Welcome to My Sanctuary

If you are a dreamer, come in.
If you are a dreamer, a wisher, a liar,
A hope-er, a pray-er, a magic bean buyer...
If you're a pretender, come sit by my fire.
For we have some flax-golden tales to spin.
Come in!
Come in!


(INVITATION - Shel Silverstein)

Wednesday, May 22, 2013

Pengalaman Menjadi Guru Islamic Sunday School

Sepertinya pengalaman ini bermula dua tahun yang lalu, sewaktu guru agama di kelas si bungsu tidak kunjung datang. Saya mengambil inisiatif untuk meminta anak-anak di kelas untuk membuka buku pelajaran mereka, dan meminta mengerjakan tugas di situ. Tiba-tiba seorang pengurus sekolah agama datang dan bertanya memastikan apakah saya bersedia menjadi guru pengganti. Tanpa pikir panjang, daripada anak-anak ini tidak ada yang mengawasi, saya iyakan saja. Tadinya sekali itu, lalu sewaktu gurunya berhalangan lagi, saya bersedia lagi. Sesudah itu bu gurunya bolak-balik minta saya menggantikan dia sampai beberapa kali. Saya bukan seorang yang pandai dalam hal agama Islam. Pengetahuan saya tidak seluas orang yang memang merasa patut menjadi guru agama. Tapi pedoman saya adalah hal-hal mendasar yang saya pelajari selama sekolah. Kebetulan buku pelajaran yang dipakai anak-anak, serupa dengan buku agama sewaktu di SD dan SMP. Jadi saya anggap saya belajar kembali tentang agama, supaya pikiran tetap terasah. Banyak masukan baru yang saya dapat, terutama soal melafalkan bacaan Quran. Lidah saya lidah Jawa, jadi lafal bacaan Arab dalam Qurannya adalah versi orang Indonesia. Dari anak-anak murid saya yang memang bahasa pertamanya bahasa Arab, saya jadi tahu lafal yang benarnya. Kelas agama ini berlangsung dari pukul 10:30 pagi sampai 1 siang, dan biasanya dibagi dua: kelas mengaji atau pengenalan membaca Juz ama, dan kelas pelajaran agama Islam. Beberapa kali saya menggantikan kelas pertama atau keduanya.




Tantangan yang saya hadapi menjadi guru agama bukan soal ilmunya, melainkan menghadapi anak-anaknya. Sangat disayangkan, karena dalam satu kelas, seperti di kelas si bungsu, bisa ada 20 anak dan itu bercampur. Ini maksudnya, anak yang termasuk dalam kategori butuh pengawasan lebih atau yang butuh perhatian khusus, bercampur dengan anak-anak biasa. Saya menghadapinya saat ada seorang anak yang sama sekali tidak mengerti yang saya perintahkan untuk dikerjakan. Dia tidak bisa menulis atau membaca, melainkan sekedar mencoret-coret. Saya ajak dia bercakap-cakap, dia sepertinya tidak mengerti sama sekali. Orang tuanya tidak pernah mengantarkan atau menjemput dia dari kelas, hanya kakaknya yang datang. Saya mengeluhkan keadaan itu ke pihak administrasi sekolah, dan jawabannya,"Mau bagaimana lagi, sekolah kita bukan sekolah biasa yang bisa memberikan fasilitas khusus untuk anak yang memiliki hal khusus seperti tuna mental dan lainnya. Keadaan tersebut jadi masalah saat saya menjadi guru pengganti saat si bungsu naik kelas. Salah satu temannya sepertinya punya ADHD. Dia bisa sangat emosional hanya karena seorang temannya menegur dia atau saat saya beritahu dia untuk menulis ayat tertentu sebagai latihan, dia mengamuk, membuang buku dan tasnya, merajuk yang membuat teman-temannya ketakutan. Saya yang di situ kapasitasnya sebagai sukarelawan tentu merasa bingung, karena pihak sekolah ataupun orang tua si anak tidak bilang apa-apa tentang keadaannya.




Pada dasarnya, saya ini bukan orang yang punya pengetahuan menjadi guru secara umum. Saya tidak tahu dengan detail kurikulum di sekolah agamanya, dan saya lebih sering menjadi guru pengganti dadakan tanpa pemberitahuan sebelumnya. Lebih seringnya kesiapan saya sewaktu mengajar cuma dalam beberapa menit dan sesudah itu harus segera saya gunakan. Jadi metode saya adalah CBSA, metode yang dipakai sewaktu masih SD dulu, Cara Belajar Siswa Aktif. Saya akan memberikan quiz berisi beberapa pertanyaan yang jawabannya ada di bab-bab dalam buku bacaan. Selain itu saya akan menuliskan rangkaian ayat yang sedang kami pelajari, tapi kosongkan di bagian tertentu dan anak-anak harus isi  bacaannya. Menurut saya hal seperti ini mendorong anak-anak untuk membaca lebih detail buku agama mereka, daripada sekedar diterangkan oleh guru. Dengan berusaha mencaritahu bagian kosong dari sebuah ayat, anak jadi belajar juga untuk membaca dan menghapalnya. Itu pengalaman saya sendiri waktu SD dulu, dan saya rasa efisien untuk mengajarkan membaca ayat-ayat Quran yang tidak semua anak paham membaca tulisan Arabnya.

Hal lain yang ingin saya bagi adalah minimnya perhatian beberapa orang tua pada kebutuhan anak saat berangkat ke sekolah Minggu. Padahal namanya "Islamic School", berarti kebiasaan yang harus berlaku semestinya sama yaitu membawa peralatan sekolah. Masuk akan kan? Tapi beberapa anak yang diantarkan orang tuanya ke sekolah agama itu hanya membawa buku pelajaran saja. Kalau saya minta mereka untuk menulis sesuatu, bayangkan saja ada sampai 5 anak yang tidak membawa buku tulis ataupun pensil dan pulpen. Tapi mereka selalu ingat membawa makanan ringan untuk disantap saat istirahat. Saya tanya ke mereka, kenapa mereka tidak membawa peralatan sekolah, jawabannya mencengangkan,"Karena sekolah ini bukan sekolah betulan". Kalau sudah begini berarti orang tuanya yang kurang menekankan pentingnya menghormati institusi pendidikan apapun namanya. Itu juga yang saya rasakan sewaktu acara kenaikkan kelas tahun lalu.  Belakangan saya masih diminta untuk jadi guru pengganti, tapi guru yang minta tolong saya orangnya lebih baik dan cermat dibanding guru sebelumnya yang seringnya tidak datang atau mendadak memberitahu di hari Minggunya, dia butuh saya gantikan. Dia akan menelpon jauh hari sebelumnya kalau berhalangan dan memberikan gambaran hal-hal yang sudah dipelajari di kelas. Jadinya saya datang ke kelas dengan pengetahuan yang benar siap, bukan mendadak harus menyiapkan saat itu juga. Saya anggap ini cara saya mendapatkan ilmu tambahan dalam hal agama. Semoga ini berguna buat saya, juga anak-anak yang saya ajar.



No comments:

Post a Comment