Welcome to My Sanctuary

If you are a dreamer, come in.
If you are a dreamer, a wisher, a liar,
A hope-er, a pray-er, a magic bean buyer...
If you're a pretender, come sit by my fire.
For we have some flax-golden tales to spin.
Come in!
Come in!


(INVITATION - Shel Silverstein)

Friday, September 28, 2012

Picture Perfect: PEEPING TOM

One day when my kids and I had our spring walk along this wonderful street that lining up with old and beautiful houses, something stood out. From a window at an apartment building, I saw some laundries hanging near it. It could be that the tenants whose laundries looking all hanged-out was conscious about the Earth's Day (I took this shot just a week before it), or they're cheap and didn't want to use a dryer. Anyway you see it, those laundries were somewhat an interesting sight to see for an onlooker like me.





If you wonder what this post is all about, it's about PICTURE PERFECT, a weekly photography activity that's been going on for several years now among bloggers who blog (or used to blog) on a site called Multiply. It is very sad to say that we have to move our blogs and this activity out of Multiply, since it's not going to support the blog feature anymore. Though this is still our first steps to reclaim the fun and merry way of our photography activity, I'm excited. I've been missing several events, but don't want to miss this one. This week the theme is PEEPING TOM.

Tuesday, September 25, 2012

Pengalaman Terkena Penyakit SHINGLES

Namanya bisa jadi terdengar lucu, tapi penyakit yang satu ini bukan penyakit biasa. Siapapun yang dalam hidupnya pernah terkena cacar air, bisa terkena penyakit Shingles ini. Karena sebenarnya, ini yang banyak orang tidak tahu, virus cacar air yang masuk ke dalam tubuh penderitanya tidak pernah hilang atau lenyap. Sebaliknya, virus cacar air itu bisa berubah mutasi menjadi virus Shingles dan penyakit yang menjadi turunan cacar air ini, lebih berbahaya dan menyakitkan dibanding cacar air. Gara-gara iklan layanan masyarakat mengenai virus Shingles dan adanya vaksin yang sekarang bisa didapat di toko farmasi, saya jadi ingat pengalaman saya beberapa tahun lalu saat terkena penyakit Shingles ini.

Mulanya saat saya sedang berada di depan komputer, saya pikir saya merasa hangat karena pancaran matahari yang masuk ke kamar. Tapi lama-lama aneh rasanya karena "sunburn" yang saya rasa makin panas terutama di bagian punggung. Sesudah itu perasaan gerah datang, tapi tidak ada sedikit pun keringat yang muncul. Panas menyengat mulai merajalela di punggung saya dan membuat tidak nyaman. Esok harinya kulit punggung saya terasa nyeri kalau tersenggol. Setiap kali ada gesekan dari pakaian yang saya pakai atau geseran karena benda tertentu seperti kursi, nyerinya bukan main rasanya. Saya sampai meringis terus karenanya. Karena penasaran saya cari di internet gejala-gejala penyakit dengan acuan "sunburn feeling" dan menemukan Shingles sebagai penyebabnya. Sesudah itu penyakit Shingles memunculkan kedahsyatannya.

Sementara rasa panas menyengat makin menjadi di seluruh punggung, kemudian menjalar ke bagian perut. Rasa panas itu terasa sekali di kulit, terutama di bawah kulit. Selanjutnya muncul bintil-bintil kecil persis di bagian belakang pinggang kanan saya yang menjalar sampai ke bagian perut sebelah kanan sampai ke pusar. Sakitnya makin meningkat rasanya saat bintil-bintil ini muncul. Awalnya saya beri olesan Calamine, sebab saya pikir sekedar sakit kulit biasa. Bintil-bintil ini tidak terlalu gatal, tapi sakitnya bukan main daerah yang ada bintilnya. Bisa dibayangkan betapa menyakitkannya buat saya memakai celana jeans atau setiap kali ke kamar kecil, karena harus berhati-hati sekali jangan sampai menyenggol bintil-bintil yang sepertinya puluhan jumlahnya, tapi hanya berkisar di satu tempat. 

Saya akhirnya memutuskan ke dokter setelah seminggu atau lebih merasakan kedahsyatan penyakit Shingles yang ternyata virusnya menyerang syaraf di bawah kulit. Menurut dokternya, perilaku saya yang rajin mengolesi Calamine ke daerah yang ada bintil-bintilnya sudah benar. Munculnya virus Shingles ini pun bukan dipicu karena ketularan seperti cacar air, tapi lebih pada kekebalan tubuh penderita yang tiba-tiba turun. Sedihnya, obat dari Shingles ini mahal harganya, sekitar $150 untuk 10 tablet saja. Anehnya, kalau obatnya dari Canada yang jenisnya sama, harganya hanya $30. Karena saya tidak mungkin mengeluarkan uang sampai ratusan dollar untuk obatnya, dokter saya memberikan sample obat yang dia dapat dari sales representative dan pabrik obat. Sungguh dokter ini baik hatinya, memikirkan pasiennya secara finansial juga. Saya juga disarankan untuk tetap memakan obat pereda sakit (Tylennol atau Ibuprofen), seperti yang sudah saya lakukan sejak saya terkena Shingles.

Karena Shingles menyerang bagian pinggang belakang sebelah kanan dan perut bagian depan, perut saya jadinya terasa menggembung layaknya orang hamil. Saya tidak bisa memakai jeans saya yang biasa, sedangkan kalau terlalu menempel ke dekat daerah bintil-bintilnya, sakitnya bukan main. Minggu kedua saya sakit Shingles, saya sering menangis karena sakitnya yang kadang tidak tertahankan. Seakan-akan ribuan pisau menusuk-nusuk bagian punggung dan perut saya dan paling sakit di seputar pusar, dan rasa panas masih terasa juga. Lalu bintil-bintil itu satu per satu pecah mengeluarkan air dan juga darah yang sakitnya bukan main, serasa disayat-sayat pisau terus-menerus. Sudah dipastikan saya cuma bisa menangis tiap kali saya bergerak karena bagian abdomen saya menjadi sangat sensitif. Saya rajin membersihkan cairan yang keluar dari bintil-bintil yang pecah dan mengolesi Calamine ditambah salep Hydrocortisone yang bisa dibeli bebas. Sayangnya, obat sample dari dokter saya cuma untuk beberapa hari, sementara sakit saya memasuki minggu ketiga dan selanjutnya.

Setelah akhirnya sebulan lamanya saya terkena Shingles, yang hilang pertama kali adalah rasa panas yang menyerang kulit. Lalu bintil-bintil yang pecah mengering dan membuat kulitnya hitam. Tapi syaraf yang diserang Shingles masih terus terasa nyeri sampai akhirnya 1,5 bulan berlalu. Saya tidak akan lupa bagaimana menderitanya saya selama hampir dua bulan tanpa bisa mengurangi pekerjaan rumah tangga yang membuat saya harus tetap bergerak. Padahal setiap gerakan berarti menambah sakit badan saya. Rasanya ironis mengingat cacar air yang saya derita, si pemicu munculnya virus Shingles, saat saya berusia 7 tahun muncul dengan keangkerannya puluhan tahun kemudian. Satu hal yang masih membekas meski sudah beberapa tahun lewat dari sakit saya, syaraf di punggung tempat dimana bintil-bintil awal muncul, masih suka terasa nyeri seperti ada sensasi ditusuk atau disayat, yang sesekali datang. Dokter saya bilang, begitulah Shingles, karena menyerang syaraf-syaraf yang bisa jadi rusak karena virusnya, masuk akal kalau saya masih merasakan nyeri. Harap diingat, siapapun yang pernah terkena cacar air bisa terkena virus Shingles ini saat dewasa atau usia lanjut. Ada baiknya kalau ada vaksin Shingles beredar di daerah anda, langsung cari tahu infromasi lebih lanjut.


D. Yustisia


Monday, September 24, 2012

Walking Tour, Mendatangi Kuburan Tua di Kota Salem

Jalan-jalan di kota Salem tidak harus selalu mengeluarkan uang. Ada caranya untuk bisa mendatangi tempat-tempat bersejarah tanpa biaya. Salah satunya yang disarankan di website turisme kota Salem adalah Self-Guided Walking Tour. Ada sederatan tempat yang bisa didatangi dengan berjalan kaki, ada jalanan yang diberi nama One Beautiful Street, yang berupa jalan pertama di Amerika dengan penataan dan perencanaan. Ada pula taman bernama Ropes Mansion Gardens yang berupa Colonial Revival Garden atau taman yang didasarkan pada gaya Colonial yang diwujudkan tahun 1912. Tapi kami tidak mendatangi dua tempat itu, melainkan ke dua kuburan tua di Salem.

Mulanya karena sewaktu kami datang, tempat-tempat yang mau kami datangi, salah satunya Salem Witch Museum, belum buka. Saya ajak anak-anak berjalan-jalan berkeliling bagian kota Salem yang sarat dengan rumah-rumah dan bangunan tua. Kami menemukan jalan bernama Howard Street, dimana di situ terdapat kuburan tua kedua di Salem. Kuburannya bernama Howard Street Cemetery terletak di atas bukit yang ditumbuhi beberapa pohon yang salah satunya menaungi sebagian kuburan. Saat kami berada di bukit tersebut, saya bisa melihat ke penjuru kota Salem dimana sederetan condo mewah dan bangunan modern lainnya berselingan dengan gedung apartemen tua. Berdasarkan batu nisan yang ada di Howard Street Cemetery, kebanyakkan bertahun 1800-an. Masing-masing nisan unik, ada yang sudah hilang identitasnya, ada yang masih kentara dengan rincian mengenai orang yang dikubur. Sebagian besar yang dikubur adalah warga biasa kota Salem.

Sesudah kami mengunjungi kuburan di Howard Street, kami melanjutkan dengan kunjungan ke Salem Witch Museum. Lalu kami teruskan jalan-jalan kami sesudah mencicipi sandwich di cafe setempat, ke Old Burying Point yang berada di belakang Peabody-Essex Museum. Kuburan ini tidak luas dan ditumbuhi beberapa pohon yang rendah dahan-dahannya. Di samping kiri dan kanan jalan masuk kuburan terdapat peti batu yang beberapa bertahun 1700-an, ada pula yang bertahun 1600-an. Peti batu besar ini seakan menjadi punggawa kuburan yang ramai didatangi orang yang penasaran akan tempat peristirahatan terakhir dua hakim yang mengadili para terdakwa yang dituduh sebagai penyihir, yaitu kuburan Justice John Hathorne dan Chief Justice Benjamin Lynde. Ternyata untuk kuburan seorang tokoh yang turut menandai babak penting dalam sejarah Amerika, kuburan kedua hakim ini biasa saja. Untuk menemukan kuburan tokoh-tokoh tertentu yang dicanangkan nama-namanya di papan di Old Burying Point, orang harus benar-benar mencari dan memperhatikan satu per satu nisannya. Tidak sedikit pun dua kuburan yang kami datangi terlihat menyeramkan atau dianggap keramat. Sebaliknya, banyak pengunjung mendatangi kuburan untuk menelusuri sejarah kota Salem, bukan untuk berziarah atau mencari tujuan lain yang berbau mistik.


Pemandangan di Howard Street Cemetery

 










Kuburan Tertua Salem, Old Burying Point

 



 



 




Thursday, September 20, 2012

Humble Kitchen: Ayam Panggang Bumbu Asem

Anak-anak saya suka sekali ayam panggang ini. Bumbunya sederhana, tapi hasilnya bisa enak sekali. Rahasianya terletak di pijatan bumbunya. Iya, tidak salah baca, ayamnya dipijat atau diremas-remas dalam bumbunya. Asem Jawanya membuat daging ayamnya jadi empuk dan gurih. Supaya ayamnya hasilnya kering, bisa memakai teknik "broil" di oven. Sedangkan kalau yang memilih ayamnya tidak terlalu kering, bisa memanggangnya seperti biasa dalam suhu tinggi 450 derajat Fahrenheit atau 232 derajat Celcius, atau disesuaikan oven masing-masing. Langsung saja ya, silahkan disimak bahan-bahannya.

  • Satu ekor ayam potong menjadi 12 bagian
  • Asem Jawa 2 sendok makan
  • Air kira-kira 1/8 gelas
  • Garam
  • Baki memanggang
  • Aluminum foil
Cara membuatnya:

  1. Campur asem Jawa ke dalam air dan remat-remat sampai airnya menghitam. Buang ampas asem Jawanya.
  2. Letakkan potongan ayam ke wadah dan tuangkan air asem Jawanya dan beri garam.
  3. Remas-remas atau pijat ayamnya sampai tercampur bumbunya. Sisihkan dan simpan dalam kulkas minimal selama 2 jam, lebih lama lebih baik.
  4. Sesudah ayamnya direndam bumbu selama beberapa jam, siapkan baki memanggang yang dilapisi aluminum foil.  jajarkan ayam berbumbu dan beri selaan yang cukup diantara ayamnya.
  5. Nyalakan oven untuk "broil" atau 450F (232C).Pastikan oven sudah panas, kemudian masukkan baki panggang yang sudah ada ayamnya.
  6. Panggang ayam selama 25 menit atau sampai ayam berwarna kecoklatan dan kering kulitnya. Kemudian balik ayamnya dan panggang selama 20 menit atau hingga kecoklatan.
  7. Keluarkan ayam segera bila sudah matang.

Ayam panggang ini cocok ditemani berbagai macam sambal. Favorit kami adalah ayamnya dimasukkan ke sambal cabe hijau ala Padang. Selamat mencoba resep saya ini.

D. Yustisia




Friday, September 14, 2012

Pengalaman: Naik Bis Kota di Amerika

Saya tinggal di sebuah kota yang skalanya tidak besar, tapi juga tidak kecil. Kota tempat tinggal saya bertetangga dengan salah satu kota besar di negara bagian kami dimana sebuah universitas tertua di Amerika berdiri. Kota besar itu bernama New Haven, tempat Yale University berdiri dengan megahnya. Salah satu penghubung antar kota di sini adalah bis kota yang dikelola pemerintah negara bagian. Sehingga untuk transportasi umum, ada subsidi dari pemerintah. Meski demikian, setiap kali bakal ada kenaikkan ongkos bis, masyarakat umum diundang untuk memberikan pendapatnya di forum terbuka. Pengumuman mengenai kenaikkan ongkosnya pun sudah diberi tahu dari jauh hari, supaya masyarakat maklum dan siap.

Pertama kali saya menjajal naik bis kota, saya ditemani suami saya. Waktu itu masih di akhir 90-an, ongkos bis sekali naik adalah $1.00. Para calon penumpang bis kota diharuskan menunggu di tempat pemberhentian bis, yang tidak selalu berwujud sebuah bangunan terlindungi. Pemberhentian bis ini ada di setiap 1/4 mile jaraknya (atau 0,4km). Biasanya pemberhentian bis berada di setiap persimpangan jalan atau dimana lampu lalu lintas berada. Sebelum adanya tanda pemberhentian bis yang sekarang, yaitu tanda jalan bergambar bis yang dipasang di sebuah tiang kecil, pemberhentian bis dulu berupa cat hitam melingkar di tiang telpon yang berupa kayu. Bis datang pada waktu-waktu tertentu dan memiliki jadwal tercetak yang bisa kita dapatkan di kantpr cabang bis di downtown New Haven atau supermarket besar. Di situ pula kita bisa membeli karcis langganan bis.

Naik bis di Amerika berarti kita harus membawa uang pas. Jangan berharap bakal ada mesin yang memberikan kembalian kalau kita membayar dengan uang nominal besar. Uang pasnya ini bisa berupa uang kertas $1 atau receh yang besarnya 25cents, 10cents atau 5cents. Mesin penerima uang pembayaran ongkos tidak menerima penny alias koin 1cent! Begitu naik bis kota, kita langsung memasukkan ongkosnya ke sebuah mesin di sebelah supir. Supir tersebut tidak membawa kunci untuk membuka mesin uangnya. Supir bis akan menanyakan apakah kita membutuhkan transfer atau tidak. Transfer adalah semacam tiket yang gunanya untuk naik bis selanjutnya kalau kita harus naik bis sambungan menuju tujuan kita. Transfer ini tidak dipungut biaya lagi, karena sudah termasuk ongkosnya. 


Sekarang kita bahas mengenai tempat duduk di bis kota. Karena di sini ada aturan untuk menghormati kaum cacat, orang jompo atau orang-orang yang lebih membutuhkan, seperti orang hamil atau ibu dengan anak-anak kecil.  Kalau tidak ada penumpang yang termasuk kategori tersebut, kita boleh duduk di kursi itu. Tapi begitu ada yang membutuhkan, kita haru pindah duduk ke kursi lain. Tempat duduk ini ada di bagian depan bis dan bisa dilipat supaya orang yang kursi roda bisa naik bis. Ya, bis di sini memungkinkan bagi orang yang menggunakan kursi roda untuk naik dengan nyaman. Bis kotanya memiliki semacam mekanisasi yang membuat tangga naik bis bisa membuka dan kursi roda bisa naik ke atasnya. Kemudian tangga yang jadi rata itu mengangkut kursi roda dan penumpangnya menuju bagian dalam bis. Canggih kan?

Begitu di dalam bis kota para penumpang dilarang untuk merokok, memutar musik keras-keras, menaikkan kaki ke kursi, berbicara keras-keras (lewat telpon terutama) dan menghormati penumpang lain. Saat tujuan kita sudah dekat, kita tinggal menarik sebuah tali di sisi kiri dan kanan badan bis atau memijit sebuah tombol stop di tiang bis untuk meminta berhenti. Bis hanya berhenti di pemberhentian yang ditentukan. Bis kota di sini bukan hanya dinaiki oleh masyarakat menengah ke bawah, tapi juga beberapa eksekutif yang tidak mau ambil pusing tentang urusan parkir di kota besar. Ongkos bis saat pertama kali saya naik yang $1.00 itu sudah meningkat menjadi $1.25. Kenaikkan yang tidak mencolok mengukur sejak tahun 1999 sampai sekarang.

Saya suka naik bis kota di sini. Gara-gara saya sering naik bis kota, saya jadi lebih tahu jalan, baik itu nama jalan, bersambungnya kemana sampai tentang rute bis ke berbagai tempat. Saya kenal banyak beberapa supir bis dan kami biasanya saling menyapa, melambaikan tangan atau mengobrol macam-macam kalau bertemu atau berpapasan di jalan. Sampai-sampai anak-anak saya bilang kalau para supir bis itu "teman" saya. Saat musim panas tiba, fasilitas AC di bis sangat memadai. Kadang AC-nya terlalu dingin dan membuat orang menggigil. Di musim dingin, pemanas di bis bisa membuat para penumpangnya nyaman sampai bisa tertidur pulas. Itulah kenapa saya suka naik bis kota di Amerika.

Tinggal di Amerika dan Kebiasaan Memberikan Tips

Salah satu pelajaran pertama bagi siapa saja yang baru saja tinggal di Amerika adalah untuk membiasakan diri memberikan tips. Tips atau dalam sebutan lain "gratuity" bukanlah hal baru dalam etiket sosial di negara Barat. Tips bukan uang rokok seperti di Indonesia. Tips bukan juga uang pelicin. Tips adalah bentuk dari penghargaan seseorang karena orang yang membantunya sudah mengerjakan hal yang layak atau baik menurutnya. Meski demikian, memberikan tips bukanlah sebuah paksaan atau keharusn, kecuali memang sudah ada aturannya. Misalkan, kalau kita datang ke sebuah restoran beserta banyak orang, maka memberikan tips pada pelayan yang melayani kita adalah sangat dianjurkan. Besarnya tips pun beragam dan biasanya sudah ada ketentuannya sekian persen dari negara bagian bersangkutan. Contohnya, tips sebesar 15% kalau di sebuah restoran itu adalah sesuatu yang lazim. Tapi restorannya pun biasanya yang skalanya menengaj ke atas, bukan restoran fast food atau yang berbentuk kedai biasa. Kalau di kedai biasa seperti diner atau restoran kecil, tips sebesar 10% sudah cukup.

Pemberian tips ada dua macam, berupa uang tunai yang kita tinggalkan di meja tempat kita makan, misalnya, atau yang langsung kita berikan pada si pemberi jasa, bisa juga digabungkan dalam kartu kredit saat kita membayar harga makanan. Tips tidak hanya berlaku di restoran. Kalau kita memotong rambut ke sebuah salon atau barbershop, tips kita berikan pada si pemberi jasa dalam bentuk uang tunai. Kebiasaan saya, tips untuk pemotong rambut adalah minimal $5. Tips juga bisa diberikan pada orang yang sudah membantu melayani kita dan jumlahnya bisa jadi kecil. Seperti misalnya meninggalkan kembalian receh di kedai donut atau tempat pengisian BBM. Di beberapa hotel besar atau apartemen mewah, tips diberikan pada orang yang membawakan koper kita atau membukan pintu. Supir taksi pun biasanya mendapatkan tips dari para penumpangnya, demikian juga pengantar makanan take-out.
Uang tunai yang ditinggalkan di atas meja di restoran pun tidak akan ada yang mengambilnya. Sebab orang sudah tahu, tips itu biasanya memang ditinggalkan di meja

Di Amerika ada aturan dari lembaga pajak bahwa para pekerja yang mendasarkan pendapatannya dari gaji dan tips, harus memberikan rincian jumlah tipsnya saat kewajiban mengisi formulir pajak tiap tahunnya tiba. Bagi yang tidak melaporkan pendapatannya dalam bentuk tips, bisa dikenai denda atau ancaman hukuman pidana. Tapi laporan ini tidak berlaku bagi orang yang tidak selalu mendapatkan tips seperti supir taksi, pembuka pintu apartemen, pengantar makanan atau pekerja di pomba bensin. Keharusan melaporkan penerimaan tips itu biasanya dilakukan oleh para pekerja di salon atau pelayan restoran. Karena pemberian tips ini lebih banyak tergantung pada pribadi yang bersangkutan yang memberi, jumlahnya bisa beragam. Sayangnya, oleh segelintir pengusaha restoran, terutama yang pemiliknya orang China, saya mengetahui dari beberapa pelayan yang bekerja di situ kalau tips mereka dikumpulkan dan diberikan ke mereka sebagai gaji mereka dan bukan sebagai tips. Jadi bisa dibilang pengusaha ini berbuat curang dengan menggunakan uang tips sebagai gaji dari pekerjanya.

Saat saya masih bekerja menjadi kasir toko, saya suka ditinggali recehan dari para pelanggan. Kalau dikumpulkan selama 8 jam bekerja, lumayan juga dapatnya. Lain hari saat saya membantu memilihkan seorang ibu membeli sebuah permainan lottere, ternyata dia menang besar. Si ibu memberikan saya tips sebesar $20. Kata dia, saya berhak tips itu. Seorang bapak pun pernah memberikan saya tips sebesar itu karena saya selalu membantu dia mengurusi permainan lottere-nya hampir setiap hari. Sedangkan cerita yang terbaru menyoal tips terjadi saat saya sekeluarga makan bersama teman dan suaminya di New York di sebuah restoran Thai. Kami sudah menyisihkan uang untuk tips-nya, kemudian si pelayan datang mengembalikannya. Katanya "gratuity" sudah termasuk dalam hitungan biaya makan kami. Kami kagum karena si pelayan jujur, meski kami tidak keberatan tentang tips-nya. 


Pengalaman lainnya termasuk aneh bin ajaib, sewaktu saya, suami dan beberapa kawannya makan di sebuah restoran Chinese-Malaysia. Pelayanan dari si pelayan sangat kasar, dengan membanting piring hidangan ke meja dan melengos begitu saja kalau memberikan sesuatu ke kami. Kami memberikan tips yang sesuai dengan jumlah harga makanan yang kami santap, 10% saja. Toh, kami pikir, pelayanannya juga kurang memuaskan. Begitu kami beranjak meninggalkan meja kami, si pelayan mengejar kami dan protes minta tambahan tips-nya yang menurut dia kurang apalagi karena kami datang berempat. Mestinya si mbak pelayan sadar diri, tips besar itu datang lewat upayanya yang baik melayani orang. Kalau pelayanannya sudah kasar, apa pantas dia meminta tips besar? Jangan lupa, intinya memberikan tips adalah kerelaan, tapi bukan berarti pelit dalam memberikannya.


D. Yustisia

Monday, September 10, 2012

Tempat Mencekam Bernama Salem Witch Dungeon

Saat kami berlibur ke kota Salem, sebisa mungkin kami berusaha menelusuri tempat-tempat bersejarah yang bersangkut-paut dengan Salem Witch Trial. Seperti di penjelasan saya di jurnal sebelumnya, pengadilan penyihir ini adalah pengadilan khusus yang menoreh sejarah hitam di Amerika Serikat. Saat itu di tahun 1692, negara Amerika Serikat belum terbentuk, tapi kelompok masyarakat yang terdiri dari para pendatang dari Inggris telah membentuk pemerintahan sendiri. Salem Witch Trial muncul akibat histeria massa yang menyebabkan 20 orang tidak bersalah kehilangan nyawa dan mencapai lebih dari 100 orang dipenjara. Bahkan 2 ekor anjing dihukum mati karena dituduh sebagai penyihir juga. Di kota Salem ini yang dulunya saat Salem Witch Trial terjadi, dinamakan Salem Town dan Salem Village. Salem Town menjadi kota Salem yang sekarang sementara Salem Village, tempat dimana banyak para tertuduh dan terdakwa tinggal, menjadi kota tetangga Salem, yaitu kota Danvers.

Satu hal yang saya pelajari saat berjalan-jalan menelusuri sejarah Salem Witch Trial adalah bagaimana nasib para tertuduh di penjara. Mereka ditempatkan di sebuah dungeon atau penjara di bawah tanah. Ironisnya, meski status para tertuduh ini adalah orang-orang yang terhukum dan dibatasi kebebasannya, merekalah yang bertanggung jawab atas biaya selama di penjara. Ya, mereka harus membayar sewa sel penjara dimana mereka ditempatkan. Semakin mampu mereka untuk mengeluarkan biaya yang agak besar, mereka akan ditempatkan di sel yang lebih besar. Sedangkan bagi yang tidak mampu membayar sewa penjaranya, sel penjara tempatnya sangat sempit kurang dari 2 meter x 2 meter. Bisa dibayangkan bagaimana claustrophobic-nya ditambah suasana dungeon-nya yang gelap dan lembab dan tertuduh bisa tinggal di penjara tanpa ada batas waktu yang pasti. Beberapa tertuduh ada yang meninggal di penjara, termasuk janin  yang dikandung seorang ibu, seorang yang dituduh sebagai penyihir.



Salem Witch Dungeon terletak agak terpencil dan di luar dari lingkungan museum dan tempat-tempat lain yang berhubungan dengan Salem Witch Trial yang kebanyakkan berada di pusat kota. Dengan melihat peta untuk para pengunjung dan mengikuti Heritage Trail (garis merah yang ada di jalan dan trotoar untuk melewati temapt-tempat bersejarah di Salem), kami menemukan Salem Witch Dungeon. Tempat ini bukanlah dungeon asli tempat dimana para tertuduh dipenjara. Dungeon yang asli letaknya beberapa block dari Salem Witch Dungeon ini, yang sayangnya dirobohkan untuk membangun gedung baru. Mungkin ada baiknya juga supaya keseraman dan keburukan yang muncul dari dungeon itu bisa digantikan dengan hal-hal yang baik.Tapi bagian dari dungeon yang asli berupa tiang penyangganya yang berusia hampir 400 tahun disimpan di Peabody-Essex Museum di kota Salem dan Salem Witch Dungeon. Ada kepercayaan yang beredar, bagi wanita yang memegang atau mengelus tiang bekas dungeon yang asli, akan mendapat keberuntungan.



Sesudah memasuki bagian pembelian karcis di Salem Witch Dungeon, para pengunjung dipersilahkan melewati sebuah pintu yang menuju sebuah ruangan luas dengan beberapa deret kursi. Terlihat dari ruangannya, gedung yang dipakai sebagai Salem Witch Dungeon dulunya adalah sebuah gereja yang cukup megah. Bau ruangan dimana sebuah panggung bertirai merah berada layaknya bau gedung tua yang apek dan agak lembab. Gedung ini sendiri memiliki sejarah yang masih berhubungan dengan kaum Puritan yang datang dari Inggris, yang dibangun pada tahun 1897 dan dinamakan East Church Chapel. Di dalam ruangan yang sama masih terdapat wind organ yang asli dari sejak gereja ini dibangun. Saat sedang mengagumi ruangan dimana kami duduk, tiba-tiba tirai di panggung terbuka dan seorang gadis cantik berpakaian ala masa saat Salem Witch Trial berlangsung muncul. Dia menceritakan sejarah dungeon asli dan beberapa penghuninya yang hampir semuanya adalah orang-orang yang dituduh sebagai penyihir. Lalu saat si gadis pembawa acara dan sekaligus pemandu di dungeon itu selesai bercerita, dia memperkenalkan seorang pemain drama yang akan memperagakan reenactment berdasarkan pembicaraan asli hasil dari arsip pengadilan. 

Kali ini reenactment-nya berupa cuplikan dari pengadilan yang mengetengahkan tuduhan terhadap Elizabeth Proctor yang sedang hamil dan kesaksian Abigail Williams. Dari reenactment yang berdasarkan sanggahan Elizabeth Proctor terhadap tuduhan sebagai penyihir yang telah mencelakai dna mengguna-gunai Abigail, serta kesaksian Abigail yang lebih seperti mengada-ada dan berupa khayalan dan bukan berdasarkan bukti-bukti nyata. Mendengarkan kepiluan Elizabeth yang dimainkan dengan baik oleh pemain reenactment-nya membuat saya makin merinding dan trenyuh membayangkan keadaan saat Salem Witch Trial berlangsung. Sesudah reenactment selesai, kami dipersilahkan menuruni anak tangga menuju dungeon yang gelap. Di dungeon yang dibuat meniru yang aslinya, terdapat beberapa sel yang berbeda ukurannya. Di dalam sel-sel itu diletakkan mannequin yang menggambarkan keadaan dan penderitaan para tertuduh. Kemudian sesudah sel tersebut, dipelrihatkan pula penghukuman Giles Correy yang dibebani batu-batu supaya mengaku yang mengakibatkan dia tewas. Lalu dilanjutkan dengan penggambaran penggantungan para terdakwa yang meski obyeknya berupa boneka, tetap saja bisa membuat prihatin.Pengalaman yang cukup menarik sesudah mendatangi Salem Witch Dungeon ini. Hal yang paling menarik buat saya adalah bagian reenactment-nya yang ditampilkan dengan gemilang oleh dua pemainnya yang kelihatan bersungguh-sungguh memainkan peran mereka.


Reenactment berdasarkan arsip pengadilan Elizabeth Proctor dan kesaksian Abigail Williams






Pemandangan di bagian dungeon menggambarkan keadaan sel di tahun 1692

 



 

 



Wednesday, September 5, 2012

Kunjungan ke Salem Witch Museum

Salem, sebuah kota kecil yang dulunya merupakan pelabuhan penting saat pendatang dari Inggris baru saja membuka kehidupan di benua baru, mempunyai sejarah yang unik dan sangat menarik. Pendiri kota Salem, Roger Conant, datang dari Inggris bersama keluarganya dan pendatang dari Inggris lainnya yang berusaha mencari penghidupan yang lebih baik di Amerika pada tahun 1623. Pada tahun 1626 Roger Conant dipilih menjadi Gubernur pertama masyarakat Inggris yang ada di Salem. Dialah yang membangun rumah pertama di kota Salem yang sekarang menjadi sebuah jalan bernama Essex Street. Patung perunggu Gubernur pertama Salem ini berdiri dengan gagahnya menghadap Salem Common, sebuah lapangan besar yang dikelilingi pepohonan yang asri dan tepat di seberang bangunan yang tadinya sebuah gereja bernama the East Church yang dibangun tahun 1844 hingga 1846. Bangunan gereja bergaya Classic Gothic Revival itu sekarang menjadi Salem Witch Museum. 





Berkunjung ke kota Salem di negara bagian Massachusetts, berarti harus mengunjungi tempat-tempat yang berkaitan dengan sebuah sejarah kelam kota ini. Mencari tempat-tempat bersejarah itu pun tidak sulit. Para pengunjung atau siapapun yang tertarik bisa mengikuti Heritage Trail yang berupa garis merah panjang di jalanan dan trotoar yang melewati tempat-tempat bersejarah tersebut. Kami memulai perjalanan menelusuri Heritage Trail dari Salem visitor center. Tempat pertama yang kami datangi adalah Salem Witch Museum, yang bangunannya terbuat dari batu berwarna coklat. Gedungnya sendiri dulunya sebuah gereja yang dirancang oleh seorang arsitektur dari New York, Minard Lafever. Dua ahli bangunan yang membantu memilih bahan batu untuk gereja ini adalah Henry Russell dan Benjamin R. White. Dari luar, museum ini sudah bisa menunjukkan kekokohannya dan keseramannya. Kami masuk ke museum saat baru saja buka, yaitu pukul 10 pagi. Bersama beberapa pengunjung lain, saya dan anak-anak dipersilahkan masuk menuju ruangan lapang yang gelap-gulita.

Pria muda dan tampan yang menyapa dan mempersilahkan saya dan anak-anak menuju ke ruangan sesudah lobby museum berjalan memakai tongkat penyangga. Hal itu menjadi perhatian kami karena ternyata pria berambut pirang ini kaki kanannya tinggal separuh, sebagian paha, lutut dan bagian bawah kakinya tidak ada. Itu cukup menambah kemisteriusan suasana di ruangan besar museum, dan juga kekaguman kami pada pria muda tersebut. Ruangan yang kami masuki itu berbau lembab layaknya bangunan tua yang sudah ratusan tahun umurnya. Sesudah kami menaiki beberapa anak tangga menuju sederetan kursi yang bercabang ke kanan dan kiri, kami semua duduk menunggu dengan antusias sekaligus bingung. Hanya ada dua pintu di rungan tersebut, pintu yang kami lewati pertama untuk masuk yang kemudian langsung ditutup begitu kami semua duduk, dan pintu kedua di pojok kiri ruangan dengan tanda EXIT merah. Meski ruangan itu gelap dan hanya ada sedikit saja penerangan, kami bisa melihat ada beberapa wujud di bagian atas yang mengelilingi kami. Kami menduga wujud-wujud itu berupa patung atau mannequin yang diletakkan sedemikian rupa untuk menggambarkan adegan demi adegan yang menceritakan kronologi peristiwa Salem Witch Trial.



Setelah menungu beberapa menit, tiba-tiba ada suara seorang pria lewat pengeras suara yang memenuhi ruangan. Suasana terasa mencekam karena keadaan yang sangat reman-remang, musik yang menjadi latar belakang narasi si pembicara dan isi dari narasi itu. Setiap cerita berubah, bagian dari dramatisasi di belakang kami menyala penerangannya memberikan illustrasi yang memadai dan mencekam. Diceritakan awalnya adalah karena kaum Puritan yang merupakan orang-orang Eropa pertama yang hidup dan tinggal di Salem adalah orang-orang yang takut akan setan dan pengaruhnya. Mereka ini termasuk orang-orang yang taat pada agamanya, tapi pemikiran kebanyakkan dari mereka sangat dangkal dan tradisional. Kalau diantara mereka terdapat orang-orang yang lain dari yang lain meski  sebenarnya itu suatu hal yang normal, mereka akan mengucilkan orang-orang tersebut dan menuduh mereka yang bukan-bukan. Misalnya saja seperti kebisaan untuk menyembuhkan beberapa penyakit ringan melalui pengobatan tradisional dengan pemakaian rempah-rempah atau tanaman tertentu. Kebisaan ini diantara kaum Puritan dianggap sebagai upaya penyihir. Contoh lain, karena misalnya sebuah keluarga berbeda kebiasaan dalam melakukan sesuatu atau berbeda pandangan mengenai gereja mereka, hal itu pun juga dianggap sebagai upaya penyihir. 

Narasi yang menggema di rungan lapang di Salem Witch Museum itu kemudian menceritakan awalnya bagaimana histeria massa menciptakan kecurigaan dan tuduhan demi tuduhan yang pada akhirnya mengantarkan 19 orang dihukum gantung dan seorang lainnya disiksa sampai tewas.  Tersebutlah di keluarga Putnam yang termasuk keluarga terpandang di Salem Village, Thomas Putnam, Ann Putnam Sr. dan beberapa anak mereka. Putri tertua mereka, Ann Putnam Jr. yang di tahun 1692 berusia 12 tahun, termasuk saksi di Salem Witch Trial. Sementara itu di keluarga Parris, putri mereka yang bernama Betty Parris berusia 9 tahun dan sepupunya, Abigail Williams berusia 11 tahun, turut menentukan pula nasib beberapa orang saat Salem Witch Trial berlangsung. Dua gadis belia ini diceritakan oleh budak mereka yang berasal dari Barbados, bernama Tituba, berbagai cerita yang berhubungan dengan kegaiban dan ilmu hitam. Tituba sepertinya sekedar ingin menghibur dua gadis ini yang terlalu banyak dilarang karena pandangan kaum Puritan yang fanatik. Tapi siapa yang menyangka dari cerita-cerita yang berupa hiburan itu mengakibatkan munculnya tuduhan demi tuduhan terhadap tetangga-tetangga di sekitar akan perilaku para penyihir.

Betty Parris dan Abigail Williams suatu hari tiba-tiba saja bertingkah aneh. Mereka seperti kehilangan kesadaran, menangis, menerawang dan yang membuat orang tua mereka bingung, mereka mengeluarkan suara seperti binatang. Karena kuatir akan keadaan mereka, pendeta Samuel Parris meminta dokter setempat memeriksa kedua gadis itu. Akibat tidak mengertinya sang dokter tentang gejala-gejala yang dialami Betty dan Abigail, dia menentukan penyakit mereka adalah akibat pengaruh setan. Kemudian dua gadis itu dipaksa untuk mengakui siapa yang membuat mereka seperti itu. Karena mereka sebenarnya hanya anak-anak, mereka menyebut saja nama yang mereka anggap masuk akal. Salah satunya adalah Rebeca Nurse, seorang ibu tua berusia 71 tahun yang kurang pendengarannya dan termasuk wanita yang dianggap eksentrik oleh anak-anak itu meski dia termasuk wanita yang terhormat di kalangan masyarakat Salem Village. Sesudah itu histeria massa tumbuh dengan suburnya. Selain 3 gadis muda yang mengaku diri mereka terkena tenung sihir, lalu ada tambahan 5 gadis muda lainnya yang turut mendukung tuduhan dan dakwaan penyihir terhadap beberapa orang baik wanita maupun pria. Orang-orang yang dituduh sebagai penyihir ini diantara kasusnya berasal dari persengketaan antar tetangga mengenai lahan pertanian, atau akibat kecemburuan sosial yang berlangsung di Salem Village saat itu. 

Akibat dari histeria massa yang menuduh beberapa orang melakukan praktek sihir, mereka yang dituduh ditangkap dan dipenjara. Rebeca Nurse, ibu tua yang pertama kali terkena tuduhan sebagai penyihir pada awalnya didakwa tidak bersalah oleh juri di pengadilan. Lalu anak-anak gadis yang menjadi saksi tiba-tiba berlaku seperti kerasukan setan dan menuding Rebeca Nurse menenung mereka dari jauh. Magistrate setempat bernama John Hathorne  ditunjuk Gubernur Sir Williams Phips untuk menjadi hakim dari proses pengadilan penyihir yang diberi nama the Court of Oyer and Terminer meminta para juri untuk mempertimbangkan lagi hasil dakwaan mereka. Juri lalu menyatakan Rebeca Nurse bersalah dan akan dihukum gantung. Sejak awalnya John Hathorne sudah berlaku berat sebelah dan lebih membela para penuduh dan juga berlaku sebagai jaksa dibanding sebagai hakim yang mestinya mengatur proses pengadilan. Karena pengadilan yang hanya menerima kesaksian gadis-gadis yang kebanyakkan hanya mengetengahkan sisi dramatis dan keadaan yang tidak kentara, seperti seakan-akan badan mereka ditusuk-tusuk jarum, meski tidak ada buktinya mereka terluka, para tertuduh tidak punya harapan untuk dianggap tidak bersalah. Mengakibatkan 14 wanita dan 5 pria dihukum gantung dan seorang pria bernama Giles Cory disiksa dengan cara meletakkan batu-batu yang berat ke atas badannya supaya dia mengakui sebagai seorang penyihir. Giles Cory tewas tanpa pengakuan apapun.





Tuesday, September 4, 2012

Berkunjung ke Kota Salem, Kota Penyihir yang Bersejarah

Pertama kali saya mendengar tentang kota Salem sekian tahun yang lalu saat perayaan Halloween mendekat. Perayaan yang berkaitan dengan kebiasaan kaum Pagan yang jatuh di bulan Oktober ini biasanya dibahas di beberapa channel TV. Ada pembahasan yang berupa sejarah munculnya perayaan Halloween di Amerika, ada pula yang membahas mengenai kebiasaan-kebiasaan lain seperti "Trick or Threat" dan berbagai kostum yang turut meramaikan Halloween. Hal yang menarik perhatian saya tentunya pembahasan mengenai sejarah munculnya Halloween dan cerita-cerita menarik yang berkaitan dengan perayaan tersebut. Kota Salem yang didirikan pada tahun 1629 oleh kaum Puritan yang hijrah dari Inggris, memiliki sejarah yang kelam yang sangat erat dengan Halloween. Kejadian yang terjadi di tahun 1692  ini dinamakan SALEM WITCH TRIAL, yang memakan nyawa 19 orang tak bersalah dan melahirkan aturan dasar bagi hukum pidana di Amerika Serikat, setiap orang dianggap tidak bersalah sampai ada buktinya, "innocence until proven guilty".

Saya dan keluarga sampai di kota Salem sekitar pukul 9 pagi. Ini ketiga kalinya saya datang ke Salem. Pertama kalinya sebagai keluarga baru, membawa putri sulung kami yang masih bayi 13 tahun yang lalu. Sayangnya kami tidak  mengabadikan kunjungan perdana kami ini. Kunjungan kedua saya baru saja berlangsung, bulan April kemarin, bersama dua putri saya dan kelas Mandarin kami. Tapi selama saya mengunjungi kota Salem, saya belum merambahi setiap detail kotanya dan menelusuri sejarahnya yang unik. Maka Sabtu yang baru lewat, saya berusaha menyempatkan waktu sebanyak-banyaknya untuk menelusuri kota Salem. Berada di kota kecil di pinggir lautan Atlantic ini mau tidak mau saya merasakan pengaruh dari kejadian beratus-ratus tahun lalu yang merupakan sejarah hitam berdirinya Amerika Serikat. Yaitu kejadian yang lahir akibat kepanikan dan kepercayaan yang tidak berdasar dari sekelompok gadis muda yang menuduh tetangga mereka telah menyihir mereka. Tuduhan itu berkembang menjadi dakwaan melakukan kejahatan berupa praktek sihir yang waktu itu hukumannya berupa hukuman mati. Empat belas wanita dan lima orang laki-laki dihukum gantung dan seorang disiksa sampai mati akibat dakwaan tersebut. Selebihnya, selama 13 bulan histeria sihir itu berlangsung, ratusan orang dipenjara yang mengakibatkan lima diantaranya meninggal di penjara.

Berada di tengah-tengah kota Salem, yang saya perhatikan adalah betapa banyaknya rumah serta bangunan tua yang dibangun tahun 1600 sampai 1800 yang masih berdiri kokoh dan terawat. Di setiap rumah dan bangunan itu dipasang sebuah plakat yang memberitahukan keterangan kapan rumah atau bangunan itu didirikan, kapan kalau ada perubahan di rumah itu, misalnya dibesarkan atau dirombak, serta siapa pemilik awal dari rumah atau bangunan tersebut. Dari sini kita bisa belajar mengenai sejarah siapa saja orang-orang yang dulu tinggal di kota Salem, sebuah kota pelabuhan yang penting saat bangsa Eropa baru saja menemukan dan memulai kehidupan mereka di tanah baru bernama America. Beberapa rumah merupakan tempat tinggal atau rumah yang pernah didiami  oleh orang-orang penting dalam sejarah Amerika, salah satunya Nathaniel Hawthorne, penulis novel The Scarlet Letter. Dia adalah cucu dari hakim John Hathorne, hakim yang memimpin the Witch Trial atau pengadilan penyihir. Untuk memulai petualan di kota Salem, sebaiknya diawali dengan kunjungan ke visitor center enter yang berada di bangunan bekas "armory", yaitu tempat penyimpanan senjata antara akhir tahun 1800-an hingga awal 1900-an. Bangunan armory yang sekarang menjadi visitor center ini didirikan untuk anggota Company H, 8th Regiment dari Massachusetts Volunteer Militia. Di dalam visitor center ini para pengunjung bisa mengenal Salem lewat barang-barang yang dipamerkan dan menanyakan berbagai hal seputar Salem pada para ranger yang bekerja untuk United States National Parks.

SALEM ARMORY-VISITOR CENTER dan bagian dalamnya














Rumah dan bangunan tua di sekitar visitor center