Welcome to My Sanctuary

If you are a dreamer, come in.
If you are a dreamer, a wisher, a liar,
A hope-er, a pray-er, a magic bean buyer...
If you're a pretender, come sit by my fire.
For we have some flax-golden tales to spin.
Come in!
Come in!


(INVITATION - Shel Silverstein)

Saturday, April 13, 2013

Demo Occupy Wall Street Di Washington Square

Bulan Oktober tahun lalu, saat kami sekeluarga penasaran seperti apa rupanya Washington Square di New York City itu, kami jalan-jalan ke sana. Sesampainya di sana, kami disambut dengan sebuah taman kecil yang rimbun dengan pepohonan. Bangku-bangku taman berderet-deret dan beberapa khusus untuk para pemain catur yang saling beradu kepandaian menentukan strategi. Banyak burung merpati berjalan-jalan di jalanan taman, hinggap di bangku-bangku atau terbang hilir-mudik. Saat itu, taman Washington Square sedang ramai oleh berbagai macam orang, diantaranya serombongan polisi dari kesatuan NYPD. Kami menyempatkan duduk di bangku taman sambil melihat burung-burung merpati dan mendengarkan pemain musik jalanan yang sedang memainkan musik jazz.

Sesudah kami duduk sebentar menikmati musik yang turut meramaikan Washington Square, kami berjalan menuju alun-alunnya. Alun-alun ini adalah bagian terbuka taman yang terdapat sebuah air mancur beserta kolam dan sebuah monumen yang dibangun untuk memperingati pengukuhan George Washington sebagai presiden pertama Amerika Serikat. Di halaman alun-alun rupanya sedang ada persiapan demo Occupy Wall Street (OWS), sebuah gerakan yang berusaha memprotes kebijakan dan aturan main para pembesar di jajaran Wall Street. "We're the 99%" adalah slogan yang paling terkenal karena Occupy Wall Street. Beberapa orang terlihat tengah mempersiapkan banner dan poster. Yang lainnya terlihat sedang membagi-bagikan selebaran atau koran khusus OWS. Terlihat ada beberapa stand sederhana yang berusaha memberikan informasi mengenai gerakan OWS.

Diantara para pendemo yang sedang bersiap-siap itu ada pula beberapa seniman yang tengah menampilkan gaya mereka mengetengahkan ekpresi seni. Ada yang dengan memakai sebuah kamera kuno mengambil photo dan mengajarkan serta menerangkan cara kerjanya ke siapapun yang mengunjunginya. Ada pula yang sedang menggambar di jalanan dengan kapur atau yang sedang berpura-pura menjadi patung untuk mendapatkan uang. Washington Square sangat ramai oleh berbagi macam orang yang sepertinya punya tujuan sendiri-sendiri berada di situ. Terlihat di dekat monumen, polisi berjaga-jaga baik yang berseragam maupun segelintir detektif. Sebelum demo dimulai, kami sudah beranjak ke bagian lain taman yang ada tempat bermainnya untuk anak-anak. Di situ juga tempatnya ditutupi pohon dan beberapa macam tanaman. Terdengar dari sebuah megaphone, suara seseorang yang sepertinya sedang memulai demo, lalu suara genderang dan alat perkusi lainnya menyusul. Demo Occupy Wall Street dimulai dengan berbaris santai menuju jalanan di luar Washington Square dengan tertib.













Friday, April 12, 2013

Picture Perfect: Yesteryear

While I was standing in the middle of the Brooklyn Bridge, I looked at the surrounding. Near and far are old buildings that some people reclaimed to be their masterpieces: the Statue of Liberty, the Empire State Building, and the bridge itself. The Brooklyn Bridge is a symbol of determination and strong will. Its first designer had an accident and died afterward. When his son continued his work, he too got another misfortune. Then his wife assisted him and together they brought the idea to connect Manhattan and Brooklyn coming true. The stories of yesteryear always make me interested. The stories about determination, strength, courage and bravery to get through the hard life. Who are we then if we're going to give up easily? If we could only look back to the harder and hardest life in the yesteryear, we realize how very fortunate we have become today. This is my entry for Picture Perfect: YESTERYEAR.

 

"The secrets of life is that all that is really worth the doing is what we do for others."


                                                                          - LEWIS CARROLL -


Brooklyn Bridge, NYC

Monday, April 8, 2013

Picture Perfect: ARRANGED

The men lined up in their positions. They stood proud and tall, arranged by their rank and duties celebrating an important event in the history of Connecticut, THE POWDER HOUSE DAY. The event took place in the city of New Haven on April 22nd 1775, led by Benedict Arnold with the 2nd Company of Governor's Foot Guard demanding the key to the King's (gun) powder. The troops wanted to support and help their countrymen who fought against British army in Cambridge. The fifty-eight members of the Governor's Foot Guard took the powder, ball and flint, and went off to the Battle of Lexington.

The men and women in this picture were some of the volunteers who every year honoring the Powder House Day by doing the re-enactment of the event. The ensembles that these men and women wore at this celebration was the Winter Dress style of the Governor's Foot Guard from 1893. The Second Company of Governor's Foot Guard was a military organization that was established in New Haven, Connecticut. Their purpose was to protect the Governor and the people of the state of Connecticut during the Revolutionary War. To see more of the photos from the event, please feel free to visit my other blog: The Red Coats Army in New Haven.

This is my entry for Picture Perfect: ARRANGED.


The 2nd Company Governor's Foot Guard

Wednesday, April 3, 2013

Dilema Memilih SMA

Minggu lalu hari Rabu, saya putuskan untuk mendatangi kantor program New Haven Magnet School di Meadow Street. Sudah tanggal 27 Maret dan surat keputusan apakah putri sulung kami diterima atau tidak di sekolah yang kami lamar, belum datang juga. Di kota tempat kami tinggal hanya ada satu SMA dan bukan yang bagus mutunya. Sehingga kami harus mencari SMA lain di kota tetangga dengan cara mengajukan lamaran untuk program magnet school. Sebenarnya ketiga anak kami sudah masuk dan mengikuti program ini semenjak mereka masuk sekolah dasar di luar district. Program magnet school ini diadakan untuk menampung minat murid-murid dari berbagai kota di luar district sekolah-sekolah yang biasanya berada di kota terbesar. Karena itulah dijuluki "magnet school" yang bertujuan menarik berbagai murid dari beragam lingkungan, latar belakang budaya dan ras, yang berusaha memperoleh pendidikan maksimal dengan program dasar tertentu. Kami mengenal program magnet school ini saat si sulung masih berada di preschool. Social worker sekolah yang menganjurkan kami mendaftarkan Emily untuk bersekolah di sekolah di luar district. Karena menurutnya, dengan kemampuan Emily, cocoknya bersekolah di sekolah di kota tetangga yang lebih banyak menawarkan banyak kesempatan berkembang. Begitu putri kami selesai masa preschool-nya, kami mendaftarkan dia ke program magnet school. Sayangnya, dia tidak mendapatkan tempat, jadi untuk bersekolah TK, putri kami pergi ke sekolah di daerah kami, yang tepat di seberang apartemen. Tahun kedua kami mendaftarkan Emily ke program magnet school di kota New Haven, dia mendapatkan tempat untuk kelas 1 di Davis Street Elementary School, sekolah pilihan kedua kami.

Kembali lagi ke cerita saya yang menuju kantor magnet school untuk mendapatkan berita mengenai diterima atau tidaknya putri sulung kami di SMA yang kami lamar. Saya sendiri ikut was-was karena program magnet school ini adalah bersistem lotere yang hasilnya belum tentu sesuai dengan harapan. Kami harus memilih 3 sekolah dimana hirarkinya sesuai dengan pilihan yaitu sangat diharapkan, diharapkan dan kurang diharapkan. Strategi meletakkan pilihannya ini yang tadinya menjadi dilema. Sebab masing-masing SMA memiliki latar belakang dan penekanan program pendidikan yang berbeda. Akibat sistem lotere inilah, putri kami stress, juga kami,  karena kalau sampai dia mendapatkan pilihan kedua atau ketiga, berarti dia tidak akan mendapatkan pelajaran musik atau seni lainnya. Sekolah pertama yang kami pilih mempunyai penekanan pada pelajaran berbagai seni, dan Emily sebagai pemain biola, sangatlah berharap dia bisa temasuk dalam string program-nya. Pilihan SMA ini harus sesuai dengan keinginan si anak untuk mempelajari pendidikan tertentu dan berhubungan erat dengan jenis kuliah yang nanti akan dilanjutkan begitu lulus. Pilihan sekolah kedua menekankan pada IPA dan sekolah ketiga pada pendidikan IPS, seperti ekonomi dan hukum. Ketiga sekolah termasuk yang baik mutunya di kota New Haven dengan berbagai program penunjang yang kaya, serta organisasi pendukung yang kuat.

Saat saya akhirnya berhadapan dengan petugas di kantor magnet school, dia memberitahu kalau putri kami diterima penuh di pilihan sekolah pertamanya, yang program dasar sekolahnya adalah seni. Diterima penuh berarti, putri kami dipastikan masuk di SMA ini. Karena ada juga kemungkinan diterima tapi masuk dalam daftar tunggu. Daftar tunggu ini bisa jadi panjang dan kemungkinan besar hanya yang mendapatkan nomor 1-5 saja yang bisa mendapatkan kesempatan masuk. Itu pun kalau ada anak yang diterima lalu mengundurkan diri dan keputusan daftar tunggu itu bisa baru muncul saat liburan summer habis. Itulah sebabnya kami dan putri kami was-was dan sempat takut kalau hasil loterenya tidak sesuai harapan. Meskipun SMA yang menjadi favorit kami dan jadi pilihan pertama program terkuatnya adalah seni, tapi bukan berarti bidang akademik lainnya tidak dihiraukan. Masing-masing SMA memiliki program persiapan masuk perguruan tinggi dan standarnya berbeda. SMA putri kami nanti termasuk yang banyak jenis program persiapannya dan kalau dilihat dari segi ranking hasil lulusannya yang masuk perguruan tinggi, nomor 2, dibawah SMA yang menjadi pilihan kedua kami. Hasil lotere yang akhirnya saya dapatkan lewat petugas magnet school itu segera saya sampaikan ke putri kami, yang langsung berteriak kegirangan, lalu menangis haru di pundak saya, ditonton oleh dua gurunya dan teman-temannya yang saat itu sedang bubar sekolah. Lega sekali rasanya beban pikiran kami yang bermula dari awal Januari saat kami menyampaikan lamaran untuk ikutan lotere magnet school dan akhirnya mendapatkan jawabannya di akhir Maret. Harapan kami, semoga SMA pilihan kami ini bisa menjadi tempat terbaik bagi putri kami menimba ilmu dan meningkatkan prestasinya.