Membicarakan cerita seputar kenangan saat masih sekolah,
berarti membicarakan juga mengenai guru-guru. Guru pertama yang saya
kenal begitu masuk sekolah namanya ibu Susi. Beliau adalah guru BP dan
yang mengurusi perihal pakaian seragam. Bu guru ini jarang sekali
tersenyum. Meski beliau tidak kelihatan angker, tapi tetap saja membuat
murid-murid segan padanya. Segan kalau sampai dipanggil ke ruang BP
untuk diceramahi tentunya. Bu Susi ini terkenal dengan operasi "gunting
rok". Murid-murid yang baru masuk, beberapa diantaranya adalah
cewek-cewek yang suka memakai rok di atas lutut. Sedangkan aturan
memakai rok di SMANDEL panjangnya harus sekitar 5cm di bawah lutut dan
tidak ketat penampakkannya. Pembuatan seragamnya pun terpusat dari
tukang jahit langganan sekolah. Bagi pelanggar ketentuan panjang rok
ini, bu Susi ditemani guru wanita lain akan menghentikan murid perempuan
yang bersangkutan, menyuruhnya berdiri di tempat, mengukur panjang rok
dari bagian paling bawah dan meggunting hem atau jahitan bawah roknya
supaya kelihatan lebih panjang. Ada murid yang sampai menangis karena
operasi "gunting rok" ini. Akibat banyaknya razia rok ini dilakukan,
murid-murid yang merasa roknya tidak sesuai aturan, akan saling memberi
tahu dan bersiap-siap (alias bersembunyi atau segera membuka jahitan rok
saat itu juga). Saya sendiri tidak pernah kena razia ini.
Menyinggung
soal razia, bagi murid laki-laki yang rambutnya dianggap kepanjangan,
pak Ugi, guru olah raga yang badannya terlihat fit untuk ukuran
bapak-bapak, beserta pak guru lainnya akan mendekati murid laki-laki
bersangkutan dan snip, snip, dengan gunting yang dibawa beliau untuk
razia itu, pak Ugi memotong rambut si murid. Ketentuan gondrongnya yaitu
rambutnya sudah mencapai kerah baju seragam.Tentunya potongan rambutnya
ala kadarnya yang membuat muridnya harus ke salon atau tukang cukur
supaya besoknya potongan rambutnya rapi. Kalau razia rambut ini terjadi,
bisa seru sekali. Sebab bisa jadi ada acara kejar-kejaran di murid yang
berusaha menghindar dari pak guru, semacam versi "Kejarlah daku, kau
kutangkap". Kadang, pak Udi, guru seni rupa yang juga guru paling
humoris di sekolah, suka mengadakan acara pencukuran rambut mendadak
buat murid laki-laki terpilih. Jadi kalau tiba-tiba di sudut sekolah
terlihat pak Udi sedang memotong rambut seorang murid, itu bukan karena
beliau sedang menjalankan hobbynya. Itu berarti ada razia rambut
gondrong dan satu murid beruntung mendapatkan kesempatan untuk dipotong
rambutnya di sekolah.
Kalau
membicarakan guru-guru di sekolah, berarti ada dua ketentuan yang
muncul: guru favorit dan guru yang menyebalkan. Saat kelas 1 SMA,
mulanya saya tidak punya guru favorit ataupun yang menyebalkan. Tapi
guru Biologi kelas 1, pak Agus, yang masih muda itu jadi guru yang
memuakkan buat saya. Pak Agus ini orangnya pintar dalam membahas
pelajaran Biologi, satu dari sederet pelajaran favorit saya di sekolah.
Sewaktu kami mempelajari soal Amoeba, saya merasa tidak punya kesulitan
untuk mendapatkan nilai tinggi dalam ulangannya. Begitu ulangan berlalu,
saya kaget karena hanya mendapatkan nilai 8, padahal semua jawaban saya
benar bahkan soal menggambar bagian-bagian tubuh Amoeba-nya. Beberapa
teman lain pun yang merasa memberikan jawaban yang betul semua, protes
kenapa tidak sampai mendapatkan nilai 10. Jawaban pak Agus cukup
mencengangkan dan lebih berisi ego beliau. Menurutnya, yang berhak
mendapatkan nilai 10 hanya guru karena guru lebih pintar dari
murid-muridnya. Apa tidak mangkel kami mendengarnya, sesuatu hal yang
kurang masuk akal. Lalu yang lebih memperburuk cerita, pak guru ini lupa
memasukkan nilai-nilai ulangan kami ke buku laporan beliau, padahal
ulangan sudah dibagikan kembali ke murid-murid. Kami disuruh membawa
kembali kertas ulangan kami minggu depannya. Kenyataannya, saya dan
beberapa teman lupa membawa kertas ulangan dan dengan seenaknya pak Agus
bilang,"Yang tidak bawa kertas ulangan balik mendapat nilai 6
semuanya". Dari situlah saya tidak pernah menghormati beliau sebagai
guru dan bersyukur sekali cuma saat kelas 1 SMA saja mendapatkan beliau.
Guru
lain yang tidak akan bisa saya lupakan dari masa bersekolah di SMA
adalah bu Bultriasih, guru Fisika kelas 1. Beliau saya ingat bukan
karena peran beliau mengajarkan saya Fisika. Tapi karena suatu hari naas
yang membuat saya merasa sungkan setiap kali saya bertemu beliau di
sekolah bahkan sampai saat saya sudah kelas 3. Hari yang paling tidak
mengenakkan itu berawal dari bu Asih yang sedang hamil besar, tiba-tiba
memberikan tes mendadak. Beliau menuliskan sekumpulan formula dan
memberikan instruksi untuk menyelesaikannya. Lalu dengan lantang beliau
memanggil nama saya. Gulp, saya menelan ludah dan jantung saya mulai
berdebar kencang. Saya tidak pernah suka Fisika dan sekarang saya harus
menyelesaikan formula yang ada di depan saya. Saya berusaha berpikir
keras rumus apa yang bisa saya pakai. Tapi sepertinya semua jalur di
otak saya buntu, yang muncul justru keringat dingin. Entah berapa lama
saya berdiri mematung di depan papan tulis itu, rasanya lama sekali,
sementara saya dengar suara bu Asih dari arah belakang kelas
mengingatkan teman-teman saya untuk berusaha memecahkan persoalan
tersebut. Sesudah itu mungkin karena merasa kasihan, bu Asih menyuruh
saya kembali ke tempat duduk. Saya tidak sadar beliau sudah kembali
duduk di kursi guru, secara reflek saya mengembalikan kapur ke meja guru
dengan melemparnya. Ya ampun, kapur itu melayang di depan wajah bu Asih
dan saya langsung tambah pucat. Tentunya sesudah itu yang ada saya
berdiri di depan beliau diceramahi soal menghormati guru secara
panjang-lebar. Malu sekali saya rasanya. Sesudah itu seorang teman
dipanggil ke depan dan dengan mudahnya dia menyelesaikan soal yang sama
(tentu saja, dia ini juara Olimpiade Matematika duta Smandel). Sesudah
kejadian itu, tiap kali saya berpapasan dengan bu guru Fisika ini, saya
sekedar mesem sederhana, menganggukan kepala dan lekas-lekas menghindari
beliau. Hal yang terakhir yang saya ingat tentang bu Asih yang buat
saya cukup merasa termaafkan, adalah sewaktu beliau menyinggung kebisaan
saya menyanyi. Rasanya lega sekali karena sepertinya beliau tidak
mengingat kejadian kapur itu, meski buat saya itu terpatri dalam.
Cerita akan bersambung lagi...
D. Yustisia
(Photo-photo saat perpisahan dengan guru kami, Pak Made, di kelas 3 SMA)
No comments:
Post a Comment