Welcome to My Sanctuary

If you are a dreamer, come in.
If you are a dreamer, a wisher, a liar,
A hope-er, a pray-er, a magic bean buyer...
If you're a pretender, come sit by my fire.
For we have some flax-golden tales to spin.
Come in!
Come in!


(INVITATION - Shel Silverstein)

Friday, May 24, 2013

Picture Perfect: Take Your Camera to Work

As a stay-home mom, my work descriptions are too many. Sometimes I feel that there's no perfect descriptions but to mention,  A MOM, when it's describing what I do. Eventually people will know and understand, I suppose. For that matter, my surrounding is my work place: our home, the laundromat, the supermarket, the kids' schools, etc. One of that long work descriptions is to entertain my kids. That's what I did last Saturday by the way, taking the kids to New York City, even though I really didn't want to. But our younger daughter insisted that we celebrated her birthday in the city. So after taking them to the museum, the kids wanted to see the attractions at Times Square, and for the dozen times, we're there. During that time, I spotted not just one, but four superheroes huddling together in the middle of busy sidewalk. I didn't know what they were talking about, but they looked pretty serious, even Batman shielded his mates with his cape. Could it be, they were concocting a special way to safe the world? Or finding out where their super villain was? But perhaps, one of this hero could help me, a mom who's got her hands full. I'm no superhero, you see. (Winking)

 For Picture Perfect: Take Your Camera to Work.



The Gathering of Superheroes

Wednesday, May 22, 2013

Pengalaman Menjadi Guru Islamic Sunday School

Sepertinya pengalaman ini bermula dua tahun yang lalu, sewaktu guru agama di kelas si bungsu tidak kunjung datang. Saya mengambil inisiatif untuk meminta anak-anak di kelas untuk membuka buku pelajaran mereka, dan meminta mengerjakan tugas di situ. Tiba-tiba seorang pengurus sekolah agama datang dan bertanya memastikan apakah saya bersedia menjadi guru pengganti. Tanpa pikir panjang, daripada anak-anak ini tidak ada yang mengawasi, saya iyakan saja. Tadinya sekali itu, lalu sewaktu gurunya berhalangan lagi, saya bersedia lagi. Sesudah itu bu gurunya bolak-balik minta saya menggantikan dia sampai beberapa kali. Saya bukan seorang yang pandai dalam hal agama Islam. Pengetahuan saya tidak seluas orang yang memang merasa patut menjadi guru agama. Tapi pedoman saya adalah hal-hal mendasar yang saya pelajari selama sekolah. Kebetulan buku pelajaran yang dipakai anak-anak, serupa dengan buku agama sewaktu di SD dan SMP. Jadi saya anggap saya belajar kembali tentang agama, supaya pikiran tetap terasah. Banyak masukan baru yang saya dapat, terutama soal melafalkan bacaan Quran. Lidah saya lidah Jawa, jadi lafal bacaan Arab dalam Qurannya adalah versi orang Indonesia. Dari anak-anak murid saya yang memang bahasa pertamanya bahasa Arab, saya jadi tahu lafal yang benarnya. Kelas agama ini berlangsung dari pukul 10:30 pagi sampai 1 siang, dan biasanya dibagi dua: kelas mengaji atau pengenalan membaca Juz ama, dan kelas pelajaran agama Islam. Beberapa kali saya menggantikan kelas pertama atau keduanya.




Tantangan yang saya hadapi menjadi guru agama bukan soal ilmunya, melainkan menghadapi anak-anaknya. Sangat disayangkan, karena dalam satu kelas, seperti di kelas si bungsu, bisa ada 20 anak dan itu bercampur. Ini maksudnya, anak yang termasuk dalam kategori butuh pengawasan lebih atau yang butuh perhatian khusus, bercampur dengan anak-anak biasa. Saya menghadapinya saat ada seorang anak yang sama sekali tidak mengerti yang saya perintahkan untuk dikerjakan. Dia tidak bisa menulis atau membaca, melainkan sekedar mencoret-coret. Saya ajak dia bercakap-cakap, dia sepertinya tidak mengerti sama sekali. Orang tuanya tidak pernah mengantarkan atau menjemput dia dari kelas, hanya kakaknya yang datang. Saya mengeluhkan keadaan itu ke pihak administrasi sekolah, dan jawabannya,"Mau bagaimana lagi, sekolah kita bukan sekolah biasa yang bisa memberikan fasilitas khusus untuk anak yang memiliki hal khusus seperti tuna mental dan lainnya. Keadaan tersebut jadi masalah saat saya menjadi guru pengganti saat si bungsu naik kelas. Salah satu temannya sepertinya punya ADHD. Dia bisa sangat emosional hanya karena seorang temannya menegur dia atau saat saya beritahu dia untuk menulis ayat tertentu sebagai latihan, dia mengamuk, membuang buku dan tasnya, merajuk yang membuat teman-temannya ketakutan. Saya yang di situ kapasitasnya sebagai sukarelawan tentu merasa bingung, karena pihak sekolah ataupun orang tua si anak tidak bilang apa-apa tentang keadaannya.




Pada dasarnya, saya ini bukan orang yang punya pengetahuan menjadi guru secara umum. Saya tidak tahu dengan detail kurikulum di sekolah agamanya, dan saya lebih sering menjadi guru pengganti dadakan tanpa pemberitahuan sebelumnya. Lebih seringnya kesiapan saya sewaktu mengajar cuma dalam beberapa menit dan sesudah itu harus segera saya gunakan. Jadi metode saya adalah CBSA, metode yang dipakai sewaktu masih SD dulu, Cara Belajar Siswa Aktif. Saya akan memberikan quiz berisi beberapa pertanyaan yang jawabannya ada di bab-bab dalam buku bacaan. Selain itu saya akan menuliskan rangkaian ayat yang sedang kami pelajari, tapi kosongkan di bagian tertentu dan anak-anak harus isi  bacaannya. Menurut saya hal seperti ini mendorong anak-anak untuk membaca lebih detail buku agama mereka, daripada sekedar diterangkan oleh guru. Dengan berusaha mencaritahu bagian kosong dari sebuah ayat, anak jadi belajar juga untuk membaca dan menghapalnya. Itu pengalaman saya sendiri waktu SD dulu, dan saya rasa efisien untuk mengajarkan membaca ayat-ayat Quran yang tidak semua anak paham membaca tulisan Arabnya.

Hal lain yang ingin saya bagi adalah minimnya perhatian beberapa orang tua pada kebutuhan anak saat berangkat ke sekolah Minggu. Padahal namanya "Islamic School", berarti kebiasaan yang harus berlaku semestinya sama yaitu membawa peralatan sekolah. Masuk akan kan? Tapi beberapa anak yang diantarkan orang tuanya ke sekolah agama itu hanya membawa buku pelajaran saja. Kalau saya minta mereka untuk menulis sesuatu, bayangkan saja ada sampai 5 anak yang tidak membawa buku tulis ataupun pensil dan pulpen. Tapi mereka selalu ingat membawa makanan ringan untuk disantap saat istirahat. Saya tanya ke mereka, kenapa mereka tidak membawa peralatan sekolah, jawabannya mencengangkan,"Karena sekolah ini bukan sekolah betulan". Kalau sudah begini berarti orang tuanya yang kurang menekankan pentingnya menghormati institusi pendidikan apapun namanya. Itu juga yang saya rasakan sewaktu acara kenaikkan kelas tahun lalu.  Belakangan saya masih diminta untuk jadi guru pengganti, tapi guru yang minta tolong saya orangnya lebih baik dan cermat dibanding guru sebelumnya yang seringnya tidak datang atau mendadak memberitahu di hari Minggunya, dia butuh saya gantikan. Dia akan menelpon jauh hari sebelumnya kalau berhalangan dan memberikan gambaran hal-hal yang sudah dipelajari di kelas. Jadinya saya datang ke kelas dengan pengetahuan yang benar siap, bukan mendadak harus menyiapkan saat itu juga. Saya anggap ini cara saya mendapatkan ilmu tambahan dalam hal agama. Semoga ini berguna buat saya, juga anak-anak yang saya ajar.



Tuesday, May 21, 2013

How do you like your egg?

Pelajaran pertama saat berkunjung ke sebuah restoran di Amerika, adalah bagaimana cara memesan makanan. Hampir selalu kita bisa menyebutkan sebuah menu memakai nomor urutannya di daftar menu atau menyebutkan namanya. Tapi dari sekian menu yang ada di restoran, bisa dipastikan ada pilihan menu yang harus dipesan sesuai dengan selera orang yang akan menyantapnya. Misalkan, kalau memesan steak atau makanan yang ada daging sapinya, pasti akan ditanya,"How do you like your steak? Pilihan untuk steak ada 3: rare atau agak mentah; medium rare atau setengah matang; dan well done atau matang. Yang sulit itu adalah bagaimana menerangkan selera menyangkut bagaimana telur dimasak. Pertanyaan,"How do you like your egg?", biasanya akan ditanyakan kalau kite pergi ke restoran berupa diner, yang menyajikan makanan berupa sarapan, makan siang dan makan malam.

Pilihan bagaimana telur dimasak itulah yang membuat saya belajar macam-macam istilah menyangkut itu. Awalnya, saat pertama kali saya ditanyakan seorang pelayan,"How do you like your egg?", saya bingung. Wah, saya suka telur yang dicampur putih dan kuningnya, lalu dimasak sampai kering bolak-balik. Karena saya belum tahu istilahnya, jadi akhirnya saya jelaskan ke si pelayan,"I want my egg mix together, then fry until crispy and turn it to fry it again." Lalu si pelayan bilang,"Ah, you want  your egg OVER EASY". Saya percaya sajalah, maklum belum tahu bagaimana rupa si telur nanti. Sewaktu makanan yang kami pesan datang, terlihatlah telur yang ternyata memang yang saya mau. Lalu si pelayan bertanya,"Is this how you want your egg?" Yes, indeed!

Dari situ saya juga belajar kalau telur yang seleranya suami, apa istilahnya. Karena dia suka telur ceplok mata sapi yang kuningnya agak mentah, maka disebutnya SUNNY SIDE UP. Memang kuning telurnya menyerupai matahari yang bersinar. Ayo kita belajar mengenal istilah bagaimana memasak telur:

- Telur ceplok mata sapi      = SUNNY SIDE UP
- Telur ceplok, dicampur dan goreng kering bolak-balik      = OVER EASY
- Telur orak-arik        = SCRAMBLE EGG
- Telur dadar              = OMELETTE
- Telur rebus matang           = HARD-BOILED EGG
- Telur rebus agak mentah   = SOFT-BOILED EGG
- Telur rebus setengah matang    = VERY SOFT-BOILED EGG
(Beda antara soft-boiled egg dengan very soft-boiled egg adalah lama memasaknya. Very-soft boiled egg lebih lama sedikit memasaknya, tapi tidak selama kalau memasak hard-boiled egg)

- Telur rebus berbumbu       = DEVILED EGG
(Jenis masakan telur ini berupa telur rebus matang (hard-boiled egg) yang diambil bagian kuningnya, lalu dicampur bumbu atau potongan daun2an. Jenis telur yang ini tidak akan dijumpai di restoran, karena biasanya disajikan sebagai makanan pembuka di sebuah pesta.)

- Kuning telur            = EGG YOLK
- Putih telur                = EGG WHITE
- Telur kocok             = BEATEN EGG


Gara-gara membicarakan soal memasak telur, jadi kepingin kan? Kalau begitu, silahkan memandangi photo jepretan saya yang mengabadikan telur.




Saturday, April 13, 2013

Demo Occupy Wall Street Di Washington Square

Bulan Oktober tahun lalu, saat kami sekeluarga penasaran seperti apa rupanya Washington Square di New York City itu, kami jalan-jalan ke sana. Sesampainya di sana, kami disambut dengan sebuah taman kecil yang rimbun dengan pepohonan. Bangku-bangku taman berderet-deret dan beberapa khusus untuk para pemain catur yang saling beradu kepandaian menentukan strategi. Banyak burung merpati berjalan-jalan di jalanan taman, hinggap di bangku-bangku atau terbang hilir-mudik. Saat itu, taman Washington Square sedang ramai oleh berbagai macam orang, diantaranya serombongan polisi dari kesatuan NYPD. Kami menyempatkan duduk di bangku taman sambil melihat burung-burung merpati dan mendengarkan pemain musik jalanan yang sedang memainkan musik jazz.

Sesudah kami duduk sebentar menikmati musik yang turut meramaikan Washington Square, kami berjalan menuju alun-alunnya. Alun-alun ini adalah bagian terbuka taman yang terdapat sebuah air mancur beserta kolam dan sebuah monumen yang dibangun untuk memperingati pengukuhan George Washington sebagai presiden pertama Amerika Serikat. Di halaman alun-alun rupanya sedang ada persiapan demo Occupy Wall Street (OWS), sebuah gerakan yang berusaha memprotes kebijakan dan aturan main para pembesar di jajaran Wall Street. "We're the 99%" adalah slogan yang paling terkenal karena Occupy Wall Street. Beberapa orang terlihat tengah mempersiapkan banner dan poster. Yang lainnya terlihat sedang membagi-bagikan selebaran atau koran khusus OWS. Terlihat ada beberapa stand sederhana yang berusaha memberikan informasi mengenai gerakan OWS.

Diantara para pendemo yang sedang bersiap-siap itu ada pula beberapa seniman yang tengah menampilkan gaya mereka mengetengahkan ekpresi seni. Ada yang dengan memakai sebuah kamera kuno mengambil photo dan mengajarkan serta menerangkan cara kerjanya ke siapapun yang mengunjunginya. Ada pula yang sedang menggambar di jalanan dengan kapur atau yang sedang berpura-pura menjadi patung untuk mendapatkan uang. Washington Square sangat ramai oleh berbagi macam orang yang sepertinya punya tujuan sendiri-sendiri berada di situ. Terlihat di dekat monumen, polisi berjaga-jaga baik yang berseragam maupun segelintir detektif. Sebelum demo dimulai, kami sudah beranjak ke bagian lain taman yang ada tempat bermainnya untuk anak-anak. Di situ juga tempatnya ditutupi pohon dan beberapa macam tanaman. Terdengar dari sebuah megaphone, suara seseorang yang sepertinya sedang memulai demo, lalu suara genderang dan alat perkusi lainnya menyusul. Demo Occupy Wall Street dimulai dengan berbaris santai menuju jalanan di luar Washington Square dengan tertib.













Friday, April 12, 2013

Picture Perfect: Yesteryear

While I was standing in the middle of the Brooklyn Bridge, I looked at the surrounding. Near and far are old buildings that some people reclaimed to be their masterpieces: the Statue of Liberty, the Empire State Building, and the bridge itself. The Brooklyn Bridge is a symbol of determination and strong will. Its first designer had an accident and died afterward. When his son continued his work, he too got another misfortune. Then his wife assisted him and together they brought the idea to connect Manhattan and Brooklyn coming true. The stories of yesteryear always make me interested. The stories about determination, strength, courage and bravery to get through the hard life. Who are we then if we're going to give up easily? If we could only look back to the harder and hardest life in the yesteryear, we realize how very fortunate we have become today. This is my entry for Picture Perfect: YESTERYEAR.

 

"The secrets of life is that all that is really worth the doing is what we do for others."


                                                                          - LEWIS CARROLL -


Brooklyn Bridge, NYC

Monday, April 8, 2013

Picture Perfect: ARRANGED

The men lined up in their positions. They stood proud and tall, arranged by their rank and duties celebrating an important event in the history of Connecticut, THE POWDER HOUSE DAY. The event took place in the city of New Haven on April 22nd 1775, led by Benedict Arnold with the 2nd Company of Governor's Foot Guard demanding the key to the King's (gun) powder. The troops wanted to support and help their countrymen who fought against British army in Cambridge. The fifty-eight members of the Governor's Foot Guard took the powder, ball and flint, and went off to the Battle of Lexington.

The men and women in this picture were some of the volunteers who every year honoring the Powder House Day by doing the re-enactment of the event. The ensembles that these men and women wore at this celebration was the Winter Dress style of the Governor's Foot Guard from 1893. The Second Company of Governor's Foot Guard was a military organization that was established in New Haven, Connecticut. Their purpose was to protect the Governor and the people of the state of Connecticut during the Revolutionary War. To see more of the photos from the event, please feel free to visit my other blog: The Red Coats Army in New Haven.

This is my entry for Picture Perfect: ARRANGED.


The 2nd Company Governor's Foot Guard

Wednesday, April 3, 2013

Dilema Memilih SMA

Minggu lalu hari Rabu, saya putuskan untuk mendatangi kantor program New Haven Magnet School di Meadow Street. Sudah tanggal 27 Maret dan surat keputusan apakah putri sulung kami diterima atau tidak di sekolah yang kami lamar, belum datang juga. Di kota tempat kami tinggal hanya ada satu SMA dan bukan yang bagus mutunya. Sehingga kami harus mencari SMA lain di kota tetangga dengan cara mengajukan lamaran untuk program magnet school. Sebenarnya ketiga anak kami sudah masuk dan mengikuti program ini semenjak mereka masuk sekolah dasar di luar district. Program magnet school ini diadakan untuk menampung minat murid-murid dari berbagai kota di luar district sekolah-sekolah yang biasanya berada di kota terbesar. Karena itulah dijuluki "magnet school" yang bertujuan menarik berbagai murid dari beragam lingkungan, latar belakang budaya dan ras, yang berusaha memperoleh pendidikan maksimal dengan program dasar tertentu. Kami mengenal program magnet school ini saat si sulung masih berada di preschool. Social worker sekolah yang menganjurkan kami mendaftarkan Emily untuk bersekolah di sekolah di luar district. Karena menurutnya, dengan kemampuan Emily, cocoknya bersekolah di sekolah di kota tetangga yang lebih banyak menawarkan banyak kesempatan berkembang. Begitu putri kami selesai masa preschool-nya, kami mendaftarkan dia ke program magnet school. Sayangnya, dia tidak mendapatkan tempat, jadi untuk bersekolah TK, putri kami pergi ke sekolah di daerah kami, yang tepat di seberang apartemen. Tahun kedua kami mendaftarkan Emily ke program magnet school di kota New Haven, dia mendapatkan tempat untuk kelas 1 di Davis Street Elementary School, sekolah pilihan kedua kami.

Kembali lagi ke cerita saya yang menuju kantor magnet school untuk mendapatkan berita mengenai diterima atau tidaknya putri sulung kami di SMA yang kami lamar. Saya sendiri ikut was-was karena program magnet school ini adalah bersistem lotere yang hasilnya belum tentu sesuai dengan harapan. Kami harus memilih 3 sekolah dimana hirarkinya sesuai dengan pilihan yaitu sangat diharapkan, diharapkan dan kurang diharapkan. Strategi meletakkan pilihannya ini yang tadinya menjadi dilema. Sebab masing-masing SMA memiliki latar belakang dan penekanan program pendidikan yang berbeda. Akibat sistem lotere inilah, putri kami stress, juga kami,  karena kalau sampai dia mendapatkan pilihan kedua atau ketiga, berarti dia tidak akan mendapatkan pelajaran musik atau seni lainnya. Sekolah pertama yang kami pilih mempunyai penekanan pada pelajaran berbagai seni, dan Emily sebagai pemain biola, sangatlah berharap dia bisa temasuk dalam string program-nya. Pilihan SMA ini harus sesuai dengan keinginan si anak untuk mempelajari pendidikan tertentu dan berhubungan erat dengan jenis kuliah yang nanti akan dilanjutkan begitu lulus. Pilihan sekolah kedua menekankan pada IPA dan sekolah ketiga pada pendidikan IPS, seperti ekonomi dan hukum. Ketiga sekolah termasuk yang baik mutunya di kota New Haven dengan berbagai program penunjang yang kaya, serta organisasi pendukung yang kuat.

Saat saya akhirnya berhadapan dengan petugas di kantor magnet school, dia memberitahu kalau putri kami diterima penuh di pilihan sekolah pertamanya, yang program dasar sekolahnya adalah seni. Diterima penuh berarti, putri kami dipastikan masuk di SMA ini. Karena ada juga kemungkinan diterima tapi masuk dalam daftar tunggu. Daftar tunggu ini bisa jadi panjang dan kemungkinan besar hanya yang mendapatkan nomor 1-5 saja yang bisa mendapatkan kesempatan masuk. Itu pun kalau ada anak yang diterima lalu mengundurkan diri dan keputusan daftar tunggu itu bisa baru muncul saat liburan summer habis. Itulah sebabnya kami dan putri kami was-was dan sempat takut kalau hasil loterenya tidak sesuai harapan. Meskipun SMA yang menjadi favorit kami dan jadi pilihan pertama program terkuatnya adalah seni, tapi bukan berarti bidang akademik lainnya tidak dihiraukan. Masing-masing SMA memiliki program persiapan masuk perguruan tinggi dan standarnya berbeda. SMA putri kami nanti termasuk yang banyak jenis program persiapannya dan kalau dilihat dari segi ranking hasil lulusannya yang masuk perguruan tinggi, nomor 2, dibawah SMA yang menjadi pilihan kedua kami. Hasil lotere yang akhirnya saya dapatkan lewat petugas magnet school itu segera saya sampaikan ke putri kami, yang langsung berteriak kegirangan, lalu menangis haru di pundak saya, ditonton oleh dua gurunya dan teman-temannya yang saat itu sedang bubar sekolah. Lega sekali rasanya beban pikiran kami yang bermula dari awal Januari saat kami menyampaikan lamaran untuk ikutan lotere magnet school dan akhirnya mendapatkan jawabannya di akhir Maret. Harapan kami, semoga SMA pilihan kami ini bisa menjadi tempat terbaik bagi putri kami menimba ilmu dan meningkatkan prestasinya.

Sunday, March 24, 2013

Picture Perfect: TWO

It was so exciting to visit Philadelphia Zoo a couple of years ago. My son asked if we could celebrate his birthday by coming to the zoo, and so we're there. Just when we just started to walk around, we saw one interesting and hilarious view. The view of two hippo behinds. The look of them were just too funny, my kids and I had to come up with a ridiculous conversation between the two hippos,"I think your butt is bigger than mine".

This is my photography entry for this week Picture Perfect, with the theme of TWO.


Hippo Butts

Saturday, March 9, 2013

Picture Perfect: DISCOVERY

In an empty lot that looked abandoned, hundreds  of cornflowers grew in the end of spring last year. The fence that surrounding the lot was rusted and I saw two or three junk cars in the far side of the lot. One morning I went to the lot especially to see rows of light-blue, white, pink and purple cornflowers. When I snapped some pictures, a man greeted me and he turned out to be the lot attendant. He took interest of me and offered me to come inside the lot. He told me how he planted the seeds, in the hope to beautify the lot, and that there will be some morning glories in summer. The view before me was sublime. It certainly felt like I was in a meadow, not an empty lot with junk cars. When I took several pictures, suddenly I spotted a ladybug. Its black and red shell looked brilliant and contrast amongst the cornflowers. So I took some pictures of it too, when the ladybug jumped from one flower to another. The ladybug was my discovery that day.



This picture is my contribution for Picture Perfect: DISCOVERY.



Saturday, March 2, 2013

Picture Perfect: Color Splash!

If you paint the colors of rainbow onto a big parachute, then some children gleefully playing with it, what would it create? It would create, FUN. This is what the picture is all about. Children laughed and played, some ran and hid, and one tried to catch. Under the parachute they scattered here and there between giggles and happy scream. Oh, what fun it was to play under the color splash!


 My photo entry for PICTURE PERFECT: COLOR SPLASH!


Parachute Game (2)