Welcome to My Sanctuary

If you are a dreamer, come in.
If you are a dreamer, a wisher, a liar,
A hope-er, a pray-er, a magic bean buyer...
If you're a pretender, come sit by my fire.
For we have some flax-golden tales to spin.
Come in!
Come in!


(INVITATION - Shel Silverstein)

Wednesday, September 5, 2012

Kunjungan ke Salem Witch Museum

Salem, sebuah kota kecil yang dulunya merupakan pelabuhan penting saat pendatang dari Inggris baru saja membuka kehidupan di benua baru, mempunyai sejarah yang unik dan sangat menarik. Pendiri kota Salem, Roger Conant, datang dari Inggris bersama keluarganya dan pendatang dari Inggris lainnya yang berusaha mencari penghidupan yang lebih baik di Amerika pada tahun 1623. Pada tahun 1626 Roger Conant dipilih menjadi Gubernur pertama masyarakat Inggris yang ada di Salem. Dialah yang membangun rumah pertama di kota Salem yang sekarang menjadi sebuah jalan bernama Essex Street. Patung perunggu Gubernur pertama Salem ini berdiri dengan gagahnya menghadap Salem Common, sebuah lapangan besar yang dikelilingi pepohonan yang asri dan tepat di seberang bangunan yang tadinya sebuah gereja bernama the East Church yang dibangun tahun 1844 hingga 1846. Bangunan gereja bergaya Classic Gothic Revival itu sekarang menjadi Salem Witch Museum. 





Berkunjung ke kota Salem di negara bagian Massachusetts, berarti harus mengunjungi tempat-tempat yang berkaitan dengan sebuah sejarah kelam kota ini. Mencari tempat-tempat bersejarah itu pun tidak sulit. Para pengunjung atau siapapun yang tertarik bisa mengikuti Heritage Trail yang berupa garis merah panjang di jalanan dan trotoar yang melewati tempat-tempat bersejarah tersebut. Kami memulai perjalanan menelusuri Heritage Trail dari Salem visitor center. Tempat pertama yang kami datangi adalah Salem Witch Museum, yang bangunannya terbuat dari batu berwarna coklat. Gedungnya sendiri dulunya sebuah gereja yang dirancang oleh seorang arsitektur dari New York, Minard Lafever. Dua ahli bangunan yang membantu memilih bahan batu untuk gereja ini adalah Henry Russell dan Benjamin R. White. Dari luar, museum ini sudah bisa menunjukkan kekokohannya dan keseramannya. Kami masuk ke museum saat baru saja buka, yaitu pukul 10 pagi. Bersama beberapa pengunjung lain, saya dan anak-anak dipersilahkan masuk menuju ruangan lapang yang gelap-gulita.

Pria muda dan tampan yang menyapa dan mempersilahkan saya dan anak-anak menuju ke ruangan sesudah lobby museum berjalan memakai tongkat penyangga. Hal itu menjadi perhatian kami karena ternyata pria berambut pirang ini kaki kanannya tinggal separuh, sebagian paha, lutut dan bagian bawah kakinya tidak ada. Itu cukup menambah kemisteriusan suasana di ruangan besar museum, dan juga kekaguman kami pada pria muda tersebut. Ruangan yang kami masuki itu berbau lembab layaknya bangunan tua yang sudah ratusan tahun umurnya. Sesudah kami menaiki beberapa anak tangga menuju sederetan kursi yang bercabang ke kanan dan kiri, kami semua duduk menunggu dengan antusias sekaligus bingung. Hanya ada dua pintu di rungan tersebut, pintu yang kami lewati pertama untuk masuk yang kemudian langsung ditutup begitu kami semua duduk, dan pintu kedua di pojok kiri ruangan dengan tanda EXIT merah. Meski ruangan itu gelap dan hanya ada sedikit saja penerangan, kami bisa melihat ada beberapa wujud di bagian atas yang mengelilingi kami. Kami menduga wujud-wujud itu berupa patung atau mannequin yang diletakkan sedemikian rupa untuk menggambarkan adegan demi adegan yang menceritakan kronologi peristiwa Salem Witch Trial.



Setelah menungu beberapa menit, tiba-tiba ada suara seorang pria lewat pengeras suara yang memenuhi ruangan. Suasana terasa mencekam karena keadaan yang sangat reman-remang, musik yang menjadi latar belakang narasi si pembicara dan isi dari narasi itu. Setiap cerita berubah, bagian dari dramatisasi di belakang kami menyala penerangannya memberikan illustrasi yang memadai dan mencekam. Diceritakan awalnya adalah karena kaum Puritan yang merupakan orang-orang Eropa pertama yang hidup dan tinggal di Salem adalah orang-orang yang takut akan setan dan pengaruhnya. Mereka ini termasuk orang-orang yang taat pada agamanya, tapi pemikiran kebanyakkan dari mereka sangat dangkal dan tradisional. Kalau diantara mereka terdapat orang-orang yang lain dari yang lain meski  sebenarnya itu suatu hal yang normal, mereka akan mengucilkan orang-orang tersebut dan menuduh mereka yang bukan-bukan. Misalnya saja seperti kebisaan untuk menyembuhkan beberapa penyakit ringan melalui pengobatan tradisional dengan pemakaian rempah-rempah atau tanaman tertentu. Kebisaan ini diantara kaum Puritan dianggap sebagai upaya penyihir. Contoh lain, karena misalnya sebuah keluarga berbeda kebiasaan dalam melakukan sesuatu atau berbeda pandangan mengenai gereja mereka, hal itu pun juga dianggap sebagai upaya penyihir. 

Narasi yang menggema di rungan lapang di Salem Witch Museum itu kemudian menceritakan awalnya bagaimana histeria massa menciptakan kecurigaan dan tuduhan demi tuduhan yang pada akhirnya mengantarkan 19 orang dihukum gantung dan seorang lainnya disiksa sampai tewas.  Tersebutlah di keluarga Putnam yang termasuk keluarga terpandang di Salem Village, Thomas Putnam, Ann Putnam Sr. dan beberapa anak mereka. Putri tertua mereka, Ann Putnam Jr. yang di tahun 1692 berusia 12 tahun, termasuk saksi di Salem Witch Trial. Sementara itu di keluarga Parris, putri mereka yang bernama Betty Parris berusia 9 tahun dan sepupunya, Abigail Williams berusia 11 tahun, turut menentukan pula nasib beberapa orang saat Salem Witch Trial berlangsung. Dua gadis belia ini diceritakan oleh budak mereka yang berasal dari Barbados, bernama Tituba, berbagai cerita yang berhubungan dengan kegaiban dan ilmu hitam. Tituba sepertinya sekedar ingin menghibur dua gadis ini yang terlalu banyak dilarang karena pandangan kaum Puritan yang fanatik. Tapi siapa yang menyangka dari cerita-cerita yang berupa hiburan itu mengakibatkan munculnya tuduhan demi tuduhan terhadap tetangga-tetangga di sekitar akan perilaku para penyihir.

Betty Parris dan Abigail Williams suatu hari tiba-tiba saja bertingkah aneh. Mereka seperti kehilangan kesadaran, menangis, menerawang dan yang membuat orang tua mereka bingung, mereka mengeluarkan suara seperti binatang. Karena kuatir akan keadaan mereka, pendeta Samuel Parris meminta dokter setempat memeriksa kedua gadis itu. Akibat tidak mengertinya sang dokter tentang gejala-gejala yang dialami Betty dan Abigail, dia menentukan penyakit mereka adalah akibat pengaruh setan. Kemudian dua gadis itu dipaksa untuk mengakui siapa yang membuat mereka seperti itu. Karena mereka sebenarnya hanya anak-anak, mereka menyebut saja nama yang mereka anggap masuk akal. Salah satunya adalah Rebeca Nurse, seorang ibu tua berusia 71 tahun yang kurang pendengarannya dan termasuk wanita yang dianggap eksentrik oleh anak-anak itu meski dia termasuk wanita yang terhormat di kalangan masyarakat Salem Village. Sesudah itu histeria massa tumbuh dengan suburnya. Selain 3 gadis muda yang mengaku diri mereka terkena tenung sihir, lalu ada tambahan 5 gadis muda lainnya yang turut mendukung tuduhan dan dakwaan penyihir terhadap beberapa orang baik wanita maupun pria. Orang-orang yang dituduh sebagai penyihir ini diantara kasusnya berasal dari persengketaan antar tetangga mengenai lahan pertanian, atau akibat kecemburuan sosial yang berlangsung di Salem Village saat itu. 

Akibat dari histeria massa yang menuduh beberapa orang melakukan praktek sihir, mereka yang dituduh ditangkap dan dipenjara. Rebeca Nurse, ibu tua yang pertama kali terkena tuduhan sebagai penyihir pada awalnya didakwa tidak bersalah oleh juri di pengadilan. Lalu anak-anak gadis yang menjadi saksi tiba-tiba berlaku seperti kerasukan setan dan menuding Rebeca Nurse menenung mereka dari jauh. Magistrate setempat bernama John Hathorne  ditunjuk Gubernur Sir Williams Phips untuk menjadi hakim dari proses pengadilan penyihir yang diberi nama the Court of Oyer and Terminer meminta para juri untuk mempertimbangkan lagi hasil dakwaan mereka. Juri lalu menyatakan Rebeca Nurse bersalah dan akan dihukum gantung. Sejak awalnya John Hathorne sudah berlaku berat sebelah dan lebih membela para penuduh dan juga berlaku sebagai jaksa dibanding sebagai hakim yang mestinya mengatur proses pengadilan. Karena pengadilan yang hanya menerima kesaksian gadis-gadis yang kebanyakkan hanya mengetengahkan sisi dramatis dan keadaan yang tidak kentara, seperti seakan-akan badan mereka ditusuk-tusuk jarum, meski tidak ada buktinya mereka terluka, para tertuduh tidak punya harapan untuk dianggap tidak bersalah. Mengakibatkan 14 wanita dan 5 pria dihukum gantung dan seorang pria bernama Giles Cory disiksa dengan cara meletakkan batu-batu yang berat ke atas badannya supaya dia mengakui sebagai seorang penyihir. Giles Cory tewas tanpa pengakuan apapun.





16 comments:

  1. Ah jadi beginilah cerita masa lalu kota Salem. Emang sangat kelam ya, walopun hanya berupa penyihir dan sejenis nya, tapi kenapa terus berkembang jadi yang lebih horor lagi ya seperti di film :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terasa sekali kemisteriusan kota Salem ini, Re, meski sudah modern. Sebab diantara gedung2 tua yg tersebar dan peninggalan2 yg ada di kota itu dan kota tetangganya (Danvers yg dulunya Salem Village), sensasi ketidakadilan dan keburukan hati manusia itu seakan masih ada. Makanya pas jadi latar belakang film horror. Kebayang kan berapa banyak arwah penasaran yg minta keadilan ditegakkan? Kamu tahu film Crucible? Nah, itu juga dr cerita Salem Witch Trial ini.

      Delete
  2. Mba'Di, dulu Indres pernah membuat saduran buku untuk WRM tentang kemungkinan penyebab dari penyakit yang diderita para gadis itu (http://wrm-indonesia.org/content/view/468/10/). Jika memang penyebabnya karena kercunan jamur, sayang sekali karena masyarakat terlalu curiga, pikiran tertutup, nyawa jadi melayang sia-sia.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Ndres, ada penyelidikan modern akibat gejala2 yg diderita bbrp gadis yg terlibat dalam penuduhan penyihir ini. Mereka diduga memakan gandum yg tercemar jamur yg mengandung LSD. Sehingga mereka halusinasi. Menyedihkan memang kalau masyarakat yg percaya pada Tuhan tapi tidak percaya pada ilmu pengetahuan. Jadinya salah semuanya dan semena2. Ada juga yg berpendapat gadis2 ini sekedar mencari sensasi & minta perhatian karena waktu itu paham dari para Puritan sangat ketat dan cencerung membosankan buat mereka. Tekanan dari orang tua juga berpengaruh krn 2 keluarga yg pertama2 menuduh adanya penyihir diantara masyarakat di Salem adalah keluarga yg terpandang di saat itu. Lagi2 politik juga terlibat sepertinya.

      Delete
  3. wah mengerikan ya mbak masa itu

    kayaknya saya pernah deh nonton film seperti ini
    cuman hukumannya ditenggelamkan di danau dengan kaki terikat batu, trus tangannya juga diikat. jadi dibikin mati tenggelam gitu. permasalahannya sama, dituduh sebagai penyihir

    ReplyDelete
    Replies
    1. Masa2 sekitar thn 1600-an memang kecurigaan tentang praktek sihir sedang merajalela. Tapi di Amerika, dimana saat itu benua ini baru saja dimulai kehidupan baru bagi para pendatang, menurut dokumen hanya kejadian di Salem ini yang ada. Kalau mau membahas tentang sihir, tentunya bangsa2 asli Amerika, orang2 Indian, lebih percaya hal seperti itu.

      Sementar itu di Eropa kejadian seperti di Salem lebih banyak lagi terjadi. Korbannya sampai ribuan orang yg dipenjara dan dihukum semena2. Upaya penyiksaannya juga beragam, termasuk yg kamu sebutkan di atas. Mereka tidka berpikir secara jernih dan berdasarkan pengetahuan. Cara org2 yg berwenang dan berkuasa mengetahui apakah seseorang itu penyihir atau bukan dengan cara "mengikatkan tangan dan kaki tertuduh dan memberikan pemberat, lalu dia diceburkan ke dalam air". Menurut orang2 tsb, kalau si tertuduh muncul ke permukaan berarti dia bukan penyihir dan suci, sementara kalau tenggelam berarti bersalah dan penyihir. Sungguh tidak masuk akal sekali kan? Mereka ini tidak memperhatikan hukum Archimedes soal berat benda2 di air.

      Delete
  4. Heeeeeee ... serem ceritanya mba hehe.. jadi merinding ..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau kamu berada di kotanya yang nyaman itu, kamu nggak akan terbayang sejarah menyedihkannya, Ifah.

      Delete
  5. Eh, jadi sebenarnya kalau ditinjau dari sisi medis, mereka ini jadi hanya karena keracunan jamur ya, sampai disangka sebagai penyihir? Duh, bukti bahwa kebodohan memang membawa bencana, ya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sepertinya begitu, Anne. Menurut penelitian beberapa ilmuwan, kandungan gandum yang dipakai untuk membuat roti ada fungi-nya yang mengandung zat halucigenic semacam LSD. Beberapa tahun lalu aku nonton pembahasan Salem Witch Trial dari sisi ilmu pengetahuannya dan dibahas mengenai penemuan sisa2 makanan di rumah kediaman keluarga Paris. Dari situ ditemukan fungi di remah roti yang dimakan keluarga Paris. Sebagian ilmuwan lain terutama yg psikologis bilang, massa histeria-nya itu layaknya tingkah ABG mencair perhatian. Bisa jadi yg terkena unsur halucigenic-nya cuma beberapa, tapi pembesar-besaran masalah penyihirnya itu yg mengakibatkan fatal.

      Delete
  6. KOtanya gak keliatan mistik ya Dian...? terus kehidupan org2 di sana sekarang ini udah gak percaya yg mistik2 lg kan...??

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nggak sama sekali, Na, kotanya cantik dan asri. Sekelompok orang yang menganut kepercayaan Wicca hidup di Salem. Wicca ini kepercayaan yg bersangkut-paut pada alam dan keajaiban alam serta hal2 yg mistikal. Masih ada loh yg mengaku diri mereka "witch" betulan di Salem. Nanti pas bulan Oktober biasanya Salem menjadi ajang Halloween paling seru melibatkan sejarah dan imajinasi.

      Delete
  7. Salam kenal ya, Di. Terdampar di sini berkat Anne Marianne.

    Sedih dan trenyuh baca cerita masa lalu Salem....

    Salam,
    Joan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai Joan, thanks sudah baca tulisanku. Memang cerita di Salem yang satu ini sangat menyedihkan. Meski sudah berabad2 lalu terjadinya masih saja membuat trenyuh.

      Delete
  8. Artikel yang bagus, Mbak. Saya dari kecil suka sekali cerita2 berbau witches. Dan sesekali pernah dengar soal Salem Witch. Akhirnya ketemu juga penjelasan soal Salem Witch. :)
    O iya, Mbak. Tadi aku baca dari postingan di atas, kalo ditemukan remah-remah roti gandum yg mengandung jamur dg zat yang menyebabkan halusinasi. Tapi kenapa yang terinfeksi cuma anak-anaknya? Kenapa seluruh penghuni rumah tidak mengalami hal yang sama seperti anak-anaknya? Ini yang membuat saya agak aneh. Itu pun kalau seluruh penghuni rumah juga ikut mengkonsumsi roti gandum tersebut. :)

    O iya, aku ijin buat referensi ya, Mbak. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai Okta, terima kasih ya buat perhatianmu dan penghargaan untuk jurnal blog mbak. Kemungkinan dugaan adanya jamur yang ada dalam tepung yang dibuat menjadi roti bisa jadi kebenarannya cuma sebagian. Anak2 bisa terpengaruh sekali karena mereka masih kecil dan kemungkinan jumlah dari roti yang mereka makan, misalnya, mempengaruhi efeknya. Kemungkinan lainnya adalah akibat histeria massa yang ini lebih kuat dasarnya, karena secara psikologis, anak2 gadis itu ingin merasa penting dan diperhatikan.

      Delete