Welcome to My Sanctuary

If you are a dreamer, come in.
If you are a dreamer, a wisher, a liar,
A hope-er, a pray-er, a magic bean buyer...
If you're a pretender, come sit by my fire.
For we have some flax-golden tales to spin.
Come in!
Come in!


(INVITATION - Shel Silverstein)

Thursday, May 30, 2013

Ayo Mampir ke Asa Knight Store!

Bagian luar gedung bercat putih itu layaknya bangunan lain yang dibangun pada tahun 1810. Bangunan ini tadinya berdiri di kota Dummerston di negara bagian Vermont, yang lalu dipindahkan pada tahun 1972 ke Old Sturbridge Village dan menjadi bagian dari live museum ini. Pada tahun 1838, gedung yang tadinya hanya satu lantai kemudian ditambah bangunannya menjadi dua-setengah lantai. Masyarakat di New England terutama di kota Dummerston bisa memperoleh kebutuhan mereka melalui toko yang dibuka Asa Knight pada 1 April 1826 tersebut dengan cara kredit. Pada saat itu uang tunai sangatlah terbatas, sehingga hubungan jual-beli dilakukan lewat tukar-menukar, itulah yang dimaksud dengan kredit itu. Misalkan, keluarga A membutuhkan kain sutra dan rempah-rempah, maka keluarga A bisa mendapatkannya dengan menukar mentega atau barang buatan mereka seperti sapu atau sabun, dengan kebutuhan mereka di toko Asa Knight. 





Toko milik Asa Knight ini kelihatannya saja seperti toko biasa tempat para pembeli mendapatkan kebutuhannya, tapi toko ini sebenarnya merupakan gerbang pengenalan dunia baru di Amerika Serikat dengan berbagai tempat lewat barang-barang yang dijual.Di toko Asa Knight kebanyakkan barang adalah barang impor dari segala penjuru dunia. Kain-kain seperti broadcloth wool dari Inggris, katun dari Inggris, Perancis dan India, juga sutra dari China dan Perancis. Selain itu toko ini juga menawarkan rempah-rempah, gula, kopi, teh dan pewarna dari Arab, China, Asia Barat, Yunani dan Amerika Selatan. Sedangkan barang-barang yang dibuat secara lokal juga ada di situ, seperti berbagai alat masak dan berkebun, tembikar, buku, produk kertas, kulit, sepatu, serta benih atau biji-bijian untuk bertani yang berasal dari daerah New England. Lihat saja bagaimana bagian dalam toko milik Asa Knight di Old Sturbridge Village yang dibuat dan disusun sesuai bagaimana fungsinya di tahun 1830. Barang-barang yang berjajar dan tertata rapi di lemari kaca dan beberapa rak memperlihatkan kebutuhan masyarakat pada saat itu di New England. Seandainya anda datang ke toko ini, kira-kira apa yang anda mau beli?







Wednesday, May 29, 2013

Berkenalan Dengan Berbagai Kerajinan di Old Sturbridge Village

Saat memasuki suasana desa Old Sturbridge Village, berbagai macam suara dan bau menyambut. Salah satunya adalah bunyi dan bau dari sebuah rumah kecil berlantai satu, yang ternyata adalah TIN SHOP. Di tahun 1800-an, kerajinan yang terbuat dari timah termasuk laris karena bahannya yang tidak mudah karatan dan termasuk aman untuk dipakai yang berhubungan dengan makanan. Saat saya dan kelima anak yang saya kawal memasuki rumah mungil yang lebih tepat disebut studio ini, seorang bapak tua menyapa kami. Beliau menerangkan bagaimana timah dipakai menjadi terkenal dan dipakai untuk berbagai macam perlengkapan. Beliau juga memberikan demonstrasi pembuatan cetakan kue dari timah, yang sampai sekarang pun masih berlaku. Di dalam tin shop tersebut, terlihat berbagai macam alat yang membantu pembuatan macam-macam bentuk dari timah, seperti cetakan kue, tempat lilin, cangkir atau teko, dan lentera. Perhatian saya tertuju pada lentera timah yang wujudnya sederhana, tapi hiasan yang berupa lubang-lubang di sekelilingnya sangat cantik. Saya bisa membayangkan saat lentera ini dinyalakan, cahaya yang berasal dari lilin itu menembus lubang-lubang tadi dan menghasilkan bayangan yang indah.


Old Sturbridge Village tin shop
The tinshop at Old Sturbridge Village


 Setelah berkeliling mendatangi beberapa rumah tua di Old Sturbridge Village, kami mengunjungi tempat pengrajin lain, berupa BLACKSMITH. Blacksmith adalah sebutan untuk tukang pandai besi. Berbeda dengan tin shop, blacksmith lebih suram suasananya dan bau dari oven tempat pengecoran dan pencetakan barang-barang besinya lebih menyengat. Di tempat pengrajin besi itu juga ada pemandu dan pengrajinnya yang memberikan demonstrasi mempersiapkan besi untuk dibuat alat pertanian. Perbedaan lain dari blacksmith dan tin shop adalah, begitu masuk ke dalam ruangan blacksmith-nya, terasa panas. Karena bangunannya yang terbuat dari batu, yang seakan meredam panas dari api di tungkunya. Pada awal berdirinya Old Sturbridge Village, tempat blacksmith ini dibangun dari kayu, hingga akhirnya terjadi kebakaran, yang juga dialami oleh pengrajin pandai besi di jaman dulu. Sejak itu bangunannya dibuat dari batu.


The Blacksmith at Old Sturbridge Village
The blacksmith at Old Sturbridge Village


Perjalanan kami kemudian berlanjut ke tempat pembuatan tembikar atau gerabah. Di situ ada pula pemandu yang sekaligus juga pengrajin yang memperlihatkan pembuatan  tembikar. Berbagai macam hasil dari tanah liat berjajar di sisi ruangan. Sementara itu, sebuah tungku besar atau kiln ada di luar rumah tembikar tersebut, untuk membakar gerabahnya. Barang-barang yang dibuat oleh pengrajin baik itu yang berupa timah, besi atau tembikar, bisa dibeli di toko souvenir, yang semuanya dibuat di tempatnya langsung di Old Sturbridge Village.



Potteries - Old Sturbridge Village
Pottery kiln - Old Sturbridge Village


Tempat terakhir dimana sebuah kerajinan dikerjakan, yang kami datangi adalah sebuah CARDING MILL. Carding mill ini merupakan pusat untuk mengolah serat-serat alami, yang kemudian dipintal dan ditenun dan dijadikan kain. Peralatan yang ada di carding mill ini sangat memukau, karena mereka masih sangat baik kondisinya dan kemungkinan masih bisa digunakan. Saat itu tidak ada demonstrasi di situ, jadi saya kurang tahu mengenai bagaimana carding mill bekerja. Tapi dengan melihat peralatan demi peralatannya langsung, saya bisa membayangkan kesibukkan para pengrajin yang kemungkinan besar wanita, menguraikan serat-serat alami yang bisa jadi dari bulu biri-biri atau kelinci, atau serat tumbuhan seperti linen dari serat flax. Lalu serat-serat ini disatukan, dipintal dan ditenun. Sungguh perjuangan yang panjang dan luar biasa prosesnya untuk menciptakan selembar kain untuk dipakai seseorang.


Carding Mill - Old Sturbridge Village
The weaving machine circa 1800s - Old Sturbridge Village
Carding mill - Old Sturbridge Village

Tuesday, May 28, 2013

Cerita Dari Rumah Tua di Old Sturbridge Village

Sesudah membaca jurnal sebelumnya mengenai Old Sturbridge Village (OSV) yang merupakan outdoor museum, mari sekarang kita tengok bagian dalam dari beberapa rumah yang saya dan murid-murid yang saya kawal, sempat datangi. Karena saya tidak sempat memperhatikan di rumah yang mana saja photo-photo ini saya ambil, jadi tidak akan ada keterangannya. Tapi semua benda-benda berupa furniture, pecah-belah, sampai pernak-pernik lainnya adalah barang asli dari tahun 1700-1800 yang dipakai di New England saat itu. Beberapa rumah yang kami datangi antara lain: Salem Towne House yang tadinya berdiri di kota Charlton, Massachusetts, yang dibangun pada tahun 1796 dan dipindahkan ke OSV pada tahun 1952. Rumah keluarga Salem ini adalah contoh rumah keluarga berada yang memiliki halaman yang luas lengkap dengan gazebo dan taman yang indah. Rumah lainnya yang kami masuki adalah Parsonage, sebuah rumah yang diperuntukkan bagi pendeta atau pengurus gereja dan keluarganya. Gedungnya sendiri tadinya berdiri di kota East Brookfield, Massachusetts, yang dibangun pada tahun 1748 dan dipindah ke OSV pada tahun 1940. Lalu rumah berikutnya yang kami kunjungi adalah Fitch House yang didirikan tahun 1737 dan dipindah ke OSV pada tahun 1939.

Di dalam Fitch House ini anak-anak bisa menyentuh, memegang bahkan mencoba berbagai barang yang dipamerkan, seperti: pakaian, permainan, tidur di tempat tidur atau duduk di kursi, juga bermain di beberapa ruangannya, dan berkebun. Pada tiap rumah yang kami datangi, terlihat bagaimana kemampuan dari keluarga tersebut dalam hal keuangan, lewat barang-barang yang ada, juga dari ruangan di rumah tersebut. Rumah dari keluarga yang mampu atau berada, biasanya memiliki ruangan yang cukup banyak atau bertingkat bangunannya. Seperti Salem Towne House, ada ruangan makan resmi khusus untuk acara istimewa, dan ada juga ruangan makan biasa. Ada pula yang namanya parlor, tempat untuk menerima tamu, selain itu ada ruangan musik, dimana tuan rumah bisa menghibur para tamunya. Dapur di rumah keluarga berada besar ukurannya dan bisa berupa dua bagian, yaitu tempat untuk memasak dan tempat untuk menyimpan bahan-bahan makanan. Di dalam kamar tidur  juga terlihat kepribadian dari pemilik rumah dan orang yang menempatinya. Kami sempat mengagumi wallpaper asli di sebuah rumah yang masih terlihat bagus (perhatikan photo yang tampak wallpaper bergambar pohon). Mengunjungi Old Sturbridge Village selain menjadikan kami paham akan sejarah di New England, juga mendapatkan inspirasi terutama mengenai kehidupan di abad 1800.


Bagian dalam salah satu rumah, tangga menuju lantai dua, kamar tidur dan perapian dengan latar belakang wallpaper asli dari tahun 1700.

Inside Salem Towne House, Old Sturbridge Village


 Ruang makan resmi untuk jamuan acara istimewa

  Luxurious dining table, Old Sturbridge Village

 Music parlor, tempat tuan rumah menghibur para tamu dan menjamu dengan teh atau kopi.



Piano forte at the parlor, Old Sturbridge Village

Drawer chest atau kumpulan laci dengan latar belakang wallpaper antik

Old chest of drawers, Old Sturbridge Village

 Beberapa detail dari rumah pada abad 1800

Salem Towne House, Old Sturbridge Village

 
 Ruang makan yang berbeda, yang tidak resmi sifatnya

Dining table & chairs in 1830
 

 Lemari yang menyatu dengan dinding rumah, berisikan koleksi barang pecah-belah mewah milik nyonya rumah, yang biasanya digunakan untuk acara istimewa.


China cabinet, Salem Towne House

 Meja dan kursi untuk jamuan teh dan kopi

Tea time at Old Sturbridge Village

Ciri khas dapur keluarga berada di abad 1800


The 1800's kitchen at Old Sturbridge Village
The 1800's kitchen at Old Sturbridge Village

Kamar tidur anak 
 
Old bedding & chair, Old Sturbridge Village

Perlengkapan mencukur untuk pria di abad 1800

The 1800's man shaving kit

Monday, May 27, 2013

Jalan-jalan ke Old Sturbridge Village di Massachusetts

Pertama kalinya saya tahu tentang outdoor museum di daerah New England  ini sekitar tahun 2000. Tapi saat ke sana, saya tidak terlalu memperhatikan dengan detail, maklum sambil membawa dua anak balita. Beberapa tahun kemudian saya mendapatkan kesempatan ke sana lagi, kali ini sebagai chaperone atau pendamping kelas putri saya saat field trip mereka. Saya bertanggung jawab atas kelompok putri saya dan 4 anak lainnya saat berada di Old Sturbridge Village. Old Sturbridge Village tercetus dari ide tiga orang bersaudara: Albert, Channing dan Cheney Wells di akhir tahun 1920. Mereka ini gemar sekali mengumpulkan barang-barang antik yang khas dari daerah New England. Karena koleksi mereka yang banyak itu, tiga bersaudara ini kemudian berpikir untuk mendirikan museum demi menampung koleksi mereka. Tapi museum yang ingin mereka dirikan bukanlan musuem biasa, melainkan LIVE MUSEUM. Live museum ini berarti tempat-tempat yang dijadikan pusat kunjungan dan perhatian masih berfungsi penuh layaknya fungsinya jaman dulu, dan berarti para staff di museum berlaku dan berpakaian seperti orang-orang di era tersebut. Era yang dikhususkan di live museum ini nanti adalah era tahun 1790 - 1830. Maka Wells bersaudara membeli lahan dimana tadinya pertanian David Wight di tahun 1830 berdiri. Pembangunan dan pengembangan lahan tersebut berlangsung pada tahun 1930-an hingga menjelang akhir tahun 1940. Proyek besar yang beberapa kali terkena bencana akibat hurricane yang menyebabkan banjir, pohon tumbang dan sempat merusak bangunan serta isinya ini, resmi dibuka untuk umum pada 8 Juni 1946. Tadinya desa yang diciptakan untuk menunjang sejarah daerah New England ini bernama David Wight Farm lalu Quinabaug Village dan berkat jasa menantu Albert Wells, Ruth Wells, namanya berubah menjadi OLD STURBRIDGE VILLAGE. Jurnal pertama mengenai Old Sturbridge Village ini berupa sejarah singkat mengenai live museum ini dan beberapa photo lingkungannya. Jurnal berikutnya akan membahas bagian-bagian rinci dari beberapa bangunan di museum ini.


Petunjuk jalan menuju Old Sturbridge Village

Old Sturbridge Village welcome sign

Tempat pengolahan kayu atau sawmill yang memakai tenaga air


Old Sturbridge Village sawmill and waterfall

Bagian dari Quinabaug River yang mengalir di Old Sturbridge Village

Little river at Old Sturbridge Village, Mass

 Tanamannya pun disesuaikan dengan tanaman pada tahun 1800-an

Salem Towne House yang dipindahkan dari tempat aslinya di Charlton, dibangun tahun 1796
 
Salem Towne House, 1796
Salem Towne House & garden, Old Sturbridge Village

 Thompson Bank yang dipindahkan dari kota Thompson di Connecticut, dibangun pada tahun 1835

Thompson Bank, 1835

Friends Meetinghouse dibangun pada tahun 1796

Friends Meetinghouse, 1796

 Sapi di peternakan di Old Sturbridge Village

Cow eating leaves - Old Sturbridge Village

Sebuah rumah tampak dari  padang rumput

Old house at Old Sturbridge Village
Old Sturbridge Village - grassy meadow

Friday, May 24, 2013

Picture Perfect: Take Your Camera to Work

As a stay-home mom, my work descriptions are too many. Sometimes I feel that there's no perfect descriptions but to mention,  A MOM, when it's describing what I do. Eventually people will know and understand, I suppose. For that matter, my surrounding is my work place: our home, the laundromat, the supermarket, the kids' schools, etc. One of that long work descriptions is to entertain my kids. That's what I did last Saturday by the way, taking the kids to New York City, even though I really didn't want to. But our younger daughter insisted that we celebrated her birthday in the city. So after taking them to the museum, the kids wanted to see the attractions at Times Square, and for the dozen times, we're there. During that time, I spotted not just one, but four superheroes huddling together in the middle of busy sidewalk. I didn't know what they were talking about, but they looked pretty serious, even Batman shielded his mates with his cape. Could it be, they were concocting a special way to safe the world? Or finding out where their super villain was? But perhaps, one of this hero could help me, a mom who's got her hands full. I'm no superhero, you see. (Winking)

 For Picture Perfect: Take Your Camera to Work.



The Gathering of Superheroes

Wednesday, May 22, 2013

Pengalaman Menjadi Guru Islamic Sunday School

Sepertinya pengalaman ini bermula dua tahun yang lalu, sewaktu guru agama di kelas si bungsu tidak kunjung datang. Saya mengambil inisiatif untuk meminta anak-anak di kelas untuk membuka buku pelajaran mereka, dan meminta mengerjakan tugas di situ. Tiba-tiba seorang pengurus sekolah agama datang dan bertanya memastikan apakah saya bersedia menjadi guru pengganti. Tanpa pikir panjang, daripada anak-anak ini tidak ada yang mengawasi, saya iyakan saja. Tadinya sekali itu, lalu sewaktu gurunya berhalangan lagi, saya bersedia lagi. Sesudah itu bu gurunya bolak-balik minta saya menggantikan dia sampai beberapa kali. Saya bukan seorang yang pandai dalam hal agama Islam. Pengetahuan saya tidak seluas orang yang memang merasa patut menjadi guru agama. Tapi pedoman saya adalah hal-hal mendasar yang saya pelajari selama sekolah. Kebetulan buku pelajaran yang dipakai anak-anak, serupa dengan buku agama sewaktu di SD dan SMP. Jadi saya anggap saya belajar kembali tentang agama, supaya pikiran tetap terasah. Banyak masukan baru yang saya dapat, terutama soal melafalkan bacaan Quran. Lidah saya lidah Jawa, jadi lafal bacaan Arab dalam Qurannya adalah versi orang Indonesia. Dari anak-anak murid saya yang memang bahasa pertamanya bahasa Arab, saya jadi tahu lafal yang benarnya. Kelas agama ini berlangsung dari pukul 10:30 pagi sampai 1 siang, dan biasanya dibagi dua: kelas mengaji atau pengenalan membaca Juz ama, dan kelas pelajaran agama Islam. Beberapa kali saya menggantikan kelas pertama atau keduanya.




Tantangan yang saya hadapi menjadi guru agama bukan soal ilmunya, melainkan menghadapi anak-anaknya. Sangat disayangkan, karena dalam satu kelas, seperti di kelas si bungsu, bisa ada 20 anak dan itu bercampur. Ini maksudnya, anak yang termasuk dalam kategori butuh pengawasan lebih atau yang butuh perhatian khusus, bercampur dengan anak-anak biasa. Saya menghadapinya saat ada seorang anak yang sama sekali tidak mengerti yang saya perintahkan untuk dikerjakan. Dia tidak bisa menulis atau membaca, melainkan sekedar mencoret-coret. Saya ajak dia bercakap-cakap, dia sepertinya tidak mengerti sama sekali. Orang tuanya tidak pernah mengantarkan atau menjemput dia dari kelas, hanya kakaknya yang datang. Saya mengeluhkan keadaan itu ke pihak administrasi sekolah, dan jawabannya,"Mau bagaimana lagi, sekolah kita bukan sekolah biasa yang bisa memberikan fasilitas khusus untuk anak yang memiliki hal khusus seperti tuna mental dan lainnya. Keadaan tersebut jadi masalah saat saya menjadi guru pengganti saat si bungsu naik kelas. Salah satu temannya sepertinya punya ADHD. Dia bisa sangat emosional hanya karena seorang temannya menegur dia atau saat saya beritahu dia untuk menulis ayat tertentu sebagai latihan, dia mengamuk, membuang buku dan tasnya, merajuk yang membuat teman-temannya ketakutan. Saya yang di situ kapasitasnya sebagai sukarelawan tentu merasa bingung, karena pihak sekolah ataupun orang tua si anak tidak bilang apa-apa tentang keadaannya.




Pada dasarnya, saya ini bukan orang yang punya pengetahuan menjadi guru secara umum. Saya tidak tahu dengan detail kurikulum di sekolah agamanya, dan saya lebih sering menjadi guru pengganti dadakan tanpa pemberitahuan sebelumnya. Lebih seringnya kesiapan saya sewaktu mengajar cuma dalam beberapa menit dan sesudah itu harus segera saya gunakan. Jadi metode saya adalah CBSA, metode yang dipakai sewaktu masih SD dulu, Cara Belajar Siswa Aktif. Saya akan memberikan quiz berisi beberapa pertanyaan yang jawabannya ada di bab-bab dalam buku bacaan. Selain itu saya akan menuliskan rangkaian ayat yang sedang kami pelajari, tapi kosongkan di bagian tertentu dan anak-anak harus isi  bacaannya. Menurut saya hal seperti ini mendorong anak-anak untuk membaca lebih detail buku agama mereka, daripada sekedar diterangkan oleh guru. Dengan berusaha mencaritahu bagian kosong dari sebuah ayat, anak jadi belajar juga untuk membaca dan menghapalnya. Itu pengalaman saya sendiri waktu SD dulu, dan saya rasa efisien untuk mengajarkan membaca ayat-ayat Quran yang tidak semua anak paham membaca tulisan Arabnya.

Hal lain yang ingin saya bagi adalah minimnya perhatian beberapa orang tua pada kebutuhan anak saat berangkat ke sekolah Minggu. Padahal namanya "Islamic School", berarti kebiasaan yang harus berlaku semestinya sama yaitu membawa peralatan sekolah. Masuk akan kan? Tapi beberapa anak yang diantarkan orang tuanya ke sekolah agama itu hanya membawa buku pelajaran saja. Kalau saya minta mereka untuk menulis sesuatu, bayangkan saja ada sampai 5 anak yang tidak membawa buku tulis ataupun pensil dan pulpen. Tapi mereka selalu ingat membawa makanan ringan untuk disantap saat istirahat. Saya tanya ke mereka, kenapa mereka tidak membawa peralatan sekolah, jawabannya mencengangkan,"Karena sekolah ini bukan sekolah betulan". Kalau sudah begini berarti orang tuanya yang kurang menekankan pentingnya menghormati institusi pendidikan apapun namanya. Itu juga yang saya rasakan sewaktu acara kenaikkan kelas tahun lalu.  Belakangan saya masih diminta untuk jadi guru pengganti, tapi guru yang minta tolong saya orangnya lebih baik dan cermat dibanding guru sebelumnya yang seringnya tidak datang atau mendadak memberitahu di hari Minggunya, dia butuh saya gantikan. Dia akan menelpon jauh hari sebelumnya kalau berhalangan dan memberikan gambaran hal-hal yang sudah dipelajari di kelas. Jadinya saya datang ke kelas dengan pengetahuan yang benar siap, bukan mendadak harus menyiapkan saat itu juga. Saya anggap ini cara saya mendapatkan ilmu tambahan dalam hal agama. Semoga ini berguna buat saya, juga anak-anak yang saya ajar.



Tuesday, May 21, 2013

How do you like your egg?

Pelajaran pertama saat berkunjung ke sebuah restoran di Amerika, adalah bagaimana cara memesan makanan. Hampir selalu kita bisa menyebutkan sebuah menu memakai nomor urutannya di daftar menu atau menyebutkan namanya. Tapi dari sekian menu yang ada di restoran, bisa dipastikan ada pilihan menu yang harus dipesan sesuai dengan selera orang yang akan menyantapnya. Misalkan, kalau memesan steak atau makanan yang ada daging sapinya, pasti akan ditanya,"How do you like your steak? Pilihan untuk steak ada 3: rare atau agak mentah; medium rare atau setengah matang; dan well done atau matang. Yang sulit itu adalah bagaimana menerangkan selera menyangkut bagaimana telur dimasak. Pertanyaan,"How do you like your egg?", biasanya akan ditanyakan kalau kite pergi ke restoran berupa diner, yang menyajikan makanan berupa sarapan, makan siang dan makan malam.

Pilihan bagaimana telur dimasak itulah yang membuat saya belajar macam-macam istilah menyangkut itu. Awalnya, saat pertama kali saya ditanyakan seorang pelayan,"How do you like your egg?", saya bingung. Wah, saya suka telur yang dicampur putih dan kuningnya, lalu dimasak sampai kering bolak-balik. Karena saya belum tahu istilahnya, jadi akhirnya saya jelaskan ke si pelayan,"I want my egg mix together, then fry until crispy and turn it to fry it again." Lalu si pelayan bilang,"Ah, you want  your egg OVER EASY". Saya percaya sajalah, maklum belum tahu bagaimana rupa si telur nanti. Sewaktu makanan yang kami pesan datang, terlihatlah telur yang ternyata memang yang saya mau. Lalu si pelayan bertanya,"Is this how you want your egg?" Yes, indeed!

Dari situ saya juga belajar kalau telur yang seleranya suami, apa istilahnya. Karena dia suka telur ceplok mata sapi yang kuningnya agak mentah, maka disebutnya SUNNY SIDE UP. Memang kuning telurnya menyerupai matahari yang bersinar. Ayo kita belajar mengenal istilah bagaimana memasak telur:

- Telur ceplok mata sapi      = SUNNY SIDE UP
- Telur ceplok, dicampur dan goreng kering bolak-balik      = OVER EASY
- Telur orak-arik        = SCRAMBLE EGG
- Telur dadar              = OMELETTE
- Telur rebus matang           = HARD-BOILED EGG
- Telur rebus agak mentah   = SOFT-BOILED EGG
- Telur rebus setengah matang    = VERY SOFT-BOILED EGG
(Beda antara soft-boiled egg dengan very soft-boiled egg adalah lama memasaknya. Very-soft boiled egg lebih lama sedikit memasaknya, tapi tidak selama kalau memasak hard-boiled egg)

- Telur rebus berbumbu       = DEVILED EGG
(Jenis masakan telur ini berupa telur rebus matang (hard-boiled egg) yang diambil bagian kuningnya, lalu dicampur bumbu atau potongan daun2an. Jenis telur yang ini tidak akan dijumpai di restoran, karena biasanya disajikan sebagai makanan pembuka di sebuah pesta.)

- Kuning telur            = EGG YOLK
- Putih telur                = EGG WHITE
- Telur kocok             = BEATEN EGG


Gara-gara membicarakan soal memasak telur, jadi kepingin kan? Kalau begitu, silahkan memandangi photo jepretan saya yang mengabadikan telur.