
Pemberian tips ada dua macam, berupa uang tunai yang kita tinggalkan di meja tempat kita makan, misalnya, atau yang langsung kita berikan pada si pemberi jasa, bisa juga digabungkan dalam kartu kredit saat kita membayar harga makanan. Tips tidak hanya berlaku di restoran. Kalau kita memotong rambut ke sebuah salon atau barbershop, tips kita berikan pada si pemberi jasa dalam bentuk uang tunai. Kebiasaan saya, tips untuk pemotong rambut adalah minimal $5. Tips juga bisa diberikan pada orang yang sudah membantu melayani kita dan jumlahnya bisa jadi kecil. Seperti misalnya meninggalkan kembalian receh di kedai donut atau tempat pengisian BBM. Di beberapa hotel besar atau apartemen mewah, tips diberikan pada orang yang membawakan koper kita atau membukan pintu. Supir taksi pun biasanya mendapatkan tips dari para penumpangnya, demikian juga pengantar makanan take-out. Uang tunai yang ditinggalkan di atas meja di restoran pun tidak akan ada yang mengambilnya. Sebab orang sudah tahu, tips itu biasanya memang ditinggalkan di meja
Di Amerika ada aturan dari lembaga pajak bahwa para pekerja yang mendasarkan pendapatannya dari gaji dan tips, harus memberikan rincian jumlah tipsnya saat kewajiban mengisi formulir pajak tiap tahunnya tiba. Bagi yang tidak melaporkan pendapatannya dalam bentuk tips, bisa dikenai denda atau ancaman hukuman pidana. Tapi laporan ini tidak berlaku bagi orang yang tidak selalu mendapatkan tips seperti supir taksi, pembuka pintu apartemen, pengantar makanan atau pekerja di pomba bensin. Keharusan melaporkan penerimaan tips itu biasanya dilakukan oleh para pekerja di salon atau pelayan restoran. Karena pemberian tips ini lebih banyak tergantung pada pribadi yang bersangkutan yang memberi, jumlahnya bisa beragam. Sayangnya, oleh segelintir pengusaha restoran, terutama yang pemiliknya orang China, saya mengetahui dari beberapa pelayan yang bekerja di situ kalau tips mereka dikumpulkan dan diberikan ke mereka sebagai gaji mereka dan bukan sebagai tips. Jadi bisa dibilang pengusaha ini berbuat curang dengan menggunakan uang tips sebagai gaji dari pekerjanya.
Saat saya masih bekerja menjadi kasir toko, saya suka ditinggali recehan dari para pelanggan. Kalau dikumpulkan selama 8 jam bekerja, lumayan juga dapatnya. Lain hari saat saya membantu memilihkan seorang ibu membeli sebuah permainan lottere, ternyata dia menang besar. Si ibu memberikan saya tips sebesar $20. Kata dia, saya berhak tips itu. Seorang bapak pun pernah memberikan saya tips sebesar itu karena saya selalu membantu dia mengurusi permainan lottere-nya hampir setiap hari. Sedangkan cerita yang terbaru menyoal tips terjadi saat saya sekeluarga makan bersama teman dan suaminya di New York di sebuah restoran Thai. Kami sudah menyisihkan uang untuk tips-nya, kemudian si pelayan datang mengembalikannya. Katanya "gratuity" sudah termasuk dalam hitungan biaya makan kami. Kami kagum karena si pelayan jujur, meski kami tidak keberatan tentang tips-nya. Pengalaman lainnya termasuk aneh bin ajaib, sewaktu saya, suami dan beberapa kawannya makan di sebuah restoran Chinese-Malaysia. Pelayanan dari si pelayan sangat kasar, dengan membanting piring hidangan ke meja dan melengos begitu saja kalau memberikan sesuatu ke kami. Kami memberikan tips yang sesuai dengan jumlah harga makanan yang kami santap, 10% saja. Toh, kami pikir, pelayanannya juga kurang memuaskan. Begitu kami beranjak meninggalkan meja kami, si pelayan mengejar kami dan protes minta tambahan tips-nya yang menurut dia kurang apalagi karena kami datang berempat. Mestinya si mbak pelayan sadar diri, tips besar itu datang lewat upayanya yang baik melayani orang. Kalau pelayanannya sudah kasar, apa pantas dia meminta tips besar? Jangan lupa, intinya memberikan tips adalah kerelaan, tapi bukan berarti pelit dalam memberikannya.
D. Yustisia
No comments:
Post a Comment