Welcome to My Sanctuary

If you are a dreamer, come in.
If you are a dreamer, a wisher, a liar,
A hope-er, a pray-er, a magic bean buyer...
If you're a pretender, come sit by my fire.
For we have some flax-golden tales to spin.
Come in!
Come in!


(INVITATION - Shel Silverstein)

Monday, September 30, 2013

Mimpi Buruk Setiap Tanggal 30 September

Masa kecil kebanyakkan anak Indonesia di masa pertengahan tahun 80-an sampai akhir, mestinya tidak ternodai oleh sebuah mimpi buruk yang diharuskan pihak sekolah untuk ditonton, yang dalam hal ini karena pemerintah memerintahkannya. "Jangan lupa untuk menonton filmnya", begitu guru saya dan teman-teman sekelas di kelas 4 (atau 5) berpesan sebelum kami pulang sekolah. Gembar-gembor mengenai sebuah film yang katanya memperlihatkan sebuah peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia akan diputar malam itu, tanggal 30 September. Hampir semua warga tidak sabar menunggu untuk menonton pemutaran perdana film berjudul Pengkhianatan G3-S/PKI di televisi (saat itu hanya TVRI yang ada). Saya ingat malam hari sekitar pukul 8, kami sekeluarga berkumpul menungu film yang dibuat berdasarkan sejarah itu diputar. Yang saya ingat dari film itu adalah suasana suram dan misterius sejak film dimulai. Tidak ada keceriaan di filmnya, padahal saya dan banyak anak lain di saat yang sama sedang memandangi TV dengan seksama. Saya dari kecil cinta sejarah dan pengetahuan lewat sebuah film yang mengulas kronologi peristiwa Gerakan 30 September yang didalangi PKI, tentunya bisa jadi bahan acuan di sekolah. Rasa keingintahuan seorang anak yang jiwanya masih polos jadi pendorong buat saya yang duduk tenang menunggu di depan televisi.

Kenyataannya, adegan demi adegan yang saya tonton bukanlah hal yang pantas disaksikan seorang anak, apalagi yang masih di bawah usia 14 tahun. Saya saat itu masih kelas 4 (atau 5 SD). Film yang suasana dan warnanya menyesuaikan dengan keadaan di tahun 1965 itu tiba-tiba menjadi film paling menyeramkan buat saya. Beberapa kali saya menahan nafas karena rasa takut dan tegang melihat sepak-terjang pelakon cerita yang menganiaya sedemikian rupa beberapa anggota militer dan menembak seorang anak perempuan, yang jadi korban peluru nyasar. Saya ingat betapa jari-jari tangan dan kaki saya dingin dan terasa kaku, karena saya tidak berani bergerak. Kalau seharian itu hari saya cerah-ceria, maka malam itu saya bertemu dengan monster yang menakutkan. Tapi saya ingat pesan guru saya untuk menyimak film ini supaya nanti bisa berdiskusi di sekolah. Padahal saya ingin sekali bersembunyi dan mematikan TV. Bapak berkeras untuk terus menonton dan suara demi suara yang menyeramkan, bahkan musiknya yang menjadi pengiring seakan menjanjikan tidak akan ada mimpi indah malam itu buat saya. Dua adik saya lebih muda dan mereka belum mengerti benar isi filmnya. Keuntungan mereka, mereka bisa tidur dikeloni ibu kami yang tentu saja seperti tameng dari segala rupa mimpi buruk. 

Film berdarah yang naskahnya ditulis oleh Arifin C. Noer dan juga sebagai sutradaranya menerima penghargaan piala Citra di tahun 1984. Kepopulerannya terasa sekali di mana-mana. Tidak ada satu pun orang tua atau pihak guru di sekolah yang memprotes adegan-adegan di film G30S, meskipun jelas sekali penyiksaan demi penyiksaan dan pembunuhan keji dipertontonkan untuk umum tanpa sensor sedikit pun. Usai dari menonton film itu, malam sudah larut dan saya beserta anggota keluarga lain beristirahat. Betapa malangnya saya yang mau tidak mau memutar kembali adegan demi adegan menyeramkan dalam kepala saya. Saya coba untuk memejamkan mata, tapi di telinga saya seakan terdengar suara jeritan, musik menyeramkan dan tawa dari Gerwani dari filmnya. Jantung saya berdebar keras, seakan saya mati kutu malam itu. Saya berusaha tidur dan menempel adik saya yang sudah lelap, tapi segala macam bunyi yang ada di rumah saat malam, jadi tambahan hal yang menyeramkan. Kebetulan saya tidur dekat jendela di kamar dan bayangan-bayangan buruk akan sosok laki-laki yang digambarkan memasuki rumah para Jenderal yang diculik dan dianiaya, membuat saya tidak berani bergerak sama-sekali semalaman. Tubuh saya kaku karena tidur miring, tidak berani membalikkan badan karena akan melihat jendela di kamar. Detik jam terdengar merangkak perlahan dan rasanya lama sekali saya harus menunggu sampai hari terang kembali dan rasa takut saya punah. Saya meringkuk memeluk guling, merasakan tubuh saya yang lelah karena tak bisa tidur sama sekali. Meskipun saya memejamkan mata, tapi pikiran saya kemana-mana, berusaha melupakan gambar-gambar bergerak yang menyesatkan dan mengusir suara-suara yang terpatri dalam ingatan. Ingin rasanya saya bangunkan orang tua saya, tapi mereka jauh di sana, dan saya tidak berani sama sekali bangun dari tempat tidur.

Akhirnya, sesudah entah berapa jam saya lalui dengan perasaan takut yang luar biasa, adzan Subuh terdengar dari mesjid. Tiba-tiba saya lega sekali dan saya baru berani menggerakkan badan saya, meluruskan kaki yang kakunya bukan main. Leher saya sampai sakit karena tidur miring semalaman. Ketika suara kokok ayam juga terdengar dan sinar matahari mulai terlihat dari jendela, saya baru berani terlentang dan kali ini benar-benar memejamkan mata untuk tidur. Sayangnya, pagi itu saya harus sekolah dan buat seorang anak berumur 9 tahun yang semalam-suntuk merasakan takut yang bukan main, lalu harus datang ke sekolah untuk membahas film horror yang baru ditontonnya semalam, rasanya aneh sekali. Perasaan aneh itu tiap kali muncul lagi begitu kalender menunjukkn tanggal 30 September. Ada hal yang tidak bisa saya ungkapkan, tapi ada trauma yang seakan melingkupi saya tiap kali Hari Kesaktian Pancasila mendekat. Saya tidak pernah menanyakan kebenaran isi film Pengkhianatan G3-S/PKI. Buat saya, tidak ada hal yang bisa membuat saya lupa akan ingatan saya di malam 30 September hingga pagi 1 Oktober itu. Saat saya diajak untuk mengunjungi monumen Pancasila Sakti, saya langsung menolak tanpa memberi alasan apapun. Saat mendengar ada orang menyebutkan tentang Gerakan 30 September, rasa mual datang dan perasaan sedih bukan kepalang menyerbu. Kalau memang tujuan dari pemutaran film tersebut adalah sebuah propaganda dari pemerintahan Orde Baru, saya yakin mereka  berhasil dengan gemilang. Ya, mereka berhasil membuat anak-anak ketakutan dan bermimpi buruk setiap kali 30 September datang.


(Catatan: Sejak tahun 1984 sampai tahun 1998 pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI merupakan keharusan tiap tanggal 30 September. Kemudian Menteri Penerangan Yunus Yosfiah mengeluarkan larangan untuk memutar film ini sejak tahun 1998.)

Photo dari indonesiakaya.com

No comments:

Post a Comment