Kenyataannya, adegan demi adegan yang saya tonton bukanlah hal yang pantas disaksikan seorang anak, apalagi yang masih di bawah usia 14 tahun. Saya saat itu masih kelas 4 (atau 5 SD). Film yang suasana dan warnanya menyesuaikan dengan keadaan di tahun 1965 itu tiba-tiba menjadi film paling menyeramkan buat saya. Beberapa kali saya menahan nafas karena rasa takut dan tegang melihat sepak-terjang pelakon cerita yang menganiaya sedemikian rupa beberapa anggota militer dan menembak seorang anak perempuan, yang jadi korban peluru nyasar. Saya ingat betapa jari-jari tangan dan kaki saya dingin dan terasa kaku, karena saya tidak berani bergerak. Kalau seharian itu hari saya cerah-ceria, maka malam itu saya bertemu dengan monster yang menakutkan. Tapi saya ingat pesan guru saya untuk menyimak film ini supaya nanti bisa berdiskusi di sekolah. Padahal saya ingin sekali bersembunyi dan mematikan TV. Bapak berkeras untuk terus menonton dan suara demi suara yang menyeramkan, bahkan musiknya yang menjadi pengiring seakan menjanjikan tidak akan ada mimpi indah malam itu buat saya. Dua adik saya lebih muda dan mereka belum mengerti benar isi filmnya. Keuntungan mereka, mereka bisa tidur dikeloni ibu kami yang tentu saja seperti tameng dari segala rupa mimpi buruk.
Film berdarah yang naskahnya ditulis oleh Arifin C. Noer dan juga sebagai sutradaranya menerima penghargaan piala Citra di tahun 1984. Kepopulerannya terasa sekali di mana-mana. Tidak ada satu pun orang tua atau pihak guru di sekolah yang memprotes adegan-adegan di film G30S, meskipun jelas sekali penyiksaan demi penyiksaan dan pembunuhan keji dipertontonkan untuk umum tanpa sensor sedikit pun. Usai dari menonton film itu, malam sudah larut dan saya beserta anggota keluarga lain beristirahat. Betapa malangnya saya yang mau tidak mau memutar kembali adegan demi adegan menyeramkan dalam kepala saya. Saya coba untuk memejamkan mata, tapi di telinga saya seakan terdengar suara jeritan, musik menyeramkan dan tawa dari Gerwani dari filmnya. Jantung saya berdebar keras, seakan saya mati kutu malam itu. Saya berusaha tidur dan menempel adik saya yang sudah lelap, tapi segala macam bunyi yang ada di rumah saat malam, jadi tambahan hal yang menyeramkan. Kebetulan saya tidur dekat jendela di kamar dan bayangan-bayangan buruk akan sosok laki-laki yang digambarkan memasuki rumah para Jenderal yang diculik dan dianiaya, membuat saya tidak berani bergerak sama-sekali semalaman. Tubuh saya kaku karena tidur miring, tidak berani membalikkan badan karena akan melihat jendela di kamar. Detik jam terdengar merangkak perlahan dan rasanya lama sekali saya
harus menunggu sampai hari terang kembali dan rasa takut saya punah.
Saya meringkuk memeluk guling, merasakan tubuh saya yang lelah karena
tak bisa tidur sama sekali. Meskipun saya memejamkan mata, tapi pikiran
saya kemana-mana, berusaha melupakan gambar-gambar bergerak yang
menyesatkan dan mengusir suara-suara yang terpatri dalam ingatan. Ingin
rasanya saya bangunkan orang tua saya, tapi mereka jauh di sana, dan
saya tidak berani sama sekali bangun dari tempat tidur.
Akhirnya, sesudah entah berapa jam saya lalui dengan perasaan takut yang luar biasa, adzan Subuh terdengar dari mesjid. Tiba-tiba saya lega sekali dan saya baru berani menggerakkan badan saya, meluruskan kaki yang kakunya bukan main. Leher saya sampai sakit karena tidur miring semalaman. Ketika suara kokok ayam juga terdengar dan sinar matahari mulai terlihat dari jendela, saya baru berani terlentang dan kali ini benar-benar memejamkan mata untuk tidur. Sayangnya, pagi itu saya harus sekolah dan buat seorang anak berumur 9 tahun yang semalam-suntuk merasakan takut yang bukan main, lalu harus datang ke sekolah untuk membahas film horror yang baru ditontonnya semalam, rasanya aneh sekali. Perasaan aneh itu tiap kali muncul lagi begitu kalender menunjukkn tanggal 30 September. Ada hal yang tidak bisa saya ungkapkan, tapi ada trauma yang seakan melingkupi saya tiap kali Hari Kesaktian Pancasila mendekat. Saya tidak pernah menanyakan kebenaran isi film Pengkhianatan G3-S/PKI. Buat saya, tidak ada hal yang bisa membuat saya lupa akan ingatan saya di malam 30 September hingga pagi 1 Oktober itu. Saat saya diajak untuk mengunjungi monumen Pancasila Sakti, saya langsung menolak tanpa memberi alasan apapun. Saat mendengar ada orang menyebutkan tentang Gerakan 30 September, rasa mual datang dan perasaan sedih bukan kepalang menyerbu. Kalau memang tujuan dari pemutaran film tersebut adalah sebuah
propaganda dari pemerintahan Orde Baru, saya yakin mereka berhasil dengan
gemilang. Ya, mereka berhasil membuat anak-anak ketakutan dan bermimpi buruk setiap kali 30 September datang.
(Catatan: Sejak tahun 1984 sampai tahun 1998 pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI merupakan keharusan tiap tanggal 30 September. Kemudian Menteri Penerangan Yunus Yosfiah mengeluarkan larangan untuk memutar film ini sejak tahun 1998.)
Photo dari indonesiakaya.com
No comments:
Post a Comment