Saya lulus tahun 1989 dari sebuah SMP yang cukup terkenal
di daerah Jakarta Selatan, SMP Negeri 3 Manggarai. Saya masuk ke SMP
itu beserta dua orang kawan lain dari SD yang sama. Terus terang saya
agak kaget bercampur-baur dengan berbagai macam murid dari SD lain yang
beragam latar belakangnya. Kebanyakkan dari mereka adalah anak-anak
pintar yang lebih pintar dari saya, padahal saat SD saya termasuk yang
dianggap pintar. Kekagetan saya membuat penyesuaian diri saat SMP
berpengaruh ke nilai-nilai saya. Saat SMP inilah saya mendapat angka
merah. Saya patah hati dan kecewa berpikir kenapa bisa begitu. Saat
kelas 3 SMP nilai-nilai saya menempatkan saya dalam rangking di antara
10 dan 20. Makanya begitu saya tahu kalau SMA tujuan yang bisa dipilih
berdasarkan rayon salah satunya adalah SMA 8, saya merasa lemas bukan
kepalang.
Saya memutuskan untuk memilih SMA
3 dan SMA 37, yang menurut saya sesuai dengan ukuran saya. Saya
benar-benar merendahkan kemampuan saya dalam hal akademik. Saya berpikir
tidak akan bisa beradaptasi di sekolah seperti SMA 8. Tapi bapak
berpikir lain, saya harus memilih SMA 8 untuk pilihan pertama. Saya
menangis membayangkan saya tidak akan diterima, apalagi NEM saya biasa
saja. Di hari pengumuman, saya dan dua sahabat saya berkumpul di depan
halaman sekolah memandangi beberapa lembar kertas yang ditempel di
dinding. Ah! Nama saya ada dan SMA 8 menjadi SMA tujuan saya.
Sesudah
urusan pendaftaran ini-itu, administrasi, dll, mulailah saya menjalani
era bersekolah di SMA 8. Hal pertama yang saya harus ketahui, perihal
transportasi. Karena saat itu saya masih tinggal di Pengadegan, Jaksel,
saya harus berjalan kaki yang lumayan jauhnya menuju daerah Tebet nun
jauh di sana. Saya harus melewati Cikoko, menyeberangi jembatan
penyeberangan di M.T. Haryono menuju kawasan Tebet Timur untuk menunggu
bis S-60. Bis ini rutenya Manggarai-Kampung Melayu, melewati persis di
depan SMA 8 yang terletak di Bukit Duri. Di atas bis inilah saya bisa
bertemu dengan kawan-kawan dari SMP yang sama atau berkenalan dengan
teman baru dengan cara melihat badge nama SMA yang ada di kemeja seragam
kami. Anak-anak SMA lain yang melihat atau mengetahui kami sebagai anak
SMANDEL, biasanya agak sungkan. Sepertinya menyeramkan begitu gambaran
anak-anak SMANDEL yang katanya bisa sampai bersekolah 7 hari dalam
seminggu.
Seperti
halnya saat masuk sekolah baru, tentu saja ada kegiatan perploncoan.
Buat saya sendiri, bukan suatu hal yang menakutkan. Kalau sekedar
mendengar bentakan demi bentakan dari senior, saya suka pura-pura tidak
dengar. Tugas-tugas dari mereka pun kebanyakkan yang masuk akal, karena
ditujukan untuk kami mengetahui pelajaran baru, misalnya mengenai tabel
unsur-unsur Kimia. Kimia ini yang menjadi pelajaran baru yang jadi
favorit saya. Selain itu saya bisa unjuk gigi kebisaan saya, yaitu
menyanyi yang menjadikan saya cukup dikenal saat SMA. Saat perploncoan
pun tidak ada hal yang menggangu jiwa, justru sebaliknya menyenangkan
buat saya. Kenapa? Karena ada seorang kakak pembimbing yang mencuri
perhatian saya sepenuhnya. Mabuk kepayang lah saya di kelas 1-4 di
lantai 2 SMANDEL. Hari-hari saya di kelas 1 berisi dengan penyesuaian
demi penyesuaian. Tiba-tiba saja ada campuran hormonal di semua cerita
di diary saya saat SMA kelas 1. Anak SMA biasanya dipandang sebagai
anak-anak remaja yang lebih matang dari anak SMP, dan secara fisik pun
perubahan yang terjadi bisa turut serta meramaikan upaya penyesuain
diri.
Saat kelas 1 inilah pertama kalinya
ada teman seangkatan yang menyatakan isi hatinya dan saya yang
bersikukuh hanya menyukai kakak senior, ogah dan wegah menerima
perhatian cowok itu. Kemudian tiba-tiba cerita di sekolah pun jadinya
berisi dengan,"Si A naksir si B, loh", atau "Gue sebel sama si C, karena
dia naksir cowok yang gue taksir", dan lain-lain cerita seputar hati
dan suatu hari, ada sebuah kata yang tertulis di diary... CINTA. Padahal
untuk bertahan di sekolah seperti SMANDEL yang hampir 80% anak muridnya
berotak cerdas, merupakan anak berbakat dan punya kelebihan tersendiri,
sudah jadi tantangan besar buat saya. Di saat ini pula saya belajar
tentang murid-murid yang jadi populer karena otaknya, fisiknya,
kebisaannya dalam suatu hal, yang berbeda dengan saat SMP, yang
cenderung mengetengahkan fisik semata. Itulah inti dari kelas 1 SMA yang
berupa sebuah permulaan tentang penyesuaian, penjajakan, penilaian,
pemantapan kata hati dan hormonal remaja.
Cerita akan bersambung...
D. Yustisia
Photo-photo koleksi pribadi saat saya di kelas 1 SMA Negeri 8
No comments:
Post a Comment