tips sebesar $20. Kata dia, saya berhak tips itu. Seorang bapak pun pernah memberikan saya tips sebesar itu karena saya selalu membantu dia mengurusi permainan lottere-nya hampir setiap hari. Sedangkan cerita yang terbaru menyoal tips terjadi saat saya sekeluarga makan bersama teman dan suaminya di New York di sebuah restoran Thai. Kami sudah menyisihkan uang untuk tips-nya, kemudian si pelayan datang mengembalikannya. Katanya "gratuity" sudah termasuk dalam hitungan biaya makan kami. Kami kagum karena si pelayan jujur, meski kami tidak keberatan tentang tips-nya. Pengalaman lainnya termasuk aneh bin ajaib, sewaktu saya, suami dan beberapa kawannya makan di sebuah restoran Chinese-Malaysia. Pelayanan dari si pelayan sangat kasar, dengan membanting piring hidangan ke meja dan melengos begitu saja kalau memberikan sesuatu ke kami. Kami memberikan tips yang sesuai dengan jumlah harga makanan yang kami santap, 10% saja. Toh, kami pikir, pelayanannya juga kurang memuaskan. Begitu kami beranjak meninggalkan meja kami, si pelayan mengejar kami dan protes minta tambahan tips-nya yang menurut dia kurang apalagi karena kami datang berempat. Mestinya si mbak pelayan sadar diri, tips besar itu datang lewat upayanya yang baik melayani orang. Kalau pelayanannya sudah kasar, apa pantas dia meminta tips besar? Jangan lupa, intinya memberikan tips adalah kerelaan, tapi bukan berarti pelit dalam memberikannya.


D. Yustisia

Picture Perefect: BEFORE MY TIME

Another photography journal that I contributed for Picture Perfect's weekly competition and was chosen to be on the Top Ten. The theme was BEFORE MY TIME, reflecting things that were exist before we do or events that happened long ago. My entry was about a Civil War Hero's grave.

-----------------------------

Last October when suddenly a snowstorm happened, I was on my way to the library. The snow fell hard and harder, blanketing the ground surrounding me. Across the library was an old cemetery that got my attention. The gravestones stood silent and solemn draped with some snow. One gravestone stood out, with a small flag next to it. I went across to get closer. The stone bares the name of a Civil War hero. He was probably in his late teen or early twenty when he went to war. A young corporal fought against his own brothers. Perhaps he was anxious, I bet he was. Perhaps he was scared and also sad. He wouldn't know there's no victory. He wouldn't know the horror the Civil War carries to the future. We can only hope there'll be no more war here or everywhere. No more that a young man like this soldier goes to war for something senseless. Meanwhile, let's bow and send our prayer and thought to all lost heroes.


  Civil War Hero's Grave

Picture Perfect: TRANSLUCENT

Picture Perfect is a photography community where I belong for sometime now through my old blog on Multiply. The site will be closed down soon and with sadness I have to move several (make that almost all) of my posts here in my new blog. This is one of the photography journal that was included on the weekly competition held by Picture Perfect and was picked as Honorable Mention with the theme: TRANSLUCENT.

-------------------

     In the corner of our backyard, there's some plants, make that some unwanted plants, that keep on growing even though I've tried pulling them by their roots and cut them also. I actually gave up because they just grow and grow. But then this Spring I've had some surprise when one morning I looked down from a window and saw something purple. It turned out between those unwanted plants, were purple Irises. This was the first time they bloomed apparently. Of course, I was ecstatic. Six purple Irises added the all-green nuance in that corner or our yard. I cut two, put them in a used soda bottle and placed it on our dining table. When the sun shone through the big window in the room, the rays hit the Irises and made them looked  translucent.



Irises in A Bottle