
Saya memutuskan untuk memilih SMA 3 dan SMA 37, yang menurut saya sesuai dengan ukuran saya. Saya benar-benar merendahkan kemampuan saya dalam hal akademik. Saya berpikir tidak akan bisa beradaptasi di sekolah seperti SMA 8. Tapi bapak berpikir lain, saya harus memilih SMA 8 untuk pilihan pertama. Saya menangis membayangkan saya tidak akan diterima, apalagi NEM saya biasa saja. Di hari pengumuman, saya dan dua sahabat saya berkumpul di depan halaman sekolah memandangi beberapa lembar kertas yang ditempel di dinding. Ah! Nama saya ada dan SMA 8 menjadi SMA tujuan saya.
Sesudah urusan pendaftaran ini-itu, administrasi, dll, mulailah saya menjalani era bersekolah di SMA 8. Hal pertama yang saya harus ketahui, perihal transportasi. Karena saat itu saya masih tinggal di Pengadegan, Jaksel, saya harus berjalan kaki yang lumayan jauhnya menuju daerah Tebet nun jauh di sana. Saya harus melewati Cikoko, menyeberangi jembatan penyeberangan di M.T. Haryono menuju kawasan Tebet Timur untuk menunggu bis S-60. Bis ini rutenya Manggarai-Kampung Melayu, melewati persis di depan SMA 8 yang terletak di Bukit Duri. Di atas bis inilah saya bisa bertemu dengan kawan-kawan dari SMP yang sama atau berkenalan dengan teman baru dengan cara melihat badge nama SMA yang ada di kemeja seragam kami. Anak-anak SMA lain yang melihat atau mengetahui kami sebagai anak SMANDEL, biasanya agak sungkan. Sepertinya menyeramkan begitu gambaran anak-anak SMANDEL yang katanya bisa sampai bersekolah 7 hari dalam seminggu.
Seperti halnya saat masuk sekolah baru, tentu saja ada kegiatan perploncoan. Buat saya sendiri, bukan suatu hal yang menakutkan. Kalau sekedar mendengar bentakan demi bentakan dari senior, saya suka pura-pura tidak dengar. Tugas-tugas dari mereka pun kebanyakkan yang masuk akal, karena ditujukan untuk kami mengetahui pelajaran baru, misalnya mengenai tabel unsur-unsur Kimia. Kimia ini yang menjadi pelajaran baru yang jadi favorit saya. Selain itu saya bisa unjuk gigi kebisaan saya, yaitu menyanyi yang menjadikan saya cukup dikenal saat SMA. Saat perploncoan pun tidak ada hal yang menggangu jiwa, justru sebaliknya menyenangkan buat saya. Kenapa? Karena ada seorang kakak pembimbing yang mencuri perhatian saya sepenuhnya. Mabuk kepayang lah saya di kelas 1-4 di lantai 2 SMANDEL. Hari-hari saya di kelas 1 berisi dengan penyesuaian demi penyesuaian. Tiba-tiba saja ada campuran hormonal di semua cerita di diary saya saat SMA kelas 1. Anak SMA biasanya dipandang sebagai anak-anak remaja yang lebih matang dari anak SMP, dan secara fisik pun perubahan yang terjadi bisa turut serta meramaikan upaya penyesuain diri.
Saat kelas 1 inilah pertama kalinya ada teman seangkatan yang menyatakan isi hatinya dan saya yang bersikukuh hanya menyukai kakak senior, ogah dan wegah menerima perhatian cowok itu. Kemudian tiba-tiba cerita di sekolah pun jadinya berisi dengan,"Si A naksir si B, loh", atau "Gue sebel sama si C, karena dia naksir cowok yang gue taksir", dan lain-lain cerita seputar hati dan suatu hari, ada sebuah kata yang tertulis di diary... CINTA. Padahal untuk bertahan di sekolah seperti SMANDEL yang hampir 80% anak muridnya berotak cerdas, merupakan anak berbakat dan punya kelebihan tersendiri, sudah jadi tantangan besar buat saya. Di saat ini pula saya belajar tentang murid-murid yang jadi populer karena otaknya, fisiknya, kebisaannya dalam suatu hal, yang berbeda dengan saat SMP, yang cenderung mengetengahkan fisik semata. Itulah inti dari kelas 1 SMA yang berupa sebuah permulaan tentang penyesuaian, penjajakan, penilaian, pemantapan kata hati dan hormonal remaja.
Cerita akan bersambung...
D. Yustisia
Photo-photo koleksi pribadi saat saya di kelas 1 SMA Negeri 8
No comments:
Post a Comment